PWMU.CO – Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur, Dr M Saad Ibrahim MA menjadi salah satu pemateri dalam International Seminar “Islamic Economics in Maqashid Al Shariah Perspective” yang diselenggarakan oleh Universitas Muhammadiyah Sidoarjo di Auditorium KH Ahmad Dahlan Kampus 1 Umsida, Sabtu (26/11/2022).
Pada kegiatan ini juga hadir sebagai pemateri yaitu Dr Mustofa Dasuki Kesba yang merupkaan Direktur Shaleh Kamil Centre for Islamic Economics Studies, Al-Azhar University, Kairo, Mesir.
Hadir pula Prof M. Din Syamsuddin MA PhD mantan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah yang saat ini merupakan Guru Besar Bidang Ilmu Politik Islam di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
Saad mengawali materinya dengan memaparkan keterkaitan ekonomi Islam dengan maqashid as-syariah(tujuan ditetapkannya syariat Islam).
“Saya akan berbicara sedikit tentang studi ekonomi Islam. Dan sebagaimana yang Anda ketahui bahwa berdasarkan penelitian panjang para ulama sampai pada kesimpulan bahwa syariat Islam ini memiliki maksud dan tujuan-tujuan (maqashid as-syariah),” paparnya.
Dan tujuan itu ada lima, yang pertama dari maqashid as-syariah ialah hifdzud din (menjaga agama). Kedua hifdzun nafs (menjaga jiwa). Ketiga hifdzul ‘aql (menjaga akal). Keempat hifdzun nasl (menjaga keturunan). Dan tujuan maqashid as-syariah terakhir adalah hifdzul maal (menjaga harta).
“Terkait dengan hal ini maka hifdzud diin bisa terwujud yang pertama mengimani bahwa agama ini, adalah benar. Yang kedua adalah memahaminya dengan mengkaji sebaik-baiknya bahwa agama ini benar,” tuturnya, lantas mengutip ayat:
اِنَّ الدِّيْنَ عِنْدَ اللّٰهِ الْاِسْلَامُ ۗ
“Sesungguhnya agama di sisi Allah adalah Islam” (Ali Imran ayat 19).
Selanjutnya menurut Saad maqashid as-syariah bisa terwujud ketika umat Islam setelah mengimani Islam sebagai satu-satunya agama yang benar yaitu mengamalkan segala sesuatu yang ada di dalam al-Qur’an dan hadits Nabi dengan pengamalan yang baik (bi a’maalin shalih).
“Dan setelah mengetahuinya maka wajib berjihad (bersungguh-sungguh) dalam arti membelanya baik dengan harta dan jiwa. Termasuk juga membahasnya dalam kajian-kajian studi Islam,” terangnya.
Saad memberikan contoh bahwa yang dimaksud dengan membahasnya (Islam) ialah di antaranya yaitu menulis kitab tafsir dan syarah hadits.
“Adapun dari al-Qur’an, kita mendapati tafsir, dan sebagaimana kita mendapati pada sebagian hadis ada syarah hadits. Tentu ada bagian lain yaitu dengan mendakwahkannya,” terangnya.
Masalah Bunga Bank
Perlu diketahui bahwa dalam pemaparan materi ini Saad menggunakan bahasa Arab di awal yang kemudian ia terjemahkan sendiri.
“Saya kira yang ini ndak perlu diterjemahkan ya,” selorohnya diikuti tawa para peserta, lantas ia melanjutkan, “Baik saya merangkap menjadi pembicara dan sekaligus penerjemah,” katanya.
“Berikutnya, sebagaimana saya sampaikan sebelumnya, saya akan menyampaikan sedikit terkait studi Islam dalam bidang ekonomi Islam. Meskipun sedikit, tapi sangat penting,” tuturnya.
Adapun yang dimaksud dengan masalah yang sedikit itu ialah masalah perselisihan hukum pada bunga bank.
“Di masyarakat ada masalah, apa hukum bunga bank? Sebagaimana kita dapati di dalam fikih, bahwa sebagian ulama berpendapat bahwa bunga bank itu adalah haram, dan sebagian ulama lainnya berpendapat bahwa itu mubah,” terangnya.
Menurut Saad perselisihan pendapat mengenai hukum bunga bank disebabkan oleh adanya perbedaan (metode) dalam pengambilan hukum (istinbatul hukmi).
“Tentu bunga bank itu tidak terdapat dalam al-Qur’an, lalu orang berusaha menisbatkan hukum bunga bank itu kepada nash-nash al-Qur’an, supaya keputusan itu tetap dalam konteks memelihara agama (hifdzud din sebagai bagian dari maqashid as-syariah),” terangnya.
Saad melanjutkan, “Ketika ulama menggunakan qiyas dan di-qiyas-kan ke dalam riba, maka hukum bunga bank adalah haram,” terangnya.
Saad lantas menjelaskan definisi qiyas yaitu menyamakan hukum atau perkara yang tidak ada nashnya dengan hukum yang ada nashnya karena adanya kemiripan dalam hal ‘illat.
“Sehingga dalam konteks ini kita mendapatkan empat min arkanil qiyas (empat rukun qiyas). Pertama, adalah al-far’u, yakni amrun ghairu manshuusin (perkara yang tidak ada nash-nya). Bunga bank itu termasuk amrun ghairu manshusin,” ungkapnya.
Rukun yang kedua dalam qiyas adalah al-ashlu (perkara asal).
“Dan al-ashlu-nya ini harus nash, yakni ar-riba,” lantas ia mengutip potongan ayat dari al-Baqarah ayat 275:
وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ
(dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba).
Adapun rukun yang ketiga dalam qiyas yaitu hukmul asli (hukum dari perkara asal, yaitu dalam hal ini adalah hukum riba).
“Dan hukmul ashli ini sudah disebutkan di dalam ayat tadi wa harramar riba
‘وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ’
(dan Allah mengharamkan riba),” terangnya.
Adapun rukun qiyas yang keempat adalah adanya isytirakul illah (kesamaan/kemiripan illat).
“Maka persoalan yang sangat rumit di dalam konteks ilmu usul fikih terkait masalah ini adalah menemukan illat itu,” tuturnya.
Selanjutnya Saad menjelaskan definisi illat, “Apa illat itu?”
Lantas ia memaparkan sebuah definisi:
العلة وصف ظاهر منضبط بوجودها وجود الحكم وعدمها عدم الحكم
“‘Illat adalah karakter yang nampak yang terukur yang dengan adanya ada hukum dan dengan tidak adanya maka tidak ada hukum,” jelasnya.
Oleh karena itu menurut Saad proses untuk mengetahui adanya illat ini menjadi penting. Dia lantas menjelaskan bagaimana mencari dan menemukan illat untuk ta’liilul hukmi (menentukan hukum berdasarkan adanya illat).
“Pertama melihat nash-nash. Yang kedua menggunakan pemikiran-pemikiran murni kita sehingga bisa menemukan, termasuk menemukan indikasi-indikasi sehingga ditemukan illat itu,” terangnya.
Saad mencontohkan bahwa di dalam al-Qur’an Allah menandaskan mengenai riba,
لا تَأْكُلُوا الرِّبٰوٓا اَضْعَافًا مُّضٰعَفَةً
“Janganlah kalian memakan harta riba dengan berlipat ganda” (Ali Imran:130).
“Maka orang mengidentifikasikan yang pertama yang mungkin menjadi illat itu adanya pelipatgandaan setelah utang itu,” terangnya.
Adapun yang terindikasi menjadi illat menurut Saad yang kedua adalah adanya dzulm (kedzaliman, perbuatan merugikan orang lain), sebagaimana prinsip di dalam al-Qur’an
‘لَا تَظْلِمُوْنَ وَلَا تُظْلَمُوْنَ’ (kalian tidak mendzalimi dan tidak pula didzalimi, Ali imran ayat 279).
Adapun yang terindikasi sebagai illat yang ketiga dalam hal bunga bank menurut Saad adalah az-ziyaadah(adanya tambahan dalam pembayaran utang).
“Maka hal-hal seperti inilah dikategorikan sebagai illat,” tuturnya.
Saad lantas merinci, “Pertama mengenai az-ziyaadah. Az-ziyaadah itu dapat disebut dengan illat karena memenuhi aturan illat tadi, yaitu karakter yang sangat nyata, jelas, dan terukur. Jadi tambahan berapapun, 0.01 dolar, 0,01 rupiah, itu adalah ziyadah. Satu juta juga ziyadah, sehingga terukur betul,” terangnya.
Adapun illat yang berupa dzulm (unsur merugikan) di dalam bunga bank menurut Saad tidak bisa terukur sehingga tidak bisa menjadi illat.
“Kemudian adh’aafan mudha’afah, itu juga tidak terukur, karena berapa adh’afan mudha’afah itu tidak jelas. Apakah 0,1 persen, apakah 200 persen, ataukah 300 persen. Ini tidak bisa,” terangnya.
Oleh karena itu menurut Saad satu-satunya illat yang memenuhi kriteria illat dalam ilmu fikih, ilmu ushul fiqih, itu adalah azziyadah.
“Maka bunga bank adalah ziyadah. Karena itu ada isyritakul illah (persamaan atau kemiripan illat) antara bunga bank dengan riba, yaitu azziyadah tadi. Dengan demikian sampailah ulama dalam menyimpulkan bahwa bunga bank hukumnya haram. Inilah penggunaan qiyas,” paparnya.
Istihsan
Selanjutnya, menurut Saad jika seorang mujtahid tidak menggunakan qiyas tapi menggunakan istihsan, manhaj min manahijil istinbath (salah satu di antara manhaj pengambilan hukum) maka hukumnya berbeda.
“Apa itu istihsan?” tanyanya retoris. Istihsan yaitu
عدول المجتهد عن أن يحكم في المسألة بمثل ما حكم به في نظائرها لوجه أقوى يقتضي العدول عن الأول
(Seorang mujtahid menetapkan hukum pada suatu masalah dengan analogi apa yang ia menghukuminya pada pandangan-pandangannnya karena aspek yang lebih kuat yang menentukan hukum dari yang pertama, red).
“Gampangannya begini, kalau qiyas itu ada dua hal yang mirip antara al-far’u dengan al-ashlu dalam konteks illat-nya, maka karena mirip dihukumi dengan hukum yang sama. Tapi sebaliknya, istihsan itu ada dua hal yang mirip antara al-far’u dan al-ashlu. Mirip dalam konteks illat, tapi diberi hukum berbeda, tapi harus liwajhin aqwa, harus dengan alasan yang lebih kuat,” paparnya.
Maka ketika istihsan ini digunakan walaupun ada kesamaan dalam konteks ziyadah, tapi karena ada alasan yang lebih kuat sehingga tidak dihukumi dengan hukum riba, tidak diberikan hukum haram.
“Apa yang dimaksud dengan wajhun aqwa disini? maka wajhun aqwa ini ialah terjadinya inflasi. Nah wajhun aqwa itu tidak boleh terjadi pada masa nabi, harus terjadi pada masa selanjutnya yang oleh karena itu menjadi alasan kuat untuk seorang mujtahid tidak menggunakan qiyas tapi menggunakan istihsan sehingga simpulannya berbeda,” terangnya.
Saad lantas menjelaskan bahwa pada masa Nabi Muhammad SAW tidak pernah terjadi inflasi karena pada saat itu uang dibuat dari emas dan perak.
“Nilainya, qimah dari uang dan perak itu nempel pada uang itu. kapanpun satu gram emas nanti tetap satu gram, tapi kalau kita rupiahkan itu menjadi berbeda,” terangnya.
Saad mencontohkan bahwa jika pada tahun 90-an 1 gram emas 22 karat harganya sekitar Rp 100 ribu, tapi saat ini (tahun 2022) harganya sudah hampir Rp 1juta.
“Maka ini yang disebut inflasi. Maka dalam konteks inilah para ulama tadi menyimpulkan bahwa bunga bank dengan menggunakan istihsan itu karena adanya inflasi. Tentu kalau ada deflasi lain lagi. Tapi deflasi itu relatif tidak terjadi atau kecil kemungkinan untuk terjadi. Yang terjadi adalah selalu inflasi-inflasi,” terangnya.
Saad lantas mengakhiri materinya dengan mencontohkan sebuah kasus, “Kalau ada orang punya utang tahun 90, Rp 10 juta, sekarang baru bayar maka yang ngutangi mungkin akan mengatakan begini: ‘Dulu Rp 10 juta itu bisa kami pakai pergi haji 3 orang, sekarang pergi haji itu Rp 40 juta’,” terangnya.
Hal inilah yang menurut Saad telah disebutkan di dalam al-Qur’an Surat al-Baqarah ayat 279: ‘لَا تَظْلِمُوْنَ وَلَا تُظْلَمُوْنَ
“Laa tadzlimuuna wa laa tudzlamuun, kalian shahibul maal (pemilik harta) tidak melakukan kedzaliman, dan kalian shahibul maal tidak terdzalimi. Saya cenderung menyimpulkan untuk menggunakan istihsan dari pada menggunakan qiyas,” tandasnya. (*)
Penulis Ain Nurwindasari Editor Mohammad Nurfatoni