Musywil Husnul Khatimah oleh M. Arif’an SH, Sekretaris PDM Kota Surabaya
PWMU.CO– Sukses penyelenggaraan Muktamar ke-48 Muhammadiyah di Surakarta mendapat apresiasi dari pelbagai kalangan.
Kesuksesan event akbar tertinggi di Persyarikatan tersebut tak hanya dinilai dari aspek perhelatan yang disuguhkan PWM Jateng dan UM Surakarta sebagai tuan rumah yang nyaris sempurna.
Juga melihat dari proses permusyawaratan pemilihan anggota Pimpinan Pusat dan butir-butir penting yang dirumuskan sebagai kontribusi membangun umat, bangsa, dan kemanusiaan global.
Kesuksesan Muhammadiyah menggelar muktamar karena warga Persyarikatan menjadikannya sebagai ajang silaturahmi dengan semangat relawan. Karena itu yang hadir bukan hanya para pimpinan tapi juga penggembira dari seluruh penjuru nusantara.
Darah segar yang terpilih di jajaran anggota PP Muhammadiyah diharapkan mewarnai performa Muhammadiyah lima tahun ke depan. Dengan segala prestasinya, Muktamar Solo layak disebut sebagai Muktamar Uswatun Hasanah dan Muktamar Husnul Khatimah di tengah kelangkaan proses demokratisasi damai dan bermartabat di republik ini.
Barometer
Kini gegap gempita perhelatan berpindah secara berurutan ke Musyawarah Wilayah, Musyawarah Daerah, Musyawarah Cabang, dan Musyawarah Ranting di penjuru tanah air.
Musyawarah Wilayah (Musywil) ke-16 Muhammadiyah Jawa Timur akan berlangsung di Ponorogo, Sabtu-Ahad, 24-25 Desember 2022. Ponorogo dipilih sebagai tuan rumah dengan pertimbangan sarana dan prasarana lengkap sekaligus sebagai ikhtiar menggelorakan syiar dakwah Muhammadiyah di Kota Reog .
Eksistensi Muhammadiyah Jatim yang mampu menembus benteng tradisi menjadi barometer Muhammadiyah nasional. Aset dan terobosan program yang mentereng menjadi percontohan.
Sebagian kalangan menyebut Muhammadiyah Jatim sebagai simbol dinamisasi gerakan Persyarikatan. Muncul adagium yang sudah populer: Muhammadiyah lahir di Yogyakarta, berkedudukan nasional di Jakarta, namun berkembang di Jatim.
Dinamisasi ini tak lepas dari karakteristik warga Jawa Timur yang terkenal dengan slogan Suroboyoan: Bonek alias bondo nekat.
PWM Jatim juga yang berani mengakuisisi klub sepak bola untuk main di Liga 2, meskipun dalam puatran kompetisi tahun lalu posisinya turun kasta di Liga 3.
Di antara banyak apresiasi dan sanjung puji, bukan berarti Muhammadiyah Jatim paripurna tanpa cela. Sederet catatan dengan garis tebal mulai mengemuka jelang pelaksanaan Musywil. Ragam catatan evaluatif datang dari kader internal bernuansa kritik konstrukstif sekaligus ekspresi rasa cinta.
Syarat Musywil
Musywil Ponorogo dirancang berasa muktamar. Tak hanya aspek kegiatan, gebyar upacara pembukaan, dan atribut organisasi yang bertebaran, namun sukses dan kualitas Musywil juga diukur dengan rumusan program futuristik yang realistis. Personal pimpinan yang amanah, visioner, meranting (bahasa lain merakyat), dan sepenuh hati menginfakkan waktu, tenaga, serta pikiran untuk memajukan Persyarikatan.
Agar pelaksanaan Musywil ke-16 juga happy ending dengan sematan Musywil Uswatun Hasanah dan Musywil Khusnul Khatimah, setidaknya ada beberapa hal yang harus diperhatikan.
Pertama, gelaran Musywil harus dijadikan media silaturahmi antarkader di Jatim. Menjadi momen merajut tali persaudaraan dan kasih sayang sesama kader dengan ubo rampe-nya. Menjadikan yang jauh makin dekat dan yang dekat semakin melekat. Silaturahmi juga mensyaratkan kegembiraan, bukan kesedihan, apalagi permusuhan.
Lihatlah para penggembira Muktamar lalu, yang meski tidak semua bisa menikmati malam Mangayubagyo di Edutorium, tidak bisa masuk ke arena upacara pembukaan di Stadion Manahan, dan harus berjalan kaki cukup jauh di bawah gerimis pagi dan terik siang, namun tetap bergembira.
Kedua, Musywil dijadikan permusyawaratan khas ala Muhammadiyah seperti Muktamar Solo yang menyajikan kesejukan, berkemajuan dengan menerapkan teknologi e-voting, dan jauh dari nuansa politis.
Aspek ini harus digarisbawahi. Sebab elemen Persyarikatan yang besar bisa memantik tarik-menarik kepentingan (conflict of interest) di kalangan internal maupun eksternal. Apalagi yang berkecimpung dalam politik.
Ketiga, mata akan menyorot siapa sosok yang dianggap layak masuk 13 anggota PWM Jatim. Gejala kampanye, bergerilya mencari dukungan, membentuk tim sukses sudah terasa. Semua aktivitas itu boleh saja selama dilakukan dengan santun, tidak saling menjatuhkan dalam bingkai ber-fastabiqul khairat.
PWM Berasa Ranting
Keempat, ada baiknya memahami pernyataan Sekretaris Umum PP Muhammadiyah Abdul Mu’ti bahwa kepemimpinan Muhammadiyah itu kolektif kolegial. Bergantung pada sistem bukan sinten (siapa orangnya) dan pinten (berani berapa uangnya).
Maknanya, seluruh kader terbaik di Jatim layak menjadi anggota PWM asalkan terpilih secara demokratis di ajang Musywil. Para kader tidak menjadikan personal tertentu sebagai ’berhala’. Jangan membangun mitos: tanpa sosok dia, Muhammadiyah bakal terjadi gempa bumi.
Kelima, membaca tantangan ideologi dan gerakan organisasi di masa depan, komposisi PWM Jatim harus banyak diisi oleh kader-kader organik yang merasakan betul perjuangan mendakwahkan misi Persyarikatan di akar rumput.
Para kader yang tumbuh kembang bersama ranting, cabang, dan daerah yang kenyang dengan pengalaman empirik di medan dakwah musti diberi porsi.
PWM ke depan harus berasa PRM dan PCM, bukan berasa PP. Ini untuk menegaskan bahwa posisi ranting dan cabang itu penting, bukan sepele atau pelengkap penderita.
Perspektif demikian supaya PWM dengan segala pemikiran futuristiknya tetap menginjakkan kaki di bumi dan sering-sering menengok ke bawah yang tak sedikit masih dijumpai berbagai kelemahan.
Kritik untuk PWM
Keenam, Musywil hendaknya dijadikan forum evaluasi program dan kebijakan organisasi. Ini untuk mengetahui kadar efektivitas program yang telah dijalankan satu periode saat ini, sekaligus merancang aksi strategis lima tahun ke depan.
Kritik dari bawah bahwa PWM dinilai banyak intervensi kebijakan yang itu menjadi domain Pimpinan Daerah. Misal, kebijakan terhadap AUM membuat aturan yang tidak inline dengan Pimpinan Pusat.
Kritik lainnya, PWM dinilai terlalu ambisius dengan program yang merupakan domain Pimpinan Pusat. Misal, rencana pembelian gereja di Spanyol. Pembelian klub sepak bola HWFC dianggap pemborosan keuangan. Apalagi sumber dananya mengambil dari AUM.
Program dan kebijakan tingkat ’langit’ tersebut sangat paradoks dan abai bahwa di akar rumput banyak kondisi sekolah, panti asuhan, musala, masjid, dan AUM yang masih membutuhkan dukungan dana, perhatian, bahkan advokasi.
Ketujuh, sebagai ajang permusyawaratan tertinggi di tingkat wilayah serta kebutuhan menjaga keberlanjutan organisasi, dalam Musywil tahun ini harus terjadi regenerasi.
Gagasan Pak Din soal darah segar di Muktamar Solo juga menemukan koordinat relevansinya pada Musywil kali ini. Musywil memberikan kesempatan yang seluas-luasnya kepada kader-kader terbaik untuk dapat tampil sebagai anggota pleno pimpinan wilayah.
Betapa besar harapan baik atas Musywil Ponorogo agar menjadi Musywil Uswatun Hasanah dan Musywil Husnul Khatima. Banyak kader bermental pejuang mampu melanjutkan nakhoda kepemimpinan Muhammadiyah Jatim.
Editor Sugeng Purwanto