Kriteria Pemimpin yang Menyelamatkan Umat; Kolom oleh M. Anwar Djaelani, peminat masalah sosial-kemasyarakatan
PWMU.CO – Sangat mungkin, banyak yang terheran-heran dengan isi pidato seseorang di Gelora Bung Karno, Jakarta, pada Sabtu 26 November 2022. Kata dia, pemimpin yang memikirkan rakyat itu kelihatan dari penampilannya, dari kerutan di wajahnya. Juga terlihat dari rambutnya, yaitu putih semua.
Atas isi pidato itu, sontak mengemuka tanggapan kritis dari berbagai kalangan. Ada catatan dari pengamat. Banyak tanggapan dari warga masyarakat, termasuk lewat meme yang bernada satire.
Pidato itu memang potensial memantik sikap kritis dari pihak yang masih punya nalar segar. Pertama, dari sisi “contoh soal”. Jika kriteria itu dikembalikan ke diri si yang berpidato, ada kontradiksi. Dia itu sudah lama menjadi pemimpin. Pernah sebagai walikota, sempat sebagai gubernur, terakhir—yang masih dijabatnya saat berpidato itu—sebagai presiden. Ternyata, rambut dia tidak putih. Menarik, bukan?
Kedua, rasanya, selama ini tak ada pendapat yang berdasarkan kepada suatu penelitian atau kajian ilmiah yang mengaitkan kriteria pemimpin yang baik dengan ciri fisik tertentu. Jika begitu, apa sandaran argumentasi dari orang yang berpidato itu?
Tersebab Menentukan
Posisi pemimpin sangat menentukan. Dengan kekuasaannya, pemimpin bisa “memerah-birukan” masyarakat. Maka, jika salah memilih pemimpin kita akan celaka. Untuk itu, terutama bagi umat Islam, ikutilah petunjuk Allah dan Rasul-Nya dalam memilih pemimpin.
Posisi pemimpin itu mulia. Allah menempatkannya pada posisi ketiga setelah Allah dan Rasulullah Saw dalam hal ketaatan yang harus ditunjukkan oleh kaum beriman. Perhatikanlah ayat ini: “Hai orang-orang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul-(Nya), dan ulil amri di antara kamu” (an-Nisa: 59).
Posisi pemimpin itu sangat strategis, sebagaimana maksud hadits ini: “Pemimpin itu sangat menentukan warna dan akhlak masyarakat” (HR Hakim). Maka, mengingat peran strategisnya, Islam meminta kita agar mencermati masalah pemimpin itu bahkan sampai ke komunitas yang kecil.
Cermatilah hadits ini: “Apabila tiga orang keluar (bepergian), maka hendaklah seorang di antara mereka itu diangkat sebagai pemimpin” (HR Abu Dawud). Artinya, jika hanya untuk mengurusi keperluan tiga orang saja Islam telah merokomendasikan untuk mengangkat seorang pemimpin, maka apatah lagi untuk mengurus keperluan sebuah negara.
Pemimpin itu punya peran sangat besar. Tanpa adanya pemimpin yang ditaati maka tak akan ada aturan yang bisa ditegakkan. Pemimpin bisa mendesain sekaligus mengusahakan semua hal yang dapat menuju ke arah pemenuhan kesejahteraan orang-orang yang dipimpinnya, mulai dari soal ekonomi sampai ke masalah pengamalan ajaran agama.
Yang Boleh dan Tak Boleh Dipilih
Apa kualifikasi pokok pemimpin yang wajib kita pilih? Syaratnya: Muslim, beriman, bertakwa, serta berakhlak terutama dalam hal dia menegakkan shalat dan menunaikan zakat. Perhatikanlah ayat ini: “Sesungguhnya penolong kamu hanyalah Allah, Rasul-Nya, dan orang-orang yang beriman, yang mendirikan shalat dan menunaikan zakat, seraya mereka tunduk (kepada Allah)” (al-Maaidah 55).
Berikutnya, pemimpin yang harus kita pilih itu memiliki kualifikasi yang terbaik dan termampu (sesuai HR Hakim). Sedapat-dapatnya, pemimpin yang kita pilih mendekati sifat-sifat kepemimpinan Nabi Muhammad Saw yang shiddiq, amanah, fathonah, dan tabligh. Dia harus shiddiq (jujur), amanah (terpercaya), fathanah(cerdas), dan tabligh (menyampaikan kebenaran kepada siapa saja).
Islam tak hanya memberi kriteria tentang pemimpin yang wajib kita pilih, tetapi juga memberi kriteria orang-orang yang tak boleh kita pilih. Berikut ini kriteria orang-orang yang tak boleh kita pilih sebagai pemimpin kaum Muslim.
Pertama, orang kafir. Perhatikanlah ayat ini: “Janganlah orang-orang Mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali (teman akrab, pemimpin, pelindung, penolong) sebagai pemimpin dengan meninggalkan orang-orang Mukmin. Barangsiapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap siksa-Nya. Dan, hanya kepada Allah kembali(mu)” (Ali ‘Imran 28).
Ayat di atas menjadi dasar tak bolehnya kita mengambil kaum kafir menjadi pemimpin kaum beriman. Adapun sebab turunnya Ali ‘Imran: 28 itu karena adanya kejadian berikut ini.
Suatu ketika, segolongan kaum Anshar “tertarik” kepada Hajaj bin Amrin, seorang pemuka Yahudi (“tertarik”, dalam pengertian bisa membuat segolongan kaum Anshar itu berpaling dari agama Islam). Melihat hal yang tak benar itu, maka segolongan kaum Anshar diingatkan Rif’ah bin Mundzir bersama dua Sahabat lainnya. Rif’ah mengatakan: “Wahai Saudaraku kaum Anshar, berhati-hatilah terhadap bujuk-rayu orang-orang Yahudi dan janganlah kamu berpaling dari ajaran agamamu.” Sayang, segolongan kaum Anshar itu menolak nasihat Rif’ah. Maka, turunlah QS Ali ‘Imraan [3]: 28 itu sebagai peringatan untuk tidak menjadikan orang-orang kafir sebagai pelindung kaum Mukmin (diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dari Sa’id atau ‘Ikrimah yang bersumber dari Ibnu Abbas).
Yahudi dan Nasrani
Kedua, Yahudi dan Nasrani. Perhatikanlah ayat ini: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu). Sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim” (al-Maidah 51).
Larangan tersebut semakin beralasan jika kita hubungkan dengan firman Allah di al-Baqarah 120, bahwa: “Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka”. Jika kita memilih mereka sebagai pemimpin, maka sama saja seperti kita memberi jalan kepada mereka untuk memimpin dan memengaruhi kaum Muslim. Padahal seharusnya kita mengikuti ketetapan Allah ini: “Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang beriman” (an-Nisa: 141).
Ketiga, pihak yang mempermainkan Agama. Perhatikanlah ayat ini: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil jadi pemimpinmu orang-orang yang membuat agamamu jadi buah ejekan dan permainan, (yaitu) di antara orang-orang yang telah diberi kitab sebelummu dan orang-orang yang kafir (orang-orang musyrik). Dan bertakwalah kepada Allah jika kamu betul-betul orang-orang yang beriman” (al-Maidah 57).
Keempat, musuh Allah dan musuh Mukmin. Perhatikanlah ayat ini: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad) karena rasa kasih sayang” (Mumthahanah 1).
Sungguh, pedoman memilih pemimpin itu sangat gamblang. Supaya umat selamat, kita harus berusaha melaksanakannya. Sambil berusaha, selalulah iringi dengan doa, misalnya dengan redaksi sebagai berikut:
Yaa Allah, beri kami kebaikan di dunia dengan mendapatkan pemimpin yang sesuai dengan panduan-Mu. Yaa Allah, beri kami kebaikan di akhirat dengan Engkau pertemukan kami dengan Pemimpin Utama kami, Muhammad Saw. Yaa Allah, bebaskan kami dari siksa neraka, yang kelak bisa saja menjadi tempat hunian kami jika salah memilih pemimpin. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni