PWMU. CO– Masjid Sendangduwur lokasinya tak jauh dari Madrasah Aliyah al-Ishlah Sendangagung Paciran Lamongan. Jaraknya hanya 1 Km.
Siswa Madrasah Aliyah al-Ishlah Sendangagung mengadakan acara jalan-jalan Jumat (20/1/2023) pagi pukul 05.30 – 08.00 ini. Jalan-jalan napak tilas penyebar Islam di Lamongan.
Acara ini praktik siswa kelas 12 kepada pelajaran Sejarah Kebudayaan Islam (SKI) pada Bab Penyebaran Islam di Pulau Jawa.
Antusias siswa putra kelas 12 berjalan kaki menuju Masjid Sunan Sendang. Meskipun nafas ngos-ngosan karena jalan penuh tanjakan, mereka tetap ceria sambil menikmati pemandangan alam sekitar dari atas bukit.
Ustadz Nur Muchis SAg, guru Madrasah Aliyah Al Ishlah yang juga takmir Masjid Raden Nur Rahmat menyambut kunjungan ini dengan senang.
Sepanjang perjalanan mengelilingi komplek masjid dan makam, Ustadz Muchis menunjukkan satu persatu tempat-tempat bersejarah. ”Arsitektur masjid dan makam perpaduan budaya agama Islam dan Hindu,” jelas alumnus KMI Gontor tahun 1994 ini.
Menurut keterangan, masjid ini dibangun oleh Raden Nur Rahmat yang berdakwah di Desa Sendangduwur Paciran. Karena itu ketika wafat masyarakat setempat menyebutnya sebagai Sunan Sendangduwur.
Raden Noer Rahmat konon putra Abdul Kohar bin Malik dari Sedayu. Dia murid Sunan Drajad. Menurut cerita tutur, pembangunan masjid ini penuh keajaiban yang menunjukkan kesaktian Raden Noer Rahmat.
Dalam semalam dia bisa memindahkan Masjid Jepara milik Ratu Kalinyamat ke Bukit Amitunon Sendangduwur ini.
Dari kisah itu dapat ditafsiri masjid ini meniru masjid Kalinyamat Jepara. Mungkin juga pembiayaannya disokong Ratu Kalinyamat, penguasa Jepara yang kaya raya.
Dari kejauhan, masjid ini yang tampak dominan gapura batu yang menjadi pintu gerbang. Mirip Candi Ringin Lawang di Trowulan Mojokerto. Gapura dalam berbentuk paduraksa. Mirip sayap garudawisnu.
Jadi di Lamongan selain Sunan Drajat, anak Sunan Ampel yang sudah populer, juga ada Sunan Sendangduwur sebagai penyebar agama Islam di wilayah ini.
”Masjid ini bukti peradaban Islam di sini dan tahun pembangunannya tertulis di atas pintu masjid,” jawab Ustadz Muchis.
Di pintu itu tertulis surya sengkala berbunyi gunaning seliro tirti hayu. Kalimat itu menunjukkan angka tahun 1483 Saka. Sama dengan tahun 1561 Masehi.
Sumur Giling
Perjalanan keliling masjid dan makam dilanjutkan ke sumur tua yang tidak jauh dari masjid. Sumur itu bernama sumur giling. Dinamakan demikian karena cara menimba airnya dengan gilingan besar yang diputar dengan kaki. Posisi orang menimba dalam keadaan duduk. Gilingan itu tempat tali timba.
”Haadza ajiibun, ma raitu qablahu,” kata Prayoga santri dari Bulubrangsi Laren. Dia mengatakan ini luar biasa. Tidak pernah dia lihat model begini sebelumnya.
Kegiatan diakhiri dengan sarapan sego muduk dengan bungkus daun jati. Nasi kuning khas Sendang. Makan sambil bincang santai. Sementara guru pembina menyampaikan tugas membuat laporan kegiatan ini harus diselesaikan pekan depan.
Penulis Gondo Waloyo Editor Sugeng Purwanto