PWMU.CO– Enam pikiran PIM (Pergerakan Indonesia Maju) disampaikan untuk menyelesaikan kemelut bangsa yang terjadi beberapa tahun terakhir ini.
Enam pikiran itu disampaikan oleh Dewan Nasional Pergerakan Indonesia Maju (PIM) dengan Ketua Umum M. Din Syamsudin dan Sekretaris Umum Amirah Nahrawi yang diterima PWMU.CO, Rabu (11/1/2023).
Enam pikiran PIM yang diusulkan itu adalah
Pertama, mengembalikan kehidupan bangsa dan negara ke nilai-nilai dasar yaitu Pancasila dan UUD 1945 yang telah disepakati oleh para pendiri bangsa pada 18 Agustus 1945.
Kedua, moratorium (penghentian) pembentukan undang-undang, peraturan, dan kebijakan pemerintah yang bertentangan dengan jiwa, semangat, dan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945 asli. Khususnya dalam bidang politik dan ekonomi, seperti tentang Pemilu, perdagangan, dan investasi.
Ketiga, bidang politik, Pemilu agar disesuaikan dengan amanat sila keempat Pancasila, yaitu dengan menegakkan kedaulatan rakyat, bukan kedaulatan partai apalagi kedaulatan pimpinan partai.
Keempat, bidang ekonomi, pemerintah segera menerapkan kebijakan berpihak kepada rakyat, menghilangkan pengaruh kaum oligarki, memberantas korupsi secara konsisten dan konsekuen, dan mengurangi utang luar negeri.
Kelima, menegakkan Indonesia sebagai negara berdasarkan hukum dengan melakukan reformasi di tubuh lembaga penegakan hukum.
Keenam, seluruh elemen dan komponen bangsa agar menahan diri dari segala upaya perpecahan dan pemecahan bangsa dengan mengedepankan kebersamaan dan kerja sama atas dasar kemanusiaan, kemajemukan, dan kebersamaan.
Ancaman Perpecahan
Din Syamsuddin menjelaskan, Pergerakan Indonesia Maju (PIM) adalah gerakan rakyat Indonesia lintas agama, suku, profesi, dan gender yang bergerak bersama untuk kemajuan bangsa atas dasar Tiga K: Kemanusiaan, Kemajemukan, Kebersamaan.
Dia menyampaikan, enam pikiran PIM itu disampaikan setelah mencermati perkembangan kehidupan kebangsaan dan kenegaraan Indonesia selama beberapa tahun terakhir.
Satu, prihatin terhadap kondisi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang diliputi oleh fakta dan gejala goyah dan goyangnya sendi-sendi kemajemukan dan persatuan bangsa.
Gejala perpecahan dan pertentangan antar kelompok, baik dengan sentimen keagamaan maupun perbedaan kepentingan politik.
”Keadaan diperkeruh oleh para buzzer dan agitator yang menyesaki ruang publik dengan ujaran-ujaran kebencian, agitasi dan sinisme yang telah dan potensial membawa bangsa ke dalam pembelahan sosial-politik,” katanya.
Dua, kelangkaan kepemimpinan hikmah dan kenegarawanan yang mengayomi dan melindungi segenap bangsa dan seluruh tanah tumpah darah Indonesia.
”Kelompok-kelompok kepentingan politik cenderung mengedepankan keakuan, keserakahan dan ketamakan politik untuk berkuasa dan melanggengkan kekuasaan,” tandasnya.
Tiga, defisit bahkan kebangkrutan demokrasi. Menurut The Economist Intelligence Unit (EIU) pada Februari 2022 Indonesia berada pada peringkat ke 52 dari 167 negara dengan skor 6,71, yang membawa Indonesia pada kategori negara dengan demokrasi cacat (flawed democracy).
Perkembangan pasca Februari 2022 tentu akan membawa indikator lebih buruk dengan adanya kecenderungan pemerintah mengakumulasi kekuasaan dengan kebijakan-kebijakan yang tidak berpihak pada kepentingan rakyat.
Perppu Cipta Karya
Empat, UU tentang Cipta Kerja (Omnibus Law) yang sejak pembahasannya banyak dikritik khususnya oleh kaum buruh, namun pemerintah dan DPR menutup mata, telinga, dan hati.
Kini UU yang sudah diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai inkonstitusional bersyarat untuk dilakukan perubahan, justru dijawab dengan Perppu Cipta Kerja dengan dalih adanya kegentingan memaksa yang tidak faktual.
”Jika Perppu ini disahkan dan diterapkan maka semakin memperburuk kehidupan rakyat khususnya kaum buruh. Pendekatan-pendekatan demikian akan mengukuhkan kekuasaan negara mengarah kepada kediktatoran konstitusional,” tuturnya.
Lima, bidang hukum, Indonesia semakin jauh dari Negara Berdasarkan Hukum. Penegakan hukum mengalami masalah mendasar yakni rendahnya integritas penegak hukum. Bahkan sering melanggar hukum itu sendiri. Ungkapan hukum tajam ke bawah tumpul ke atas nyaris terabaikan dan dianggap sebagai bukan masalah.
Enam, bidang ekonomi kehidupan bangsa dan negara masih ditandai oleh kesenjangan antara kelompok kaya dan rakyat miskin.
Amanat konstitusi tentang ekonomi kekeluargaan dan sumber daya alam dikuasai oleh negara untuk dimanfaatkan bagi sebesarnya kemakmuran rakyat tidak menjadi kenyataan. Penguasaan sumber daya alam Indonesia oleh pihak asing merupakan fakta yang tidak terbantahkan.
Diperburuk oleh tindak pidana korupsi bahkan di lingkaran dekat kekuasaan. Pembengkakan utang negara (pada Desember 2022 mencapai Rp 7,554 triliun) menjadi beban negara dan rakyat yang sangat berat.
Tujuh, modal sosial budaya bangsa yang kuat seperti keramah tamahan, kegotong royongan, atau daya juang tergerus oleh perkembangan dalam kehidupan politik dan ekonomi. Warga bangsa terjerembab ke dalam budaya individualistik, materialistik, pragmatis, dan hedonistik.
”Pengembangan kultural bangsa oleh agama-agama menghadapi tantangan dampak struktural yang merusak. Ini dipengaruhi pada strategi pembangunan yang menekankan pembangunan infrastruktur fisik dan mengabaikan pembangunan infrastruktur non fisik,” ujar Din.
Editor Sugeng Purwanto