Sejarah Batavia Cafe, Bangunan Tua Kedua di Alun-Alun Fatahilah; Liputan Kontributor PWMU.CO Gresik Zaki Abdul Wahid.
PWMU.CO – Saat mampir ke Kota Tua Jakarta bersama rombongan Kepala SD/MI Muhammadiyah Kabupaten Gresik, saya tertarik mengunjungi Batavia Cafe, Senin (28/11/2022).
Kafe itu istimewa. Sebab, merupakan bangunan tua kedua setelah Gedung Museum Jakarta di Alun-Alun Fatahilah. Tampak depan bangunan ini menghipnotis, seolah memaksa saya untuk masuk. Apalagi saat itu saya sangat mengantuk. Butuh asupan kafein dari kopi hitam warungan.
Saya langsung mendekati bangunan berlantai dua yang terasnya ditutupi kanopi hijau itu. Saat masuk, saya disambut ruang bersinar lampu redup, aksen khas kafe-kafe. Meja-meja kayu, lantai bermotif papan catur, dinding dari kayu, dan jajaran botol-botol anggur menambah kesan kafe bangsawan masa lalu.
Hiasan foto-foto lawas terpampang acak. Pramusaji berpakaian kebaya khas gadis Jawa yang bekerja untuk VOC kala itu membuat saya semakin terbawa suasana. Entah, seolah bagai pejoeang yang menyusup ke jantung pertahanan VOC atau VOC itu sendiri.
Salah satu pramusaji bernama Elsa Mairifania, seorang wanita berdarah Medan dan Padang, bertanya, “Mau yang smoking area atau tidak pak?”
“No (tidak) smoking area,” jawab saya pendek lalu saya diantar ke lantai dua melalui anak tangga berkarpet merah. Pegangan tangganya dari kayu yang diplamir sehingga mengkilap.
Saat melangkah ke atas, saya bisa mendengar langkah kaki yang sedikit berbunyi ketika kita menginjak tangga kayu. “Waduh, semoga kuat nih tangga,” batin saya.
Saya dibawa ke ruangan temaram, tampak bak restoran mewah para bangsawan Belanda. Banyak perabot dari kayu dan anyaman bambu. Pintunya dari kayu jati dicat hijau kusam dan cokelat. Meja bundar dengan taplak kain putih senada dengan lampu bersinar putih dengan ornamen besi yang tergantung di atasnya.
Saat itu jendela lantai dua dalam kondisi terbuka. Alhasil, sinaran langit sore melukiskan kehangatan ruangan itu. Foto-foto hitam putih para tokoh Belanda menambah kesan klasiknya.
Usai duduk di salah satu meja, saya melihat sekeliling. Penuh dengan orang bule bercakap-cakap. Seperti merapatkan sesuatu.
Pramusaji mendekat. Kini berkebaya merah. Saya diberi menu minuman dan makanan. Ada berbasis kopi hingga anggur merah. Yang terakhir harganya begitu mencengangkan. Mungkin karena anggurnya impor dari luar. Hanya disediakan jika ada acara ekspatriat yang merayakan sesuatu.
Soal harga hidangan seperti kopi dan makanan ringan di kafe itu tidak begitu mahal, tapi jika pesan bir atau anggur beda hal. Akhirnya saya pesan, “Mbak, saya (pesan) Cappucino sama pancake saus blueberry.”
Sejarah
Sambil menunggu hidangan, saya melihat sekeliling. Ingin rasanya wawancara owner atau pramusaji yang paham tempat itu. Tapi waktu sudah menujukkan pukul 5 sore. Saya harus bergegas karena bus akan melanjutkan perjalanan ke Hotel Fave, daerah Tanah Abang tempat rombongan istirahat.
Saat saya turun, saya bertemu Elsa kembali. “Lho Pak, kok sudah mau balik, cepat amat?” tanyanya.
“Iya nih saya harus kejar rombongan, saya dari Gresik,” jawab saya.
“Lho, jauh ya!” Kali ini Elsa menemani saya keluar sebagai salah satu SOP pada tamu yang datang. Sembari berjalan, saya berkesempatan mewawancarainya.
Elsa menerangkan, Batavia Cafe ini sebenarnya gedung lawas setelah gedung Museum Jakata. Gedung abad 19 yang dijaga dengan baik. Menurut Elsa, pemiliknya beruntung membeli tempat ini dan menjadikannya kafe pada tahun 1995. Pemerintah DKI pun menyarakankan kepada masyarakat atau turis untuk berkujung ke kafe cagar budaya.
“Kalau weekend ramai banget, Pak. Sampai harus reservasi dulu,” kata Elsa.
Setiap kali pengunjung masuk ke kafe, mereka perlu memberi nomor gawai agar masuk ke database mereka. “Itu sangat membantu jika ada barang yang tertinggal. Sehingga kita bisa menghubungi, selain ada penwaran-penawaran berupa acara dan menu-menu yang lezat,” imbuhnya.
Menu best seller (andalan) di kafe ini ialah Ayam Kodok. “Dinamakan Kodok karena dimasak utuh satu ayam dipanggang mirip kodok. Enak. Ayam boneless (tanpa tulang) dimasak dengan dipanggang. Di dalamnya ada sayuran, kentang. Tapi di tempat ini bukan kentang biasa, tapi kentang perkedel, ditambah jamur dan dibumbui dengan herbal khas eropa,” jelasnya mendetail. Penjelasan Elsa sukses menggugah selera saya.
Kata Elsa, Batavia Café di masa VOC ialah kantor administrasi, menopang pemerintahan Belanda untuk keperluan gubernur kala itu. Tepatnya di tahun 1805. Setelah merdeka, gedung itu hanya sebagai tampat kegiatan kebudayaan seperti pameran lukisan atau pameran karya seni lainnya. “Baru di tahun 1995 beralih fungsi jadi kafe,” tambahnya. (*)