Virus Polio Mengancam Kelumpuhan Anak Indonesia, Mengapa Muncul Kembali? Penulis Isrotul Sukma, kontributor PWMU.CO Bangkalan
PWMU.CO – Kementerian Kesehatan Indonesia telah menetapkan status kejadian luar biasa (KLB) polio, setelah ditemukannya kasus polio pertama di Kabupaten Pidie, Aceh.
Mengapa hal ini terjadi dan kenapa status KLB ini diberlakukan? Berikut ini hasil perbincangan secara daring PWMU.CO dengan Prof Dr Maksum Radji MBiomed. Guru Besar purnabakti Fakultas Farmasi UI dan Gurubesar Prodi Prodi Farmasi Fikes Universitas Esa Unggul Jakarta. Prof Maksum juga dikenal sebagai Ketua Dewan Pembina Pondok Pesantren Babussalam Socah, Bangkalan pada Rabu (14/12/1995).
Penetapan status KLB ini merupakan salah satu langkah penting guna mencegah meluasnya kasus polio ini, mengingat Indonesia termasuk salah satu negara yang telah mendapatkan sertifikat bebas polio dari WHO pada tahun 2014 yang lalu. Dengan penetapan status KLB polio ini kita semua akan terus waspada agar jangan sampai kasus polio ini membuka kembali sejarah kelam di Indonesia atas penyakit polio yang menyebabkan kelumpuhan, khususnya pada anak yang terinfeksi virus polio.
Apalagi kasus polio yang ditemukan di Aceh tersebut penyebabnya adalah virus polio tipe 2, dimana virus polio tipe 2 ini sudah dianggap tidak beredar lagi. Berdasarkan penelitian epidemiologi, apabila ditemukan satu kasus polio yang mengalami kelumpuhan, setidaknya kemungkinan ada sekitar 200 orang yang telah terinfeksi virus polio tersebut, dengan gejala yang lebih ringan.
Bagaimana Patogenesis dan Cara Penularan Virus Polio?
Manusia merupakan inang alamiah virus polio. Virus ini menempel pada reseptor spesifik yang terdapat pada permukaan sel epitel usus dan sel saraf pusat. Replikasi awal virus polio terjadi pada mukosa orofaring dan intestinal. Dari sini virus akan tersebar ke tonsil dan Peyer’s patches pada usus halus, serta saluran limfatik dan pada akhirnya akan tersebar melalui peredaran darah ke berbagai organ tubuh dan terjadi viremia. Virus polio dapat menyebar sepanjang saraf akson dari saraf perifer sampai sistem saraf pusat. Penyebaran virus dapat berlanjut ke sepanjang serabut saraf motorik dan saraf tulang belakang.
Pada sebagian besar kasus infeksi virus polio tidak menujukkan gejala, dan sebagian lainnya menunjukkan gejala demam, malaise, sakit kepala, mual, gangguan pencernaan dan saluran pernafasan. Bila terjadi penyebaran virus lebih lanjut, penyakit akan berkembang dan terjadi kelainan neurologik, dimana virus menyebar pada sel-sel saraf pusat dan sel otak. Apabila sistem saraf pusat terganggu dan mengalami kerusakan, gejala yang timbul antara lain berupa kelumpuhan otot dan gangguan penglihatan. Gangguan paralitik poliomielitis yang terjadi akan menetap seumur hidup penderita. Insidensi terjadinya paralisis poliomielitis tersebut hanya berkisar 1 persen dari kasus infeksi virus polio. Diduga bahwa antigen histokompatibilitas HLA-3 dan HLA-7 berperan penting dalam meningkatkan resiko paralisis (kelumpuhan).
Adapun cara penularan virus polio yang termasuk dalam famili Picornaviridae ini, ditularkan melalui jalur oral-fekal, dari orang yang terinfeksi virus polio ke orang lain. Virus polio bereplikasi dalam saluran usus dan tersebar ke seluruh tubuh melalui peredaran darah. Virus ini kemudian melalui tinja penderita polio dapat menyebar dengan cepat pada masyarakat, terutama bila kebersihan dan sanitasi lingkungan yang tidak higienis, serta buang air besar di sembarang tempat dapat meningkatkan penyebaran virus polio.
Gejala klinik yang ditimbulkan biasanya bersifat sedang dan dapat berkembang menjadi serius dengan gejala paralisis poliomielitis, meningitis atau miokarditis. Paralisis yang ditimbulkan oleh virus polio bersifat irreversibel, sehingga penderita akan menderita lumpuh layu sepanjang sisa hidupnya. Ketiga tipe virus polio yaitu polio tipe 1, 2, dan 3 dapat menimbulkan paralisis poliomielitis.
Manifestasi klinik infeksi virus polio terdiri dari 4 fase yaitu, (i). infeksi asimptomatik, (ii). gejala infeksi sedang (mild illness), (iii). meningtis aseptik dan (iv). paralitik poliomielitis. Sebagian besar infeksi virus polio tidak menimbukan gejala klinik yang spesifik (abortive poliomyelitis). Bila virus polio menginfeksi sistem saraf pusat, sekitar 1-2 persen akan terjadi polio nonparalitik dan 1 persen di antaranya berkembang menjadi polio paralitik.
Kasus Virus Polio Kembali Muncul di Beberapa Negara
Mengenai munculnya kembali kasus polio dalam beberapa tahun terakhir ini, Prof. Maksum membenarkan bahwa telah terdeteksi kasus polio di beberapa lainnya. Temuan virus polio tipe 2 di Aceh tersebut, menempatkan Indonesia sebagai negara ke 16 yang mendeteksi kembali kasus polio. Melansir informasi pada laman United Nation Foundation, https://unfoundation.org tanggal 26 September 2022 yang lalu kasus polio kembali muncul di belahan dunia, dimana di negara-negara tersebut, selama beberapa dekade terakhir tidak ditemukan lagi kasus polio.
Beberapa negara antara lain Malawi, Mozambik, Israel, Inggris, dan Amerika Serikat melaporkan telah mendeteksi munculnya virus polio. Kasus polio liar telah dilaporkan di Malawi dan Mozambik telah memicu peringatan di seluruh dunia. Padahal strain virus polio liar ini sudah tidak terdeteksi di kedua negara tersebut dalam kurun waktu 30 tahun.
Pada bulan Maret 2022 yang lalu, Israel mendeteksi kasus polio pertamanya sejak 1989 pada seorang anak laki-laki dari Yerusalem, dan pada bulan Juni yang lalu, otoritas kesehatan di Inggris mendeteksi virus polio dalam beberapa sampel air limbah yang diambil di timur laut London. Kemudian pada bulan Juli 2022, Departemen Kesehatan Negara Bagian New York melaporkan kasus polio pada seorang pemuda yang belum divaksinasi. Kasus ini merupakan kasus polio pertama yang tercatat di Amerika Serikat dalam kurun waktu lebih dari satu dekade.
Kasus Polio di Indonesia
Indonesia telah mengalami perjalanan panjang dalam menangani wabah virus polio ini. Dengan adanya resolusi WHO dan program The Global Polio Eradication Initiative pada tahun 1988, Indonesia telah melaksanakan program imunisasi nasional polio selama 3 tahun berturut-turut pada tahun 1995, 1996 dan 1997, serta telah berhasil memberantas virus polio di Indonesia sejak tahun 1996. Namun pada 13 Maret 2005 ditemukan kasus polio pertama di Kecamatan Cidahu Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Sehingga dalam kurun waktu 2005 sampai awal 2006, kasus polio tersebut berkembang menjadi KLB yang menyerang 305 orang, dan tersebar di 47 kabupaten/ kota di 10 provinsi di Indonesia.
Kasus wabah polio lainnya di Indonesia adalah ditemukannya 46 kasus Vaccine Derived Poliovirus (VDPV), yaitu kasus polio yang disebabkan oleh virus dari vaksin. Kasus ini terjadi apabila cakupan vaksinasinya rendah. Kasus polio ini ditemukan di Pulau Madura dan di Probolinggo, Jawa Timur. Disamping itu, kasus polio juga pernah terjadi secara sporadis, dimana ditemukannya satu kasus polio di Kabupaten Yakuhimo, Papua pada tanggal 27 November 2018 yang lalu.
Oleh sebab itu munculnya kembali kasus polio ini di suatu daerah tertentu perlu terus diwaspadai, terutama jika cakupan vaksinasi nya rendah. Setiap negara tetap berisiko mengalami munculnya kembali virus polio sampai virus tersebut benar-benar dapat dieradikasi di seluruh dunia.
Adapun cara transmisi polio adalah melalui fecal oral. Ketika seorang anak terinfeksi virus polio, virus masuk ke dalam tubuh melalui mulut dan berkembang biak di usus. Virus ini kemudian melalui tinja penderita polio dapat menyebar dengan cepat pada komunitas, terutama bila kebersihan dan sanitasi lingkungan yang tidak higienis, serta buang air besar di sembarang tempat dapat menyebabkan penyebaran virus polio.
Bagaimana Virus Polio Bisa Muncul Kembali?
Sebelum pencanangan imunisasi masal polio, penyebaran virus polio sangat luas dan telah tersebar di seluruh dunia, baik negara maju, negara berkembang, serta dapat menginfeksi semua umur, baik bayi, anak-anak maupun orang dewasa. Anak-anak umur kurang dari dua tahun paling rentan terhadap infeksi virus polio.
Setelah tahun 1960-an, dimana program imunisasi polio diselenggarakan diseluruh dunia yang dicanangkan oleh WHO untuk membebaskan dunia dari ancaman infeksi virus polio, prevalensi infeksi virus polio telah menurun dengan drastis. Bahkan WHO telah mencanangkan bahwa dunia terbebas dari infeksi virus polio pada tahun 2000. Saat ini sebetulnya dunia telah terbebas dari polio oleh WHO, termasuk di Indonesia. Namun, virus polio masih mampu hidup pada komunitas atau individu yang tidak diimunisasi. Sehingga virus polio ini memungkinkan untuk terus beredar di wilayah tertentu yang tingkat imunisasinya rendah.
Dalam dua tahun terakhir, tingkat vaksinasi anak secara global terhadap polio dan program vaksinasi lainnya termasuk di Indonesia, mengalami penurunan yang drastis akibat dampak dari pandemi Covid-19. Hal ini dapat berakibat pada penyebaran kembali virus polio di beberapa negara termasuk di Indonesia. Oleh sebab itu, cakupan vaksinasi polio harus tetap tinggi dan upaya pengawasan perlu terus ditingkatkan. Penemuan kasus polio baru-baru ini, termasuk di negara-negara yang selama beberapa dekade tidak ditemukan lagi kasus polio, merupakan peringatan kuat bahwa setiap negara tetap berisiko mengalami munculnya kembali kasus polio sampai virus polio dieradikasi di seluruh dunia. Terdapat 4 jenis vaksin Polio yang dapat digunakan untuk mencagah penyakit tersebut.
Apa yang Harus Kita Lakukan?
Imunisasi merupakan kunci penting dalam upaya pencegahan kasus polio. Vaksin yang diberikan dapat memberikan pelindungan bagi anak dan balita terhadap infeksi virus polio seumur hidupnya.
Terdapat 4 jenis vaksin Polio yang dapat digunakan untuk mencegah polio yaitu:
(1). Oral Polio Vaccine (OPV). Vaksin Polio ini merupakan vaksin polio trivalent OPV (tOPV) dikembangkan oleh Albert Sabin pada tahun 1950an. Vaksin yang mengandung virus polio serotipe 1, 2, dan 3, hidup yang sudah dilemahkan sebelumnya ini aman, efektif, dan memberikan perlindungan jangka panjang sehingga sangat efektif dalam menghentikan penularan virus polio. Virus polio yang telah dilemahkan dalam vaksin ini masih bisa berkembang biak dalam usus dan dapat merangsang usus dan darah untuk membentuk antibodi terhadap ketiga serotipe virus polio liar.
(2). Monovalent Oral Polio Vaccines (mOPV1 and mOPV3). Vaksin ini mengandung virus polio tipe 1 (mOPV1) atau viros polio tipe 3 (mOPV3), yang dikembangkan pada tahun 1950-an ini memberikan kekebalan hanya pada satu jenis dari tiga serotipe OPV, namun tidak memberikan perlindungan terhadap dua jenis lainnya.
(3.) Bivalent Oral Polio Vaccine (bOPV). Vaksin ini mulai digunakan pada tahun 2016, dimana vaksin bivalen OPV hanya mengandung virus polio serotipe 1 dan 3 yang dilemahkan, dalam jumlah yang sama seperti padavaksin trivalen. Vaksin ini memberikan respon imun yang lebih baik terhadap virus polio tipe 1 dan 3 dibandingkan dengan OPV trivalen, namun tidak memberikan kekebalan terhadap virus polio tipe 2.
(4). Inactivated Polio Vaccine (IPV). Vaksin poliovirus yang dinonaktifkan atau dimatikan ini, mengandung suspensi steril dari tiga jenis virus polio serootipe 1, serotipe 2, dan serotipe 3. Efektivitas IPV ini sangat tinggi mencapai 99 persen dalam melindungi seseorang terhadap infeksi virus polio.
Upaya untuk meningkatkan capaian dan cakupan imunisasi polio ini perlu terus ditingkatkan. Selain itu pemerintah perlu memastikan sistem surveilans kesehatan masyarakat berjalan secara optimal, dan peningkatan edukasi dan komunikasi kepada masyarakat melalui kerjasama para pemangku kepentingan termasuk peran aktif para tokoh masyarakat, serta dibutuhkan komitmen seluruh masyarakat guna terus mempertahankan status bebas polio di Indonesia. (*)
Virus Polio Mengancam Kelumpuhan Anak Indonesia; Editor Mohammad Nurfatoni