Empat Dimensi Islam dalam Pandangan Muhammadiyah; Liputan Ain Nurwindasari
PWMU.CO – Islam dalam pandangan Muhammadiyah itu ada empat dimensi, yaitu akidah, ibadah, akhlak, dan muamalah. Hal ini disampaikan oleh Sekretaris Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, Prof Dr Biyanto MAg saat menyampaikan materi Puasa dan Tauhid Sosial pada kegiatan Pengajian Ramadhan oleh Majelis Dikdasmen Pimpinan Cabang Muhammadiyah GKB, Jumat (31/03/2023).
“Jadi empat dimensi ajaran Islam itu tidak terpisah, itu tauhid sosialnya dapat juga ya,” terangnya.
Biyanto mengingatkan bahwa seharusnya memang aspek ritual dan sosial seorang Muslim tidak dipisah.
“Ada istilah STMJ, shalat terus maksiat jalan. Saya pernah nulis di Jawa Pos, Ritual yang Terbelah. Ritual itu ya shalat, haji, puasa,” ujarnya.
Ia lantas mengisahkan ada seorang hakim ditangkap oleh KPK, lalu ditanya, uang hasil korupsi untuk apa saja, dijawab sebagian untuk ibadah umroh bersama keluarga
“Umroh itu kan ibadah. Tapi uangnya hasil dari menjarah negara. Maka itu seperti kita mencuci baju memakai air najis, maka baju kita tidak akan suci,” ucapnya.
Sama halnya dengan orang yang korupsi maupun mencuri dalam bentuk lainnya, menurut Biyanto, jika kemudian uangnya itu dibagikan untuk membangun masjid, membangun sekolahan, membantu anak yatim dan kebaikan lainnya, maka hal itu merupakan wujud dari ritual yang terbelah.
Demikian pula, “Banyak Muslim menengah ke atas suka milih, haji plus, haji plus plus, itu untuk menunjukkan kelas sosialnya. Yang reguler kan 40 hari, tapi yang plus kan cuma dua pekan. Ada banyak ritual kita bagaimana ibadah itu tidak sejalan dengan amalan sosialnya,” ungkapnya.
Karena menurut Biyanto, tauhid merupakan dimensi bagaimana seseorang membangun hubungan baik dengan Allah, sementara sosial itu bagaimana kita membangun hubungan baik dengan sesama.
“Agama kita menekankan pentingnya beramal shaleh. Bahkan doktrin Muhammadiyah menekankan betapa pentingnya amal,” ucapnya.
Biyanto menuturkan bahwa hal itu terbukti di dalam al-Qur’an kata ‘amanuu wa ‘amilus shalihah’ selalu terrangkai.
“Supaya kita tidak berhenti di iman, tauhid, tapi tauhid harus berlanjut ke amal sosial,” tuturnya.
Ia lantas mengatakan, “Coba amati hadis nabi, tidak sempurna iman seseorang jika ia tidak mencintai suadaranya sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri. Iman lalu amal sholih, itu tauhid sosial,” terangnya.
Hadits lain yang menunjukkan keterkaitan tauhid dengan amal, Biyanto memaparkan, ialah:
وَاللهُ فِي عَوْنِ الْعَبْدِ مَا كَانَ الْعَبْدُ فِي عَوْنِ أَخِيهِ
“Barang siapa yang membantu seseorang ia akan dibantu oleh Allah,” katanya.
Saya Beramal maka Saya Ada
Biyanto lantas menjelaskan bahwa indeks kedermawanan negara-negara dunia 2021, Indonesia menjadi negara paling dermawan.
“Indikatornya 3, apakah ada lembaga untuk menyalurkan donasi, apakah ada donasi dalam bentuk uang maupun barang, ketiga apakah donasi itu juga diberikan kepada orang asing,” terangnya.
Selanjutnya Biyanto mengutip al-Maidah ayat 113:
مَن قَتَلَ نَفۡسَۢا بِغَيۡرِ نَفۡسٍ أَوۡ فَسَادٖ فِي ٱلۡأَرۡضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ ٱلنَّاسَ جَمِيعٗا وَمَنۡ أَحۡيَاهَا فَكَأَنَّمَآ أَحۡيَا ٱلنَّاسَ جَمِيعٗاۚ
“Bahwa barang siapa yang membunuh satu jiwa, seakan-akan membunuh seluruh jiwa, Itu kan komitmen nilai-nilai kemanusiaan ya. Jadi islam itu agama yang ada dimensi ketuhanannya ada dimensi sosial kemanusiaannya,” jelasnya.
Karena itu, Biyanto mengingatkan agar seseorang seharusnya tidak memisakan antara akidah dan akhlak.
“Bahkan di surat al-Ma’un soal bagaimana orang yang sholat lalu tidak bisa menangkap makna sholat dianggap sebagai orang yang mendustakan agama,” terangnya.
Biyanto lantas mengutip an-najm ayat 39-42:
وَأَن لَّيۡسَ لِلۡإِنسَٰنِ إِلَّا مَا سَعَىٰ ٣٩ وَأَنَّ سَعۡيَهُۥ سَوۡفَ يُرَىٰ ٤٠ ثُمَّ يُجۡزَىٰهُ ٱلۡجَزَآءَ ٱلۡأَوۡفَىٰ ٤١ وَأَنَّ إِلَىٰ رَبِّكَ ٱلۡمُنتَهَىٰ
“Barang siapa menanam akan memanen,” ucapnya.
Biyanto menjelaskan bahwa beramal memiliki kekuatan yang dahsyat di masa datang.
“Mari kita wujudkan, saya beramal maka saya ada. Banyak orang beramal ribuan tahun lalu, masih kita kenang,” ucapnya.
Ia mencontohkan Nabi Muhammad SAW yang telah meninggal ribuan tahun lalu, namun masih disebut-sebut. Dan menjadi yang pertama dalam 100 tokoh dunia yang paling berpengaruh dalam sejarah.
“Nabi Isa usianya berapa, 33 tahun. Tapi usia diisi dengan amal yang luar biasa, maka Nabi Isa dikenang sampai kini,” ungkapnya.
Oleh karena itu, Biyanto menekankan bahwa kualitas manusia tidak ditentukan oleh latar belakang dan apa yang dia miliki melainkan ditentukan oleh amalnya.
“Pak Haedar (Ketua Umum PP Muhammadiyah Haedar Nashir) mengajarkan merawat kata, jadi kata itu harus dilanjutkan dengan laku, menjaga satunya kata dengan laku. Kalau katakan tidak pada korupsi ya tidak,” ucapnya.
Biyanto lantas mengingatkan kembali hakikat puasa.
“Puasa itu sangat pribadi, karena itu tidak boleh puasa bermewah mewah, karena puasa itu mengajarkan sederhana, sabar,” tandasnya. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni