Generasi Tua dan Darah Segar oleh Nurbani Yusuf, Komunitas Padhang Makhsyar Kota Batu.
PWMU.CO– Sebidang tanah seluas 2.000 m2 milik Subono bin Legimin Rahardjo di satu desa di Kota Batu itu dibelah dua. Separo dibangun rumah ditempati bersama anak dan istrinya. Separonya lagi buat mushala dan halaman bermain.
Tak dinyana, mushala yang dibangunnya ramai dikunjungi jamaah. Lahir keinginan untuk menaikkan status mushala menjadi masjid. Mushala dibongkar. Puluhan kubik kayu jati didatangkan dari Saradan.
Tabungan dikuras, sebagian tanah waris dijual berikut perhiasan istrinya dipreteli untuk membangun masjid idaman.
Tiga tahun kemudian masjid berdiri kokoh. Lain dari pada kelaziman. Punya tampilan eksentrik dari kayu jati. Jamaah suka tinggal. Bahkan menjadi daya tarik wisata. Soebono dan istrinya setia berkunjung dan beribadah. Suka cita luar biasa dapat membangun masjid dekat rumah di tengah gelegak hidup hedon dan materialisme.
Berpuluh tahun Soebono menjadi takmir masjid yang dibangunnya itu. Hingga suatu waktu ketika wajahnya menua. Tubuhnya mulai renta, langkahnya gontai, karena kakinya tak lagi mampu menopang tubuhnya yang merapuh. Ia serahkan takmir masjid pada generasi yang lebih muda. Darah segar. Pintar, kaya dan energik.
Adalah Hasan. Seorang insinyur ahli mesin lulusan Jerman yang menggantikan. Visioner dan punya banyak kelebihan. Di samping ahli ibadah yang khusyuk, juga seorang yang fasih baca al-Quran. Sedangkan generasi tua Soebono rela menjadi marbot dan sesekali imam shalat.
Seratus hari kerjanya, ia kumpulkan semua takmir. Program dipaparkan, visi dijelaskan. ”Masjid harus dibongkar. Sudah ketinggalan zaman dan tak mampu menampung jamaah,” katanya tangkas.
Anggota takmir berdecak kagum dan bangga dengan ketua takmir baru yang pintar dan visioner. Inilah jawaban dari doa-doa yang dipanjatkan. Kita akan buat masjid yang megah.
”Insyaallah saya akan menanggung separo dari semua biaya yang dibutuhkan. Saya juga akan hubungi kolega. Jadi jamaah tak perlu risau soal biaya,” kata Hasan pada rapat di aula bagian bawah masjid.
”Satu hal yang perlu kita segera selesaikan adalah memindah Soebono bin Legimin Rahardjo dari rumah di sebelah utara masjid. Karena rumah dan tanah itu akan menjadi bagian perluasan masjid,” ujarnya.
”Kita akan carikan Soebono kontrakan. Bukankah masjid sudah berbaik hati memberikan tumpangan tempat tinggal selama puluhan tahun. Sudah waktunya dia pergi dari rumah itu,” sambung Hasan tegas yang diamini hampir semua anggota takmir baru.
Kejutan Hari Terakhir
Pagi Subuh di hari Jumat seperti biasanya Soebono menjadi imam shalat berjamaah. Bacaannya sudah tak lagi fasih karena sebagian giginya rontok. Sebagian jamaah ngedumel karena shalat dipimpin seorang tukang bersih-bersih masjid.
Soebono, lelaki tua dan keriput, tak sedikit mendapat caci dan maki dari sebagian jamaah yang tak puas dengan cara kerjanya. Karpet sering bau apek. Kamar mandinya bau pengap. Soebono menjadi sasaran omelan. Sebagian ingin mengusir dari masjid dan menggantinya dengan tenaga baru.
Soebono hanya bersabar. Dua anaknya: satu putrinya di Jerman dan satu putranya di Jakarta sudah berulang kali mengajaknya tinggal bersama. Tapi Soebono menolak.
Baginya masjid ini adalah prestasi puncak dalam hidupnya. Ia tak akan meninggalkannya walau sejengkal. Ia ingin mengakhiri masa hidupnya di masjid. Begitu doa-doa yang ia panjatkan pada Rabbnya.
Subuh itu menjadi shalat terakhir baginya. Soebono roboh pada sujud terakhirnya. Ia tak bangun untuk selamanya. Saat takmir membersihkan rumahnya, ditemukan secarik kertas bersegel ditandatangani notaries. Bahwa ia wakafkan separo sisa tanah dan rumahnya untuk perluasan pembangunan masjid.
Editor Sugeng Purwanto