Resep NLP Parenting untuk Menghadapi Situasi Sulit dalam Keluarga; Liputan Kontributor PWMU.CO Gresik Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni.
PWMU.CO – Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jatim Dr Moh. Sulthon Amien MM mengajarkan Neuro Linguistic Programming (NLP) parenting ketika menghadapi situasi yang tidak baik dalam keluarga.
NLP parenting yakni pengasuhan dengan berkomunikasi yang benar, sehingga bisa menyentuh dan menggerakkan otak atau pikiran bawah sadar yang mengatur perilaku manusia.
Hal ini dia ungkap sebelum membahas secara mendalam bagaimana memaknai kesuksesan dalam keluarga pada Kajian Bakda Subuh Masjid Al-Khoory KH Faqih Oesman Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG), Ahad (18/12/2022).
Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) Universitas Muhammadiyah Surabaya ini mengajak mahasiswa baru UMG yang hadir untuk berdialog dalam relung hati mereka terdalam. “Barangkali dalam materi ini Anda menemukan ayah dan bunda tidak seperti itu ketika merawat dan mendampingi Anda mulai dari anak-anak sampai Anda dewasa, andaikan ada yang tidak pas dalam merawat,” ujarnya.
Maka Sulthon mengajak mereka memaafkan kedua orangtuanya seraya memohonkan ampunan kepada Allah. Dia mencontohkan, “Ya Allah, maafkan kedua orangtua kami.”
Kemudian dia mengimbau mereka berbicara kepada diri sendiri, “Hal-hal baik saja yang menjadi jiwa dan raga saya, yang akan memengaruhi perilaku saya.”
Parenting ala NLP ini, lanjutnya, juga bisa diterapkan ibu-ibu yang sedang hamil. Misal, kalau lagi suntuk atau ada yang tidak pas dengan suami maka bayinya diajak bicara, “Hai anakku dalam kandungan, mama tidak apa-apa. Cuma hal-hal baik saja yang berpengaruh kepadamu.”
Artinya, hal-hal tidak baik tidak akan berpengaruh. Hal ini karena apa yang dialami ibu juga berpengaruh terhadap anak yang sedang dalam kandungannya. “Tapi kalau sudah di-cut (diputus) dengan batin seperti tadi, maka hal-hal baik saja yang berpengaruh,” terang Direktur Utama Laboratorium Klinik Parahita Surabaya.
Sulthon kemudian mengutip surat an-Nisa ayat 9.
وَلۡيَخۡشَ الَّذِيۡنَ لَوۡ تَرَكُوۡا مِنۡ خَلۡفِهِمۡ ذُرِّيَّةً ضِعٰفًا خَافُوۡا عَلَيۡهِمۡ ۖفَلۡيَتَّقُوا اللّٰهَ وَلۡيَقُوۡلُوا قَوۡلًا سَدِيۡدًا
Artinya, “Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang sekiranya mereka meninggalkan keturunan yang lemah di belakang mereka yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan)nya. Oleh sebab itu, hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka berbicara dengan tutur kata yang benar.”
Dari ayat itu, Ketua Badan Pembina Sekolah Alam Insan Mulia (SAIM) Surabaya ini menekankan pentingnya perkataan maupun nasihat orangtua yang mulia, berkualitas, dan mengandung makna. “Dari mulut kita (orangtua) pertama kali harus keluar kata-kata yang baik. Itu syarat utama kalau kita ingin punya anak-anak yang baik!” ungkap Sulthon.
Orangtua sebagai Guru
Kalau mendidik dengan makian, lanjutnya, otak anak sudah butek terlebih dahulu. Hasilnya tentu berbeda jika saat mengajari sang anak, orangtua mengatakan, “Gampang kok sayangku, ayo dicoba lagi.”
Shulton lantas mengenang ketika dulu tidak ada sekolah. Orangtua sendiri yang mengajari anaknya, berperan sebagai guru. Kalau orangtua ke pasar, anaknya diajak ke pasar. Begitupula ketika orangtua ke sawah.
“Sekarang orangtua sibuk, anak dititipkan di sekolah. Sayang sekolah tidak mengajarkan tentang kehidupan. Alhasil lulusan pascasarjana nggak tahu cara menghadapi orang. Sekarang mulai teori di kelas dikurangi, anak-anak diajari life skill,” terangnya.
Adapun ‘generasi lemah’ di ayat itu menurut Shulton merupakan perwujudan dari lingkaran setan. Kalau orangtuanya tidak berpengetahuan, biasanya tidak mengajari anak tentang kepedulian. Akhirnya, hal-hal merusak yang diajarkan ke anaknya sehingga terjadi kezaliman.
“Nanti dia tidak menuhankan Allah, taghut. (Padahal) Allah manifestasi kebenaran. Entah dia jenderal, S3, atau profesor, tapi kalau bodoh otak depannya, yang dituhankan hanya kemewahan, pangkat, dan sejenisnya.
Iman lemah, prestasi lemah, karya lemah, kepedulian lemah, kepada tuhan masih separuh-separuh. Inilah lingkaran setan,” jelas dia.
Menurut Sulthon, lingkaran itulah yang harus diputus agar tidak sambung-menyambung pada generasi berikutnya. “Orang bodoh tidak punya peran apa-apa di masyarakat. Kemalasan dan kegalauan kita potong! Bangun kepedulian pada yang baik: kecerdasan, bacaan literasi, kepercayaan, ibadah, relasi,” tuturnya.
Sulthon menyadari butuh energi dan kemauan untuk ‘naik tangga’ keberhasilan. Maka dia menganjurkan untuk berkata kepada diri sendiri, “Bro, bukan waktunya untuk santai, waktunya untuk berkarya sekecil apa pun!”
Anak Belajar dari Kehidupan
Dalam kesempatan itu, Sulthon juga mengajak jamaah belajar dari surat as-Shaffat ayat 102. Artinya, “Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata, ‘Wahai anakku! Sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!’ Dia (Ismail) menjawab, ‘Wahai ayahku! Lakukanlah apa yang diperintahkan (Allah) kepadamu; insyaallah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar’.”
Dia menegaskan bagaimana Ibrahim mengutarakan kepada anaknya. “Orangtua kepada anak nggak langsung mengatakan, hai anakku aku diperintahkan Allah mau menyembelih kamu, tapi al-Quran menceritakan dengan bahasa sindiran, membuat ibarat, aku bermimpi menyembelihmu. Itu indahnya al-Quran,” terangnya.
Akhirnya Dirut Laboratorium Klinik Parahita itu mengutip pendapat Dorothy Law Nolte tentang bagaimana anak-anak belajar dari kehidupannya.
Jika anak dibesarkan dengan celaan, ia belajar memaki.
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi.
Jika anak dibesarkan dengan cemoohan, ia belajar rendah diri.
Jika anak dibesarkan dengan hinaan, ia belajar menyesali diri.
Jika anak dibesarkan dengan toleransi, ia belajar menahan diri.
Jika anak dibesarkan dengan dorongan, ia belajar percaya diri.
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai.
Jika anak dibesarkan dengan sebaik-baiknya perlakuan, ia belajar keadilan.
Jika anak dibesarkan dengan rasa aman, ia belajar menaruh kepercayaan.
Jika anak dibesarkan dengan dukungan, ia belajar menyenangi dirinya.
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.” (*)