Muhammadiyah Jatim: Isu-Isu Strategis Keumatan, Kemasyarakatan, dan Kemanusiaan. Disampaikan dalam Musyawarah Wilayah Ke-16 Muhammadiyah Jawa Timur Tahun 2022 di Ponorogo
A. Keumatan
1. Konflik Bernuansa Agama
Dalam lima tahun ini, muncul beberapa ketegangan, konflik, dan bahkan kekerasan baik yang terjadi antarsesama pemeluk agama maupun antaragama. Tentu konflik tersebut bukan baru karena tahun-tahun sebelumnya juga pernah terjadi peristiwa serupa. Yang menjadi korban konflik tersebut seringkali adalah kelompok minoritas, baik itu minoritas kelompok yang seagama ataupun berbeda agama. Dalam konteks wilayah Jawa Timur yang banyak muncul adalah konflik yang melibatkan sesama kelompok keagamaan. Bahkan terjadi pengrusakan plang atau papan nama Muhammadiyah di desa Tampo, Cluring, Banyuwangi (Republika, 02/2022) . Contoh ini menunjukkan bahwa di internal umat Islam sendiri masih ada sikap intoleransi akibat perbedaan paham keagamaan.
Baru-baru ini juga terjadi pembatalan sebuah event bernama hijrah fest yang konon bernuansa Islam juga. Pembatalan event tersebut, salah satunya, dikarenakan ada dugaan tentang paham dari bagian organizer yang bertentangan dengan ideologi negara. Peristiwa ini cukup mengejutkan di mana jaminan penyelenggaraan sebuah acara yang sebelumnya diijinkan kemudian batal karena tekanan satu-dua kelompok. Tampak tidak ada jaminan dari penyelenggara negara untuk kebebeasan berkumpul dan berserikat bagi warganya di ruang publik yang secara hukum dijamin undang-undang. Sayangnya, kemungkinan besar peristiwa-peristiwa semacam itu tidak masuk menjadi pertimbangan dalam perumusa indeks demokrasi di Jawa Timur. Sulit melacak detil item-item tentang peristiwa yang masuk dalam indeks demokrasi yang seharusnya terbuka untuk publik. Gambar 1 di bawah ini menunjukkan bagaimana indeks demokrasi membaik, namun banyak fakta yang justru menunjukkan perihal yang tidak demokratis di ruang publik.
Situasi ini diperparah dengan kondisi global dunia Islam, khususnya di kawasan Timur Tengah. Konflik politik antarnegara berpenduduk Islam disebabkan mereka menjadikan agama sebagai alat untuk mencari dukungan. Ketegangan dan konflik di sebagian kawasan tersebut juga terkait dengan hubungan Sunni-Syi’ah. Berbagai informasi, gambar, dan cerita yang tersebar di jejaring media sosial pun menambah kebencian di kalangan sesama muslim Indonesia yang berbeda pandangan keislaman. Melalui informasi yang kebenarannya tidak bisa dipertanggungjawabkan akhirnya dijadikan dasar untuk saling membenci dan menghujat kelompok lain. Singkatnya, ketegangan, konflik, bahkan peperangan yang terjadi kawasan Timur Tengah justru direduplikasi di Indonesia, khususnya Jawa Timur. Kasus pengusiran syiah Sampang di Madura masih berimplikasi hingga kini.
Melihat kasus di atas, Muhammadiyah perlu menjadi pelopor terwujudnya ummatan wasathan, middle path atau umat tengahan. Melalui dakwah pencerahannya, Muhammadiyah mempunyai tanggungjawab untuk menyebarkan dan mempraktikkan budaya beragama yang toleran (tasamuh) dan moderat (tawasuth), baik di lingkungan persyarikatan, internal umat Islam, serta umat beragama lain. Muhammadiyah juga harus menjaga warganya agar tidak terpesona dengan gerakan keagamaan yang ekstrim, suka mengkafirkan sesama muslim, atau bahkan memaksakan kehendak dengan menggunakan kekerasan. Selain itu, Muhammadiyah juga harus membangun komunikasi dan kerjasama dengan berbagai kelompok intern umat Islam dan antar umat beragama. Hal ini penting untuk mengatasi problematika keumatan dan kemanusiaan secara umum.
2. Migrasi Jamaah dan Tantangan Dakwah
Gejala perpindahan (migrasi) sebagian warga Muhammadiyah menjadi isu penting dalam beberapa dekade terakhir. Migrasi jamaah Muhammadiyah ke organisasi berbasis keislaman lain, seperti Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), Majelis Tafsir Al-Qur’an (MTA), gerakan Salafi, dan lainnya perlu menjadi perhatian pimpinan Persyarikatan. Bahkan di beberapa daerah terdapat migrasi jamaah Muhammadiyah ke kelompok-kelompok yang bisa diidentifikasi radikal-reaksioner, seperti halnya Front Pembela Islam (FPI). Fakta ini penting menjadi refleksi pimpinan Muhammadiyah. Pertanyaan pentingnya adalah bagaimana paham agama Islam menurut Muhammadiyah menyikapi paham-paham lain sehingga warga Persyarikatan tidak mudah terpesona? juga bagaimana instrument kaderisasi di organisasi otonom (Ortom) dan Persyarikatan merespon tantangan tersebut?
Gerakan-gerakan salafi dalam berbagai ekspresi, baik yang moderat atau radikal-reaksioner, selalu menggelorakan spirit kembali pada al-Qur’an dan Sunnah. Gerakan tersebut juga intens di dunia maya terutama media sosial. Doktrin gerakan salafi ini jelas berhimpitan dengan semangat al-ruju’ ila al-Qur’an wa al-sunnah al-maqbulah yang didengungkan Muhammadiyah. Lebih jauh, praktik keberagamaan sebagian warga Muhammadiyah terkadang juga terlalu kering dari nilai-nilai spiritualitas. Padahal Islam di Indonesia umumnya bersifat “berbunga” (flowering Islam). Ekspresi Islam di Indonesia juga banyak diwarnai budaya dan adat istiadat lokal. Sementara mubaligh Muhammadiyah seringkali menggunakan pendekatan teologis-normatif dalam memahami praktik keagamaan umat. Dampaknya, ekspresi Islam yang “berbunga” itu seringkali dipandang sebagai bertentangan dengan jiwa tauhid Islam.
Seringkali, tema utama dakwah mubaligh Muhammadiyah pun cenderung mengedepankan ihwal takhayul, bid’ah, dan churafat (TBC). Akibatnya, Muhammadiyah dinilai sebagai gerakan Islam yang anti kebudayaan. Semestinya, Muhammadiyah bisa menghadirkan kebudayaan alternatif yang benar-benar “berkemajuan” untuk menggantikan kebudayaan lama yang cenderung sinkretik dan berbau klenik. Praktik keberagamaan sebagian warga Muhammadiyah yang anti kebudayaan juga bisa menjadi penyebab terjadinya migrasi jamaah Muhammadiyah ke kelompok yang berfaham lain. Karena itu, model dakwah Muhammadiyah perlu mencerminkan rumusan dakwah kultural yang ditetapkan dalam muktamar ke-44 di Jakarta pada 2000 silam. Bahkan dalam muktamar ke-47 di Makassar pada 2015 dan ke-48 tahun 2022 di Solo, Muhammadiyah sangat menekankan pentingnya dakwah berbasis komunitas. Sebelum masuk ke komunitas tertentu, pengetahuan tentangnya pun idealnya penting dimiliki. Komunitas yang beragam jelas membutuhkan strategi dakwah yang berbeda. Strategi ini penting dakwah Muhammadiyah bisa menjangkau seluruh lapisan masyarakat. Berbagai komunitas pasti merindukan dakwah pencerahan Muhammadiyah. Inilah tantangan dakwah Muhammadiyah era kini.
3. Penguatan Tata Kelola dan Jejaring Masjid Muhammadiyah
Galib diketahui, masjid adalah pusat dakwah Islam dan tentu saja Muhammadiyah tidak lepas dari masjid. Namun, dalam beberapa hal dapat ditemukan dengan mudah bagaimana sebuah masjid yang notabene dikelola Muhammadiyah kekurangan kader ulama atau ta‘mir, kesulitan generasi penerus, belum memiliki rencana-rencana program yang tersistem karena hanya menjalankan rutinitas, dan bahkan kurang menarik jamaah. Dengan kata lain, jangan-jangan generasi baru mulai meninggalkan masjid karena tidak ada kemenarikan di masjid. Ada juga masalah yang kerap muncul sebagai keluh kesah yaitu berkurangnya jamaah shalat lima waktu dari waktu ke waktu. Pun, banyak masjid yang mulai sulit mencari ta’mir atau khotib atau imam. Beberapa masalah tersebut kiranya penting untuk diperhatikan dan dipecahkan secara sistematis.
Konon, perumusan konsep ta’mir dalam struktur kepengurusan telah dipelopori oleh Muhammadiyah berkaitan dengan pengurangan sentralitas pada imam atau kyai saja. Tradisi ini sekarang telah berhasil menciptakan keorganisasian masjid yang membentuk nilai dan praktik musyawarah melalui ta’mir. Sayangnya, tidak banyak ta’mir yang cenderung pasif, menggantungkan suasana masjid pada rutinitas dan bahkan kurang kreatif memunculkan kegiatan da’wah yang menarik banyak jamaah. Jangan-jangan, masalah ta’mir ini sebenarnya berpangkal pada “ide kreatif“, “inspirasi“, “tata kelola“, “kerjasama“ yang kurang maksimal!
Data dari Kementerian Agama (Kemenag) per Mei 2022 menunjukkan jumlah masjid 290.161 masjid yang tersebar di 34 provinsi. Provinsi dengan jumlah masjid terbanyak adalah Jawa Barat, yakni mencapai 59.243 masjid. Disusul wilayah Jawa Tengah sejumlah 50.691 masjid, dan Jawa Timur sejumlah 49.869 masjid. Sedangkan total Amal Usaha Muhammadiyah (AUM) masjid dan musholla Muhammadiyah sejumlah 20.198 per tahun 2021. Tentu bukan jumlah yang sedikit.
Angka-angka tersebut tentu menjadi perhatian khusus tentang sejauh mana kuantitas masjid tersebut sebanding dengan kualitas pengelolaannya untuk kepentingan umat khususnya dalam urusan pemberdayaan ekonomi sosial umat. Tidak jarang ditemui masjid yang berdiri besar dan megah di tengah pemukiman yang miskin, meskipun Islam sarat dengan ajaran kesetiakawanan sosial. Selain itu, masih banyak masjid yang bangga dengan jumlah kas dengan nominal banyak namun programnya hanya untuk pembangungan fisik masjid saja, namun belum nyata hadir terlibat aktif dalam penyelesaian persoalan sosial-ekonomi masyarakat sekitarnya, misal kasus maraknya masyarakat yang terjerat pinjaman online (bentuk modernisasi dari rentenir) hingga turunan kasus-kasus lainnya.
Sebagai pelopor gerakan Islam berkemajuan, mungkinkah Muhammadiyah mendesain sebuah tata kelola keorganisasian masjid dan memperhatikan secara khusus masjid-masjid (karena lokus ini sangat inti dan prinsipil)? Tata kelola yang dimaksud di sini adalah bagaimana Muhammadiyah mendesain sebuah sistem dalam pengelolaan masjid atau bahkan semacam panduan dalam mengelola masjid. Tentu saja, panduan ini akan memperhatikan beberapa masalah yang sedang dialami banyak masjid sebagaimana telah disebut sebelumnya. Bila telah tersusun sebuah sistem tata kelola masjid, tersusun sebuah panduan, kiranya penting untuk memberikan semacam training kepada para pengelola atau ta’mir masjid-masjid Muhammadiyah. Dengan model training ini, diharapkan juga akan ada jejaring antarpeserta training baik berjenjang atau bergelombang untuk berkerjasama dan saling mendukung, saling menguatkan kegiatan masjid-masjid mereka. Kiranya ini bisa membantu menyemarakkan masjid dan saling bekerjasama untuk mendukung semarak antarmasjid di area Jawa Timur. Belum lagi, penguatan ketrampilan tertentu dalam berdakwah bagi pengurus masjid seperti ketrampilan digital penting dimiliki sebagai upaya kemenarikan masjid bagi generasi dan masyarakat saat ini.
4. Literasi Digital Kemuhammadiyahan
Saat ini manusia hidup dalam dunia dan budaya digital yang serba mudah dan cepat terutama pasca pandemi Covid-19. Bahkan, budaya digital yang menyebar lewat televisi, internet, radio, gadget atau ponsel dan sejenisnya dapat dengan mudah memengaruhi alam pikiran dan orientasi tindakan yang menjadikan manusia seperti insan modular. Kita juga sadar betul bahwa pengetahuan kita berasal dari informasi-informasi yang menyebar di banyak sumber. Media sosial juga tidak bisa ditampik telah menjadi sumber kuat dalam informasi yang kita peroleh. Fakta dari pentingnya budaya digital ini dibuktikan dengan jumlah pengguna internet di Jawa Timur tahun 2020 yang mencapai 23,4 juta orang.
Seringkali orang juga mencari sesuatu atau menanyakan sesuatu terutama persoalan agama pada mesin pencari google. Sebelum era internet, banyak orang bertanya pada ulama di podium, majelis tertentu, di koran, majalah, radio, dan televisi. Saat ini, banyak penganut agama langsung bertanya tentang masalah yang dihadapi pada sumber sumber internet melalui google.
Di rimba raya internet, dapatkah kita dengan mudah memperoleh jawaban atas masalah tertentu yang sesuai dengan ajaran Muhammadiyah? Belum tentu. Sumber-sumber tentang tanya jawab persoalan Islam secara praktik kemuhammadiyahan tidak begitu mudah dicari. Yang sering muncul dan tampil di halaman utama Google ketika bertanya sesuatu justru adalah ajaran-ajaran dan praktik keagamaan atau keislaman lain. Dalam merespons ini, tentu Muhammadiyah perlu lebih memperbanyak produksi konten-konten ajaran Islam ala Muhammadiyah.
Di Muhammadiyah Jawa Timur, penetrasi kanal media online yang sudah dirintis sebagai upaya penetrasi sumber rujukan Islam ala Muhammadiyah di antaranya; PWMU.CO, Klikmu.com, dan beberapa media rintisan kader-kader Muhammdiyah Jawa Timur efektif memberikan alternatif baru rujukan bagi warga persyarikatan dan masyarakat pada umumnya. Berdasarkan Alexa rank (Alexa.com) bahwa per tanggal 30 Juli 2022 menunjukkan ada tiga web Muhammadiyah yang berada di deretan tertinggi di Indonesia, yakni Muhammadiyah.or.id peringkat 2.172, PWMU.CO peringkat 5.889 dan suaramuhammadiyah.or.id peringkat 7.061, IBTimes.id peringkat 8044, schmu.id peringkat 36.905, dan Klikmu.co peringkat 40.987. Namun, jika dibandingkan dengan web organisasi lainnya, Muhammadiyah masih tertinggal jauh, sehingga masih butuh usaha yang lebih keras lagi untuk mengisi kekosongan ruang-ruang informasi via dunia cyber dengan paham Islam ala Muhammadiyah.
Produksi konten-konten tentang Muhammadiyah masih belum banyak dan mudah ditemui di dunia digital khususnya internet. Untuk itu, perlu kiranya memproduksi dan mereproduksi konten-konten yang memuat ajaran, sistem, cara-cara, praktik-praktik, dan seterusnya tentang Muhammadiyah. Beberapa sumber baik itu website dan kanal yang sudah ada masih tampak belum menghadirkan secara menarik informasi mengenai jawaban Muhammadiyah tentang persoalan umat. Sebagai contoh, Himpunan Putusan Tarjih yang tersebar di internet masih dominan berupa bundel buku utuh PDF yang monoton. Belum banyak yang memuat HPT tematik dengan penulisan dan pengemasan yang ramah baca di internet. Persoalan lain tentang ihwal Kemuhammadiyahan juga perlu dikemas secara lebih ramah baca dan ramah cari di internet sebab tantangan dakwah saat ini tak jauh dari selera publik yang cenderung bertanya pada internet dibanding dengan ulama, tokoh, atau saluran tatap muka lainnya.
5. Penguatan Wasathiyah Islam
Wasathiyah Islam ini bukan sekadar narasi elit atau wacana yang hidup di menara gading. Tentu kita sering mendengar bahwa Muhammadiyah terus menggelorakan diri sebagai bagian dari ummatan wasathan yang merujuk QS Al-Baqarah: 143. Kontekstualisasi dari teks atau nash ini dapat kita lihat dalam praktik berislam di Indonesia yang notabene moderat, ramah, dan santun. Akan tetapi dalam beberapa tahun terakhir ini muncul fenomena perilaku beragama yang cenderung kaku dan keras. Padahal, praktik kekerasan seringkali justru memicu konflik, bukan malah sebaliknya mengajak orang lain untuk simpati dan mengikuti keyakinan kita.
Ummatan wasathan sebagai basis dari penciri kita untuk Islam wasathiyah perlu terus dikuatkan dan ditanamkan dalam dakwah. Sikap sejatinya ini sudah diajarkan dan dipraktikkan sejak Muhammadiyah didirikan oleh KH Ahmad Dahlan lebih dari seabad lalu. Bagaimana berkomunikasi dengan orang atau kelompok yang berbeda, bagaimana menyapa mereka, bagaimana bermusyawarah, bertetangga, dan bersilaturrahim dengan orang yang berbeda bahkan beda keyakinan sesungguhnya sudah banyak dicontohkan.
Cara pandang keagamaan yang menyalahkan orang dan kelompok yang berbeda salah tentu tidak positif bagi kepentingan ukhuwah internal umat Islam maupun bagi persatuan bangsa, lebih-lebih dalam kehidupan beragama dan berbangsa di Indonesia yang majemuk. Di sinilah pentingnya cara beragama yang benar-benar moderat secara autentik di tubuh umat Islam maupun agama lain untuk tidak jatuh pada posisi dan sikap ekstrem. Bila beragama dibangun di atas wasathiyah Islam maka menghadapi perbedaan paham dan golongan maupun dalam menyikap keadaan yang tidak sejalan dengan pandangannya, seyogianya ditunjukkan dengan sikap yang tawasuth atau tengahan, sehingga melahirkan moderasi yang moderat, bukan moderasi yang ekstrem.
Berangkat dari realitas tersebut, Muhammadiyah mengajak umat Islam, khususnya warga Persyarikatan untuk membangun sikap beragama yang moderat dalam spirit wasathiyah Islam yang autentik. Cara pandang beragama yang tengahan (wasathiyah) dengan mengedepankan paham dan sikap yang adil, ihsan, arif, damai, dan menebar rahmat baik dalam menyikapi perbedaan maupun membangun kehidupan beragama. Setiap kelompok yang berbeda saling menghargai dan menjaga persatuan. Cara pandang yang menumbuhkan cara berfikir kritis, menghargai kelompok lain, dan toleransi (tasamuh) dalam melihat perbedaan dengan semangat persaudaraan Islam (ukhuwah Islamiyah). Memandang perbedaan adalah sunnatullah yang harus dihargai dan menjadi hikmah bagi kehidupan. Menunjukkan sikap wasathiyah atau moderat dengan pandangan dan sikap yang autentik sehingga menghadirkan autentisitas wasathiyah Islam dalam beragama. Mengajak berbagai kelompok umat Islam untuk mencari titik persamaan (kalimatun sawa) daripada memperuncing perbedaan untuk kemaslahatan umat Islam dan mewujudkan Islam sebagai rahmatan lil alamin.
Karenanya Muhammadiyah menyampaikan pesan dan solusi. Pertama, semua umat atau kelompok agama khususnya di kalangan umat Islam agar mengedepankan wasathiyah Islam yang autentik dan tidak beragama secara ekstrem. Kedua, kelompok agama yang mengusung moderasi beragama atau beragama yang moderat agar di satu pihak menghargai prinsip beragama, di pihak lain memperjuangkan moderasi dengan pandangan dan cara yang moderat. Ketiga, Muhammadiyah mendorong agar mainstreaming moderasi agama harus dilakukan dengan cara yang moderat sehingga melibatkan banyak pihak kelompok keagamaan dan tidak hanya satu pihak. Keempat, negara agar bersikap moderat atau adil dan objektif dalam memperlakukan dan menyikapi umat beragama serta tidak dijadikan alat menekan atau mendiskriminasi kelompok agama tertentu atas nama moderasi beragama.
B. Kemasyarakatan
1. Memperkuat Keadilan Hukum
Indonesia adalah negara hukum, sebagaimana pondasi Undang-Undang Dasar 1945, penyelenggaraan dan penyelenggara negara berdasarkan atas hukum. Setiap warga negara memiliki kedudukan yang sama di hadapan hukum. Pelaksanaan hukum secara teguh, lurus, konsisten, dan adil merupakan keniscayaan yang menjamin terpenuhinya hak dan keadilan hukum bagi seluruh warga negara. Hukum tidak boleh tajam ke bawah dan tumpul ke atas disertai kriminalisasi yang dicari-cari kesalahan terhadap warga bangsa tanpa dadar dan bukti hukum yang kuat.
Cita-cita mewujudkan Indonesia sebagai negara yang adil, sebagaimana termaktub dalam pembukaan UUD 1945, masih jauh dari kenyataan. Undang-undang dan peraturan tidak sedikit yang bertentangan dengan aspirasi terbesar rakyat serta tidak berpihak kepada rakyat. Banyak sekali kasus di mana hukum berpihak kepada kelompok yang mampu memiliki akses kepada aparatur hukum, khususnya pengadilan, kejaksaan, dan kepolisian. Bahkan, ada fenomena di mana hukum dikalahkan oleh kepentingan politik, bisnis, dan kekuasaan.
Selain meningkatkan literasi, kesadaran, dan kepatuhan masyarakat, hal yang sangat penting adalah penguatan akhlak dan komitmen para aparatur hukum. Diperlukan berapa perubahan undang-undang daerah atau peraturan daerah untuk menghilangkan ketimpangan masalah hukum. Peraturan daerah harus turut menjadi perhatian Muhammadiyah untuk menjaga keadilan dan mewujudkannya. Dalam pada itu, kepentingan publik berbasis keadilan dalam setiap penetapan peraturan daerah perlu menjadi perhatian Muhammadiyah agar terwujud masyarakat yang adil dan utama.
2. Memperkuat Ketahanan Keluarga
Isu ini menjadi isu nasional yang telah dibahas dalam Muktamar ke-48 di Solo. Memang, keluarga merupakan pranata sosial, pendidikan, dan agama yang sangat penting. Keluarga adalah lembaga di mana anak-anak memahami nilai-nilai budaya, agama, pengetahuan, dan akhlak yang utama. Kekuatan dan ketahanan keluarga menentukan kekuatan, kemajuan, kesejahteraan, dan masa depan umat dan bangsa.
Pada saat ini kedudukan dan fungsi keluarga sebagai lembaga pendidikan sosial, dasar pendidikan, dan pemerolehan agama mengalami pergeseran dan pelemahan. Terdapat gejala di mana sebagian anggota masyarakat memilih tidak berkeluarga. Karena berbagai faktor maka sistem dan struktur keluarga berubah dari extended family menjadi nuclear family. Angka perceraian cenderung meningkat, khususnya di kalangan keluarga muda. Kekerasan dalam rumah tangga juga semakin sering terjadi. Persoalan pernikahan dini dan pernikahan tidak tercatat (di KUA) juga menjadi fenomena di masyarakat dan minim jangkauan pendidikan dan pencerdasan, sehingga memunculkan masalah baru baik ekonomi maupun kesehatan. Seluruh faktor ini dapat kita lihat, misalnya, dalam hasil survei indeks pembagungan manusia di Jawa Timur yang masih perlu mendapat perhatian. Dalam gambar 2, terdapat klaim bahwa indeks tersebut konsisten naik, namun dengan fakta harapan hidup 71,74 tahun, lama sekolah 8,03 tahun, dan pengeluaran rerata per tahun 11 jutaan, praktik keseharian dalam keluarga masih cenderung memiliki banyak masalah. Artinya tingkat kebahagiaan dan kesejahteraan masih belum terpenuhi.
Berdasarkan data survei yang tentu saja tidak sampai pada detil fakta keseharian keluarga tersebut, kita harus mengakui bahwa di level Pendidikan saja, harapan lama sekolah masih faktanya hanya 8,03 tahun. Oleh sebab itu, penguatan ketahanan keluarga merupakan agenda kebangsaan yang penting dan strategis untuk membangun generasi dan bangsa yang kuat. Ketahanan keluarga adalah kondisi di mana terjalin kedamaian, hubungan yang harmonis dan penuh kasih sayang di antara anggota keluarga, pemenuhan kesejahteraan material dan spiritual, jasmani dan rohani, serta pendidikan yang utama. Pemerintah, organisasi sosial keagamaan, dan semua pihak perlu memberikan perhatian yang lebih seksama terhadap ketahanan keluarga melalui pembinaan agama, pendidikan, konsultasi keluarga, advokasi, dan pendampingan sosial. Muhammadiyah, dalam hal ini, dapat membantu masyarakat untuk menciptakan ketahanan dan kebahagiaan dalam keluarga.
3. Penataan Ruang Publik yang Inklusif dan Adil
Yang dimaksud ruang publik di sini adalah ranah kehidupan sosial dalam bentuk ruang/tempat/arena/ untuk kepentingan publik. Setiap orang atau semua warga negara dijamin aksesnya untuk memanfaatkan ruang publik. Ruang publik ini tidak sama dengan konsep “publik”, yaitu individu yang berkumpul atau dalam kerumunan orang. Konsep ruang publik ini fokus pada lembaga/institusi sebagai media berpartisipasi masyarakat. Ruang publik ini biasa disebut badan publik yang pemanfaatannya tunduk pada aturan konstitusi dan hukum. Ruang publik tidak hanya berbentuk bagunan fisik tetapi juga berupa media massa (cetak dan elektronik), seperti surat kabar, majalah, radio, televisi adalah media dari ruang publik. Ruang publik dapat digunakan untuk berkumpul, berdiskusi, dan berekspresi secara bebas dalam melayani kepentingan umum, termasuk untuk bisnis, birokrasi, politik, dsb.
Ruang publik juga merupakan akses publik yang memiliki berbagai fungsi di antaranya pemenuhan kebutuhan tempat tinggal, ekonomi, tempat ibadah, pemakaman, olahraga, taman, dan kegiatan masyarakat. Pada dasarnya setiap warga negara berhak untuk mendapatkan dan menggunakan akses ruang publik dengan cara yang sesuai ketentuan undang-undang dan peraturan. Kasus penolakan terhadap subuah event Hijrah Fest 2022 di Surabaya waktu lalu sebenarnya juga berkait dengan perihal ruang publik yang inklusif dan adil. Penolakan kelompok tertentu terhadap acara festival dengan salah satu alasan berseberangan dengan ideologi negara tanpa proses peradilan tentu patut menjadi perhatian. Ruang publik yang semestinya terbuka untuk berdialog dan inklusif terhadap kelompok apapun sepanjang sesuai dengan perundangan semestinya diciptakan untuk kehidupan bersama.
Seiring perkembangan jumlah penduduk, industri, dan perubahan sosial, kepemilikan, ketersediaan, dan akses ruang publik menimbulkan berbagai masalah, seperti ter- jadinya praktik monopoli oleh perusahaan, pengembang perumahan, individu, dan kelompok tertentu. Selain itu, terdapat juga penyalahgunaan tata ruang yang menimbulkan kerusakan lingkungan hidup, sumber daya hayati, dan bencana alam utamanya banjir, tanah longsor, dan krisis air bersih dan kekeringan. Ruang publik yang tidak tertata dengan baik menimbulkan masalah segregasi sosial akibat dari eksklusivisme alih fungsi lahan seperti untuk perumahan bagi kalangan elite, untuk kelompok agama tertentu, serta termasuk fenomena pemakaman eksklusif yang tidak dapat diakses publik.
Pemerintah pusat dan pemerintah daerah seharusnya menegakkan aturan tata ruang yang adil untuk menjamin terpenuhinya hak publik masyarakat untuk menghindari terjadinya konflik sosial, pelanggaran HAM, dan kerusakan lingkungan hidup. Penataan perumahan dan ruang publik yang inklusif lintas agama, suku, dan menghargai keberagaman masyarakat, termasuk warga difabel akan membawa kemaslahatan dan kesatuan bangsa. Jika regulasi hari ini dirasa tidak cukup berdaya melindungi ruang hidup, maka diperlukan undang-undang tata ruang yang baru dan peraturan perundangan yang memungkinkan penataan ruang publik yang adil dan inklusif.
4. Pengelolaan Ketahanan Healthy Aging
Healthy aging (menjadi lansia), menurut organisasi Kesehatan dunia (WHO), merupakan proses pengembangan dan mempertahankan kemampuan fungsional atau kesehatan fisik, sosial dan mental. Ketahanan healthy aging dapat membuat tetap sejahtera di usia yang lebih tua, dalam rangka meningkatkan kualitas hidup seiring bertambahnya usia. Untuk itu, konsep healthy aging harus terus disebarluaskan, bukan hanya bagi kelompok lansia (senior) saja, namun juga bagi masyarakat kelompok usia dewasa (pre-senior) agar dapat mempersiapkan usia tua yang tetap sehat.
Di Indonesia, persentase penduduk lansia angkanya terus meningkat. Diproyeksikan, populasi penduduk lansia akan mencapai hampir seperlima dari total penduduk Indonesia pada tahun 2045. Penuaan yang dialami kelompok lansia perlu menjadi perhatian tersendiri, karena kelompok ini memiliki risiko lebih tinggi untuk mengidap penyakit tidak menular kronis yang mematikan, seperti hipertensi, anemia, diabetes mellitus, penyakit jantung, arthritis, stroke, serta obesitas. Ditambah lagi, pola makan yang buruk dan kurangnya aktivitas fisik menyebabkan peningkatan prevalensi kondisi kronis di antara populasi lanjut usia.
Oleh karena itu, pemerintah daerah dan seluruh elemen masyarakat perlu melakukan mitigasi demografi dengan berbagai program yang memungkinkan warga senior tetap aktif dan produktif melalui berbagai kegiatan sosial, keagamaan, kebudayaan, ekonomi, pariwisata, dan kegiatan lainnya. Layanan pendidikan nonformal dan kesehatan bagi kelompok usia lanjut maupun dewasa akan sangat menentukan kesejahteraan dan kemajuan bangsa dan negara. Muhammadiyah perlu ikut serta membangun ketahanan healthy aging dan mendorong perhatian yang serius oleh para pemangku kebijakan untuk mewujudkan hidup yang lebih berkualitas dan sejahtera. Selain masalah pokok tentang kebutuhan dasar, pemukiman yang layak, jaminan Kesehatan, dan bahkan urusan pemakaman kerap menjadi persoalan meskipun hal ini jumlahnya tidak banyak.
5. Penguatan Pendidikan Non-Formal
Seperti diketahui, pendidikan nonformal bertujuan untuk memenuhi berbagai macam kebutuhan individual dan juga untuk memenuhi tujuan-tujuan sosial sesuai dengan misi pembangunan nasional. Tujuan tersebut termasuk di dalamnya misi pemberantasan buta aksara, pemberdayaan kaum perempuan, pemberdayaan masyarakat daerah-daerah tertinggal, daerah pedalaman, suku terasing, daerah perbatasan dan dipulau-pulau luar. Kesertaan menjadi warga belajar pada pendidikan nonformal yang dimaksudkan untuk memenuhi tujuan individual lazimnya atas pilihan sukarela, yaitu mengikuti suatu program atas kehendak dan pilihannya sendiri. Sedangkan kesertaan sebagai warga belajar pada program pendidikan nonformal yang tergolong bertujuan sosial umumnya atas dasar suatu kewajiban sosial guna menyukseskan cita-cita bersama dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Pendidikan nonformal lahir dari pemikiran tentang konsep learning society dan konsep lifelong learning. Learning society lahir dan berkembang sejalan dengan lahirnya peradaban dan pemahaman tentang nilai-nilai pengalaman (pendidikan), nilai-nilai pengetahuan, dan nilai-nilai kehidupan sebagai landasan hidup dan kehidupan individu, keluarga dan masyarakat. Pada proses itulah masyarakat saling mengenal saling belajar saling berkomunikasi dan saling menghargai diantara sesamanya.
Karena pendidikan nonformal mampu menyatukan proses learning society dan lifelong learning ke dalam sebuah sistem yang terstruktur terorganisir dan menjadi standar dalam pemahaman dan penyampaian pengetahuan, keterampilan atau pengalaman dari individu yang satu ke individu yang lain atau dari masyarakat yang satu ke masyarakat lainnya di luar konteks pendidikan formal.
Beberapa dasar dari pentingnya pendidikan nonformal tersebut dapat kita tarik dalam konteks Persyarikatan. Bila Persyarikatan sudah memiliki kekuatan mapan atas pendidikan formal seperti sekolah tingkat dasar sampai perguruan tinggi, maka apakah hal tersebut juga hadir dalam Pendidikan nonformal? Tujuan Pendidikan nonformal ini tentu tak lagi mementingkan ijazah melainkan ketrampilan yang menjadi tujuan utama. Peserta Pendidikan nonformal digembelng untuk memiliki dan menguasai ketrampilan tertentu sesuai dengan tujuannya. Contoh dari Pendidikan nonformal ini beragam dari misalnya Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD), Day Care, Sanggar Seni (Kriya, lukis, musik), pelatihan komputer, data science, digital marketing, perawatan manula, sampai pelatihan potong rambut dan potong kuku dan seterusnya.
Karena tujuan dari Pendidikan nonformal ini berorientasi pada ketrampilan yang siap untuk kerja, maka potensi peserta didik lebih banyak mereka yang mungkin kurang minat atau kurang mampu menempuh Pendidikan formal yang relatif lebih lama dan mahal. Persyarikatan tampaknya perlu mempertimbangkan masaalah kebutuhan masyarakat ini secara lebih serius. Tentu saja perihal ini bukan sekadar peluang namun lebih jauh adalah kepentingan sosial untuk membantu masyarakat utamanya generasi muda memenuhi minat dan bakatnya serta berpotensi memberikan peluang kerja.
6. Jihad Ekonomi (Ancaman Resesi Global)
Ancaman resesi ekonomi tahun 2022 ini hingga beberapa tahun kedepan sudah nyata dirasakan sejak beberapa harga barang pokok seperti minyak goreng dan BBM naik. Tentu ini memunculkan kekuatiran bagi banyak masyarakat Muslim. Harus diakui bahwa kekuatan ekonomi umat Islam masih jauh tertinggal dibandingkan kelompok-kelompok sosial tertentu. Kelompok ini menguasai jaringan bisnis dan ekonomi baik kecil, menengah, maupun besar. Memang ada jaringan ekonomi bisnis di kalangan umat, tetapi dibandingkan dengan kelompok mapan tersebut, umat masih sangat jauh jaraknya. Bahkan sebagian kecil dari kelompok mereka menguasai konglomerasi bisnis di seluruh wilayah Indonesia dan dunia. Jaringan ekonomi mereka juga tergolong tertata rapi sehingga menjadi kekuatan yang menentukan ekonomi dunia.
Bagaimana dengan kekuatan ekonomi umat Islam, khususnya warga Muhammadiyah? Jawabnya, tentu masih tertinggal dengan kelompok yang mapan tersebut. Umat seyogianya belajar bagaimana membengun kekuatan ekonomi dari pihsk yang kredibel dan kompeten serta berpengalaman itu. Berangkat dari realitas tersebut, maka kesadaran untuk membangun semangat kewirausahaan serta kemandirian ekonomi harus dibangun. Kekuatan ekonomi harus menjadi isu strategis di kalangan pimpinan dan warga Muhammadiyah. Kekuatan ekonomi sangat penting jika Muhammadiyah ingin mandiri, bebas dari segala kepentingan pihak luar. Apalagi secara historis Muhammadiyah periode awal banyak digerakkan kelompok saudagar yang sekaligus mubaligh andal. Pada konteks inilah wacana Jihad Ekonomi penting digelorakan agar virus entrepreneur mewabah di kalangan aktivis Muhammadiyah. Bahkan penting dimulai Jihad Ekonomi dari Muhammadiyah. Dengan kemandirian ekonomi maka Persyarikatan bisa berbuat lebih banyak untuk umat, berdikari, percaya diri dan egaliter ketika berkomunikasi dengan penguasa dan partai-partai politik.
Berangkat posisi strategis bidang tersebut, maka terobosan mengenai Jihad Ekonomi di lingkungan Muhammadiyah mutlak dijalankan. Jihad Ekonomi yang dimaksud adalah usaha yang sungguh dan berkelanjutan untuk membangun kekuatan ekonomi Persyarikatan di setiap level pimpinan. Jihad Ekonomi harus diterjemahkan menjadi kebijakan ekonomi Muhammadiyah yang lebih konkret dengan berbagai program pengembangan ekonomi berbasis Persyarikatan. Dalam kaitan ini, Muhammadiyah Jatim di antaranya memiliki kisah sukses melalui Badan Usaha Milik Muhammadiyah (BUMM), yakni PT Data Matahari Utama (DMU). Namun tentu saja lini ekonomi ini sangat luas sehingga perlu adanya strategi yang kooperatif yang melibatkan pihak-pihak strategis dengan desain yang terstuktur. Jihad ekonomi masih perlu dikembangkan dan digiatkan di berbagai lini karena masalah ini menyangkut hajat hidup persyarikatan dan masyarakat secara luas.
7. Jihad Politik
Saat didirikan tahun 1912, Muhammadiyah berorientasi dalam ranah dakwah, pendidikan dan pelayanan sosial. Dalam proses pergerakannya di masa kemerdekaan, keterlibatan Muhammadiyah dengan politik praktis mengalami pasang surut hingga muncul keputusan Muktamar Ujung Pandang tahun 1971 untuk tidak terikat dengan partai politik. Namun, lagi-lagi Muhammadiyah menghadapi dilema untuk memosisikan diri dalam ranah politik praktis terutama berkaitan dengan partai politik. Yang menarik dalam perjalanan tersebut adalah jihad politik Muhammadiyah (Jipolmu) yang dinilai bisa diandalkan sebagai strategi persyarikatan dalam jihad politik. Meskipun belum menampakkan hasil yang memuaskan, jipolmu ini mampu membuktikan diri dengan mengantarkan salah satu kader Muhammadiyah ke kursi DPR RI.
Keberhasilan ini tentu dipengaruhi oleh banyak faktor baik yang tersirat maupun tersurat. Demikian juga dengan kegagalan demi kegagalan yang juga dipengaruhi banyak faktor. Pengalaman tersebut tentu saja menjadi ibrah yang sangat penting dan relevan dalam konteks posisi Muhammadiyah untuk berjihad politik. Bagaimana mempelajari kegagalan dan keberhasilan tersebut dengan detil dinamikanya dan dimana sesungguhnya kekuatan dan kelemahan menjadi penting ddiperhatikan. Tentu saja, seyogyanya kekuatan dan kelemahan itu diarsip dengan data yang baik (tidak hanya lisan) sehingga dapat dipelajari dengan cermat untuk konteks jihad berikutnya dan bahkan generasi berikutnya. Bila tidak ada catatan dan arsip yang detil mengenai keberhasilan dan kegagalan jipolmu, maka penyusunan desain dan strategi berjihad berikutnya berpotensi mengulang kegagalan.
Jihad politik juga perlu mempertimbangkan konteks kecenderungan pemilih di setiap area di kabupaten yang memang berbeda-beda. Hasil dari pemilu 2019 dan penelitian juga perlu dipertimbangkan sebagai langkah strategis ke depannya. Dalam gambar 3 di bawah ini, tampak jelas kecenderungan mana yang menjadi preferensi dari para pemilih yang juga memiliki kecenderungan kebudayaan seperti Mataraman, Arek, Madura, Osing, dan Tengger. Apakah pemilih notabene cenderung pada kesamaan ideologi dengan Muhammadiyah atau justru sebaliknya? Bila jawabannya tidak, berarti jihad politik Muhammadiyah perlu mendesain strategi yang lebih jitu dan upaya lebih keras lagi untuk memiliki akses lebih ke politik.
Dalam masalah jihad politik ini, tampaknya sangat diperlukan penataan dan strategi yang cair sesuai degan sifat politik yang sebenarnya cair dengan konsentrasi utama kemenangan atau keberhasilan. Para praktisi, akademisi, dan stake holder berkait lainnya perlu bersama-sama merumuskan desain jihad politik Muhammadiyah yang lebih taktis untuk mencapai tujuannya.
Yang tidak kalah penting lagi, pengawalan terhadap keberhasilan harus tetap dilakukan agar jihad politik tetap berjalan dalam koridor gerak persyarikatan. Evaluasi semestinya juga penting dilakukan untuk melihat dan mempelajari sejauh mana efektifitas dan kontribusi kepada persyarikatan bila telah mampu menempati posisi strategis di bidang politik.
8. Kekerasan dalam Dunia Pendidikan
Belakangan ini diberitakan banyak kasus kekerasan dalam dunia pendirikan, bahkan pendidikan Islam yang khas yaitu pesantren. Sebagaimana rilis hasil investigasi tentang kekerasan di dunia Pendidikan belakangan ini (lihat gambar 4), terdapat 703 kasus kekerasan yang terjadi di lingkungan satuan pendidikan berbasis agama dan asrama. Tentu ini patut menjadi perhatian serius dalam persyarikatan.
Kekerasan, dalam metafora yang luas, bisa mencakup beragam perlakuan yang tidak menyenangkan baik secara fisik maupun psikologis. Efek kekerasan terhadap peserta didik seringkali permanen. Dalam jangka panjang, efek psikologis mungkin yang paling mengkhawatirkan karena bisa memengaruhi perilaku seseorang ketika dewasa bahkan di masa tuanya. Beberapa kasus kekerasan yang terjadi di dunia pendidikan dan mencuat dalam beberapa bulan terakhir di Indonesia ini mengindikasikan adanya tindak kekerasan yang melibatkan hampir semua stakeholders sekolah, yaitu guru, pegawai, siswa, dan bahkan orangtua.
Sebagai organisasi yang memiliki jejaring dan tatanan kuat di bidang pendidikan, Muhammadiyah perlu memperhatikan kasus kekerasan khususnya yang terjadi pada peserta didik di berbagai level dari dasar, menengah, sampai perguruan tinggi. Kasus-kasus yang mencuat belakangan ini dari kekerasan fisik, perundungan (bullying), hingga kekerasan seksual harus diantisipasi dan diberantas terutama di lembaga pendidikan Muhammadiyah. Untuk menuju ke sana, seyogianya strategi tertentu perlu dibentuk dan dijadikan komitmen bersama agar pendidikan di Muhammadiyah bebas dari tindak dan perilaku kekerasan.
Fakta yang sudah hadir dan berkembang di lingkungan kita terutama di era internet ini jelas menunjukkan adanya sensibilitas baru masyarakat. Model pendidikan yang melazimkan kekerasan semestinya harus dibongkar dan disesuaikan dengan konteks zaman saat ini agar berkesesuaian dengan jiwa peserta didik. Semangat zaman yang terus berkembang dan berubah harus menjadi faktor penting dalam penyusunan strategi penyelenggaraan pendidikan yang humanis dan mengedepankan well being untuk menghapus praktik kekerasan di dunia pendidikan. Muhammadiyah juga perlu mendorong program-program pemerintah daerah yang menjauhkan praktik kekerasan dan mengedepankan praktik well being dalam pendidikan.
C. Kemanusiaan
1. Budaya Hidup Bersih
Islam mengajarkan kebersihan dan keindahan kepada umatnya. Secara normatif, ajaran ini banyak ditemui ayat dan hadits. Intinya, Islam memerintahkan setiap muslim baik secara pribadi maupun kolektif untuk menjaga kebersihan diri dan lingkungan sekitar. Tentu bukan tanpa alasan perintah tersebut diajarkan. Karena secara ilmiah itu telah dibuktikan bahwa kebersihan sangat berhubungan dengan kesehatan. Tetapi secara empirik kita masih sering menjumpai pribadi, kelompok, rumah, sekolah, dan masjid, yang kotor, kumuh, dan tidak terawat. Bahkan sekolah yang seharusnya menjadi laboratorium untuk membangun budaya bersih sehat, dan hijau, juga tak kalah kotornya. Hal itu menunjukkan bahwa kebersihan, keindahan, dan kerapian belum menjadi cara perhatian utama warga Muhammadiyah dan masyarakat pada umumnya.
Berangkat dari realitas itulah maka kebersihan dan kerapian harus menjadi bagian dari kehidupan umat. Lebih lanjut kedisiplinan, termasuk menaati peraturan, merupakan salah satu karakter masyarakat beradab. Dengan demikian, ajaran menjaga kebersihan kerapian, keindahan, dan kedisiplinan harus diwujudkan dalam kehidupan sehari-hari, baik di rumah, kantor, sekolah, dan amal usaha Muhammadiyah lainnya. Warga Muhammadiyah harus menjadi pelopor sekaligus teladan bagi masyarakat lainnya. Membangun kesadaran menjaga kebersihan harus terus digelorakan. Untuk mencapai itu semua ada beberapa hal yang bisa dilakukan, seperti membuang sampah di tempatnya dan penyelenggaraan lomba kebersihan antar AUM. Upaya meningkatkan kebersihan juga memerlukan sistem serta teknologi tepat guna sehingga mampu mengatasi problem kebersihan lingkungan tersebut, misalnya melalui teknologi daur ulang. Dengan membiasakan hidup bersih, sehat, dan hijau, akan terwujud budaya yang baik terhadap alam sekitar.
Sebagai respons atas masalah kebersihan yang tak lepas dari isu sampah ini, tampaknya pengelolaan sampah yang ramah lingkungan perlu menjadi perhatian persyarikatan. Pemisahan sampah plastik, sampah kaca/keramik, dan sampah organik menjadi sangat amat urgen bagi masyarakat. Pengelolaan sampah yang menjadi hilir dari budaya hidup bersih harus diupayakan. Dorongan pengelolaan sampah juga perlu disoundingkan kepada pemerintah daerah untuk memfasilitasi pengelolaan sebagai bagian dari budaya hidup bersih.
2. Kerusakan Lingkungan
Isu kerusakan lingkungan menjadi perhatian global saat ini karena menyangkut masa depan bumi yang berumur semakin tua. Isu ini juga lekat dengan kasus di sekitar Jawa Timur yang perlu mendapat perhatian. Berdasarkan laporan LBH Surabaya, terdapat 87 kasus pencemaran lingkungan dengan kategori pencemaran sungai menempati 31 kasus. Jumlah ini disusul oleh pencemaran saluran irigasi sebanyak 17 kasus; pencemaran sampah domestik 14 kasus; pencemaran udara 13 kasus; dan pencemaran limbah B3, 12 kasus. Masalah ini juga diperparah dengan kasus seperti alih fungsi lahan di kota Batu belakangan ini dan beberapa daerah lainnya. Pertumbuhan pemukiman yang mengalihfungsikan lahan pertanian juga menyisakan masalah kerusakan lingkungan baru karena pengelolaan sampah, saluran air, saluran limbah dan slokan tidak memenuhi standar yang layak. Belum lagi masalah penebangan hutan
Kerusakan lingkungan di Jawa Timur tercatat mencapai Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki banyak kerusakan lingkungan, baik di daratan maupun lautan. Kerusakan lingkungan disebabkan oleh banyak hal mulai dari penambangan liar, pencemaran air, pembalakan hutan, pembakaran hutan, limbah industri, pemburuan hewan yang dilindungi, dan pengemboman terumbu karang. Salah satu bencana nasional yang terjadi setiap tahun adalah asap. Bencana asap disebabkan pembakaran lahan hutan secara liar. Ironisnya, pemerintah sepertinya tidak berdaya menghadapi perusahaan pembakar hutan. Padahal dampak yang ditimbulkan dari kebakaran hutan luar biasa. Bencana asap terjadi dimana-mana. Bahkan bencana asap telah menyebar ke negara jiran, Malaysia, Singapura, dan lainnya. Sudah tak terhitung berapa kerugian yang disebabkan bencana asap. Bahkan bencana asap telah memakan korban jiwa.
Kasus pembakaran hutan secara sengaja oleh perusahaan-perusahan nakal membuat kerusakan lingkungan yang luar biasa parah. Pembakaran hutan yang terjadi secara massif menyebabkan berbagai macam spesies hewan dan tumbuh-tumbuhan punah. Pembakaran hutan secara liar mengakibatkan polusi udara hingga tingkat sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Bencana asap juga menyebabkan terganggunya jadwal penerbangan. Demikian juga dengan pemanasan global pasti akan semakin cepat karena adanya bencana asap. Pembakaran hutan secara liar jelas merupakan salah satu bentuk kejahatan lingkungan.
Penambangan secara liar juga menyebabkan terjadinya kerusakan alam. Hal itu jelas membahayakan keberlangsungan ekosistem makhluk hidup. Kasus paling mutakhir adalah penambangan liar di Lumajang. Penambangan tersebut bukan hanya menyebabkan terjadinya kerusakan pantai dan sawah sebagai sumber penghasilan warga. Lebih dari itu, penambangan liar menimbulkan kerusakan sosial dan memicu konflik sumberdaya alam. Puncaknya konflik tersebut menyebabkan terjadinya pembunuhan dan penyiksaan warga yang menentang penambangan yang merusak alam tersebut. Dalam konteks Indonesia kasus-kasus kerusakan alam, ditengari mempunyai kaitan dengan kerakusan pemodal menumpuk keuntungan, kolusi dan korupsi pemerintah dan aparat, serta lemahnya penegakan hukum.
Islam menyerukan umatnya untuk menjaga, memelihara, dan hidup berdampingan secara harmoni dengan alam. Perlu ada komitmen setiap pribadi untuk memanfaatkan alam dan tetap menjaganya. Hal itu penting untuk keberlanjutan anak keturunan dan makhluk hidup secara luas. Secara konseptual Muhammaidiyah telah memiliki karya menarik mengenai Teologi Lingkungan hasil ijtihad Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Karya ini bisa menjadi pijakan untuk beramar ma’ruf nahi munkar dalam melestarikan lingkungan dari kehancuran. Harus disadari, Muhammadiyah mempunyai tanggungjawab bersama komponen bangsa lainnya untuk menjaga lingkungan serta menuntut pemerintah mencegah kerusakan lingkungaan berlanjut dan bertambah luas. Pemerintah harus menegakkan hukum bagi mereka yang terlibat dalam kejahatan lingkungan.
3. Pengurangan Risiko Bencana dan Dampak Perubahan Iklim
Perubahan iklim dengan segala dampaknya yang masif merupakan kenyataan yang tidak terhindarkan baik di ting- kat global maupun nasional dan lokal. Risiko-risiko yang pernah dikhawatirkan sudah terjadi, dalam keamanan pangan (food security), relasi konfliktual kuasa antarnegara (political security) akibat berebut sumber daya kesejahte- raan, dan juga keamanan lingkungan hidup (environmental security) —beberapa negara dan pulau terancam tenggelam dan migrasi akibat krisis iklim baik yang dilakukan oleh ma- nusia maupun nonmanusia (hewan). Ancaman lingkungan dari gerak antropogenik manusia juga dapat menyebabkan berbagai macam kasus penyebaran penyakit zoonosis yang disebabkan rusaknya habitat asli di mana virus bersarang, misalkan, akibat deforestasi.
Di tengah gejolak perang Ukraina saat ini, krisis pangan membayangi jagat raya karena produksi dan distribusi pangan terdampak secara sistemik. Perang memperluas dampak krisis iklim dan keamanan pangan. Perubahan iklim memang jadi alasan utama menyebabkan gangguan cuaca seperti kekeringan yang membuat produksi berkurang dan ini dibutuhkan regulasi yang kuat yang bersifat multilateral dengan komitmen super kuat untuk mewujudkan ambisi penurunan suhu udara di bawah 1,5%. Di tengah samudra kegalauan, ada banyak harapan pada forum-forum global seperti COP21 untuk kembali mendorong pentingnya alian- si global untuk menyelamatkan planet bumi melalui komit- men global. Negosiasi iklim ke-21 dari Konvensi Kerangka Kerja PBB Untuk Perubahan iklim (UNFCCC) di Paris tahun 2015 merupakan pertemuan bersejarah dengan hasil ke- sepakatan yang mengikat (legally binding) sejak Protokol Kyoto yang lahir pada pertemuan COP. Kesepakatan Paris bertujuan untuk menghentikan suhu pemanasan bumi tidak lebih dari 2 derajat celcius. Untuk itu, setiap negara perlu memasukkan komitmen mengenai berapa banyak emisi karbondioksida yang akan dikurangi. Kesepakatan Paris didukung 195 negara termasuk dua negara produsen emisi karbon terbesar di dunia, yaitu Amerika Serikat dan Tiongkok. Kesepakatan ini perlu dimaterialisasikan dengan lebih cepat, lebih tangguh, dan lebih baik karena ada jutaan kaum muda menuntut pimpinan negara-negara menga- mankan masa depan mereka secara berkeadilan. Banyak solusi sudah ditunjukkan melalui beragam kajian seperti bagaimana dalam waktu dekat ini ada transisi energi terba- rukan, lapangan kerja hijau, serta pendanaan dan investasi untuk sektor-sektor yang memperkuat pembangunan ber- kelanjutan.
Negara-negara dan seluruh kekuatan bangsa-bangsa penting mengembangkan paradigma “membangun tanpa merusak” demi penyelamatan bumi dan planet satu-satu- nya tempat manusia dan makhluk ciptaan Tuhan hidup. Untuk keseimbangan mitigasi ini bagi kepentingan dalam negeri, salah satu agenda penting adalah membangun/ revitalisasi kembali pangan lokal untuk jaminan layanan kesehatan lebih adil serta mendistribusikan sumber kese- jahteraan dan keadilan. Gerakan pangan dan mengonsumsi makanan lokal, dengan penguatan dukungan kebijakan dan dukungan pasar. Lumbung kompos dibangun dan diperba- nyak untuk mendukung lumbung pangan dapat digerak- kan secara masif dan sistematis. Isu pangan dan iklim yang sangat terkait dalam kehidupan (livelihood) pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil mendesak pemerintah untuk segera me- ngesahkan RUU Perubahan Iklim untuk melindungi pesisir dan pulau-pulau kecil yang tenggelam dan mengevaluasi proyek pembangun/kebijakan yang merampas ruang laut (reklamasi, tambang, industri pariwisata, dll) yang meru- pakan ruang hidup masyarakat pesisir mendukung wilayah kelola rakyat (WKR) di pesisir, laut, dan pulau-pulau kecil. (*)