Ulama Bukan Pewaris Nabi, Kolom Bahasa oleh Pemimpin Redaksi PWMU.CO Mohammad Nurfatoni
PWMU.CO – Sudah lama aplikasi berbayar majalah Tempo tidak saya buka. Eman juga berlangganan tapi tidak saya baca. Kesibukan mengedit selalu jadi kambing hitam.
Tapi, habis makan sahur Senin (27/3/2023) ini, hati saya kok tergerak untuk membacanya. Seperti biasa jika membaca aplikasi Tempo, yang saya cari kali pertama adalah kolom Bahasa. Sebab selalu ada yang baru di kolom ini. Hal itu penting untuk menambah pengetahuan sebagai penulis sekaligus editor.
Di edisi terbaru, 26 Maret 2023, kolom tersebut menyajikan tulisan Akhmad Idris berjudul Tentang Pewaris dan Membawahi. Sambil menonton Para Pencari Tuhan Jilid 16 Kiamat semakin Dekat, saya baca artikel tersebut.
Seperti dugaan semula, sesuatu hal baru saya dapatkan di situ. Lalu ingin rasanya tulisan tersebut saya bagikan alias share ke teman-teman kontributor PWMU.CO melalui dua WhastApp Group. Sebab saya ingin kawan-kawan yang rajin berkontribusi menulis itu juga mendapat pengetahuan bahasa yang baru.
Ini naluri alamiah di zaman medsos. Begitu tertarik sesuatu, ada insting yang mendorong kita untuk membagikannya pada orang lain. Sayangnya, Tempo menguncinya. Bukan saja tidak bisa dicopas, artikel di majalah Tempo digital juga tidak bisa di-screen shoot. Kalau pun kita ngotot membagikannya, penerima link Tempo hanya dapat membaca dua alinea awal, lalu terpampang tulisan: “Berlangganan untuk melanjutkan membaca …”
Tapi sebagai penulis, saya punya cara lain bagaimana ‘membagikan’ tulisan penting itu. Yakni menulis topik tersebut dengan cara berbeda. Bukan njiplak atau copas. Tapi dengan perpsektif baru, dengan tetap meyebut sumber dan penulis awal sebagai rujukan. Ini penting, karena di era medsos ini, tak banyak yang mau menghargai hak cipta orang lain.
Budaya copas (copy paste) membabi-buta. Tulisan orang lain dicopas lalu dihilangkan nama penulis aslinya. Juga banyak yang menghilangkan sumbernya. Jangankan di-backlink, menyebut nama website saja tidak. Dan PWMU.CO salah satu korbannya.
Pewaris, Orang yang Mewariskan
Di tulisan ini, saya hanya membatasi mengulas frasa kata pewaris. Soal ‘membawahi’ tidak saya bahas di sini. Dalam kolomnya, Akhmad Idris memberi tiga contoh penggunaan kata pewaris sebagai praktik kesalahan bahasa. Yaitu: ‘generasi muda pewaris bangsa’, ‘anak-anak adalah pewaris pertiwi’, dan ulama sebagai pewaris nabi’.
Pengguna frasa yang salah itu bukan sembarang orang, tapi Presiden Joko Widodo. Dalam akun Twitter-nya pada 23 Juli 2015 dia berkata: anak-anak adalah pewaris pertiwi. Sedangkan pada akun resmi Sekretariat Kabinet RI pada 1 November 2016 Presiden mengatakan: ulama sebagai pewaris nabi. Frase yang terkahir ini juga sering kita dapati dari terjemahan hadits. Juga perkataan para mubaligh dan kita.
Menurut Akhmad Idris, jika ditilik berdasarkan teks dan konteks setiap kalimat, maksud kata ‘pewaris’ di tiap kalimat di atas adalah orang atau kelompok yang mewarisi. Rinciannya, ‘generasi muda yang mewarisi bangsa’, ‘anak-anak sebagai kelompok yang mewarisi pertiwi’, dan ‘ulama adalah kelompok yang mewarisi nabi’.
Tapi penggunaan kata pewaris di tiga kalimat itu tidak tepat. Mengapa? Merujuk Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kata pewaris bermakna orang yang memberi warisan atau orang yang mewariskan. Padahal yang dimaksud dari kalimat di atas, kata pewaris, maunya, adalah ahli waris atau orang yang mendapat warisan alias mewarisi.
Jadi seharusnya, ‘generasi muda ahli waris bangsa’ karena generasi muda yang menerima warisan (dalam bahas hukum disebut ahli waris) dari pendahulunya, bukan sebaliknya. ‘Anak-anak adalah ahli waris pertiwi’ karena anak-anak tidak mewariskan, tetapi menerima warisan dari pendahulunya.
Dan ‘ulama sebagai ahli waris nabi’ karena bukan ulama yang memberikan warisan kepada nabi tapi ulama yang mendapat warisan (ilmu) dari nabi.
Nabi Pewaris Ulama
Frasa kalimat ‘ulama sebagai pewaris nabi’ yang salah kaprah itu sebenarnya berasal dari terjemahan sebuah hadits yang di dalamnya ada kalimat:
إن الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ، إِنَّ اْلأَنْبِياَءَ لَمْ يُوَرِّثُوْا دِيْناَرًا وَلاَ دِرْهَماً إِنَّمَا
وَرَّثُوْا الْعِلْمَ فَمَنْ أَخَذَ بِهِ فَقَدْ أَخَذَ بِحَظٍّ وَافِرٍ
“Sesungguhnya ulama adalah ahli waris para nabi. Sungguh para nabi tidak mewariskan dinar dan dirham. Sungguh mereka (para nabi) hanya mewariskan ilmu. Maka barang siapa mengambil (warisan) tersebut ia telah mengambil bagian yang banyak.” (Hadits Riwayat At-Tirmidzi dalam Sunan No. 268)
Kalimat إن الْعُلُمَاءُ وَرَثَةُ اْلأَنْبِيَاءِ jika diterjemahkan secara bebas berarti, “Sesungguhnya ulama adalah orang-orang yang mewarisi (apa yang ditinggalkan oleh) para nabi.”
Kata وَرَثَةُ merupakan jamak dari الوارث (alwaaritsu, orang yang mewarisi), yaitu isim fail dari kata ورث (waritsa, mewarisi, menerima warisan dari ayah dan seterusnya).
Tetapi yang dimaksud di sini bukan warisan dalam bentuk harta benda—seperti disimbolkan oleh dinar dan dirham—melainkan peninggalkan para nabi berupa ilmu. Maka secara otomatis terjemahan ahli waris di sini bukan berarti seperti anak yang menjadi ahli waris biologis, yang berhak mendapatkan warisan harta, melainkan ahli waris ilmu.
Tapi mengapa frasa ‘ulama pewaris para nabi’ lebih populer daripada ‘ulama ahli waris para nabi’? Pertama, karena kita belum terbiasa untuk mengecek kata dengan KKBI. Kedua, masyarakat lebih suka kalimat yang familier meskipun tidak tepat daripada kalimat yang terkesan aneh padahal tepat.
Maka menurut Akhmad Idris, pilihannya hanya ada dua: bersukaria dengan salah kaprah atau mulai berani mencoba dengan keanehan yang benar? Saya memilih yang kedua: ‘ulama bukan pewaris para nabi’ sebab sebenarnya ‘para nabilah pewaris ulama’. (*)