Masjid Ramah Anak dan Kekhusyukan Shalat; Oleh M. Arfan Mu’ammar Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah Gresik.
PWMU.CO – Di setiap bulan suci RamadHan, seringkali masjid-masjid dipenuhi dengan jamaah untuk sHalat TarawIh. Jamaah berduyun-duyun ke masjid, mereka tidak sendirian, tetapi mengajak keluarga, termasuk istri dan anak-anak. Walhasil, masjid pun penuh sesak, bahkan hingga meluber keluar.
Di satu sisi para takmir masjid senang karena pada akhirnya masjid didatangi banyak jamaah, yang di luar bulan RamadHan, masjid-masjid seringkali sepi pengunjung. Akan tetapi di sisi lain, para takmir merasa gelisah, karena dengan banyaknya anggota keluarga yang dibawa, termasuk anak-anak, menimbulkan keramaian dan kegaduhan di saat salat sedang dilaksanakan.
Sehingga tidak sedikit takmir masjid yang melarang para orang tua untuk membawa anak-anak ke masjid, dengan alasan akan mengganggu kekhusyukan shalat. Tetapi tidak sedikit juga takmir masjid yang mempersilakan orang tua untuk membawa anak-anaknya ke masjid, dengan alasan tarbiah (pendidikan) kepada anak-anak. Lantas bagaimana kita bersikap?
Coba kita analisis pilihan yang pertama terlebih dahulu, yaitu melarang para orang tua untuk membawa anak-anak ke masjid, karena keramaian anak-anak mengganggu kekhusyuan shalat. Yang pertama kita bahas apa itu shalat khusyuk dan yang kedua kita bahas bagaimana cara bisa melaksanakan shalat dengan khusyuk.
Kita harus sepakati dahulu, dalam hal ibadah, yang patut kita contoh adalah Rasulullah, tidak ada contoh yang lebih baik dan khusyuk dalam salat melebihi Rasulullah. Maka dalam hal shalat, guide kita adalah Rasulullah SAW. Jadi kalau mau tahu seperti apa shalat khusyuk, maka lihatlah tata cara shalat beliau. Jika sampai sini sudah sepakat, maka insyaallah kita sudah mendapatkan separuh dari jawaban masalah salat khusyuk.
Bagaimana Rasulullah Shalat
Lantas bagaimana salat Rasulullah? Apakah untuk mendapatkan shalat khusyuk beliau melakukan beragam ritual kontemplasi sehingga tidak ingat apa-apa? Apakah saat beliau shalat lantas menutup diri dari kejadian di sekitarnya? Apakah saat shalat, beliau lupa ingatan dan hanya membangun hubungan dengan Allah saja tanpa memedulikan orang lain?
Ternyata tidak demikian. Justru Rasululah SAW ketika salat sangat peduli lingkungan. Bukankah beliau mempercepat shalatnya ketika sedang menjadi imam dan mendengar ada bayi yang menangis dari shaf para wanita? Bukankah beliau memerintahkan kita yang sedang shalat untuk menghalangi orang yang akan lewat di depan kita?
Kalau shalat khusyuk dimaknai sebagai memutuskan diri dari semua yang ada selain Allah SWT, maka bagaimana bisa Rasulullah SAW mempercepat shalatnya saat bayi menangis? Bagaimana bisa beliau meminta kita menghalangi orang yang mau lewat?
Pernah suatu ketika saat beliau sujud, kedua cucunya naik ke atas bahu beliau. Maka beliau pun memperlama sujudnya, seolah memberi kesempatan kepada kedua cucunya itu untuk puas bermain naik ke atas bahunya.
Maka kalau ditimbang-timbang, agaknya yang dimaksud dengan khusyuk bukan semata-mata tidak ingat apa-apa kecuali Allah, melainkan merupakan sebuah konsentrasi untuk menjalankan salat dengan baik, sesuai dengan apa yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Dan salatnya Rasulullah saw adalah salat yang “peduli lingkungan”.
Jika disimpulkan, maka shalat khusyuk itu adalah salat yang mengikuti Rasulullah SAW, baik dalam sifat, rukun, aturan, cara, serta semua gerakan dan bacaannya. Bagaimana Rasulullah SAW melakukan sHalat, maka itulah salat khusyuk.
Bagaimana Agar Shalat Kita Khusyuk
Kemudian, bagaimana agar shalat kita bisa khusyuk dengan tanpa mengabaikan lingkungan? Saya mencoba menyarikan dari pendapat beberapa ulama.
Pertama tentu kita harus paham bacaan yang kita baca ketika salat, mulai dari iftitah, surah al-fatihah, surat al-Qur’an, serta bacaan-bacaan dalam setiap gerakan dalam shalat. Kalau seseorang tidak paham dengan apa yang dibaca, sehening apa pun ruangan masjid, dia tetap tidak akan bisa salat secara khusyuk.
Bahkan Izzuddin bin Abdissalam menjelaskan bahwa shalat khusyuk menggunakan kaidah likulli maqamin, maqalun, bahwa di setiap gerakan ada bacaan dan penghayatan masing-masing, artinya orang yang shalat diperintahkan menghayati makna setiap ayat al-Qur’an yang dibacanya. Bila saat itu ia membaca ayat tentang ancaman (bagi yang durhaka), maka akan berbuah rasa takut kepada-Nya; jika ayat yang dibaca mengandung janji pahala kebaikan, maka ia optimis mendapatkannya (Izzuddin bin Abdissalam, al-Qawa’id al-Kubra, Juz I, halaman 353)
Kedua, kita beribadah kepada Allah SWT seakan-akan kita melihat-Nya, kalaupun kita tidak bisa melihat-Nya, percayalah bahwa Allah SWT akan senantiasa melihat kita (anta’budullaha kaanaka tarahu, faillam takun tarahu fainnahu yaroka). Tentu melihat di sini bukan makna yang sesungguhnya, tetapi melihat secara mata batin, kalaupun itu tidak mampu, maka percayalah bahwa Allah SWT akan senantiasa mengawasi kita.
Ketiga, kepasrahan dan kerendahan hati kepada Allah SWT ketika hati khusyuk maka seluruh anggota badan kita khusyuk. Sebagaimana yang disampaikan oleh ulama kontemporer Wahbah Zuhaili dalam tafsir Al-Munir ketika menafsirkan surah Al-Mukminun ayat 2 “alladzina fi shalatihim khasyi’un”, ia mengatakan:
وهو الخضوع والتذلل لله والخوف من الله تعالى ومحله القلب فإذا خشع خشعت الجوارح كلها لخشوعه إذ هو ملكها
“Khusyuk adalah kepasrahan, kerendahan, rasa takut kepada Allah. Tempatnya di hati. Karenanya, orang yang hatinya khusyuk, tentu semua anggota badannya turut khusyuk. Sebab hatilah yang menguasai seluruh anggota badan.” (Wahbah bin Musthafa az-Zuhaili, At-Tafsir al-Munir, Juz XVIII, halaman 14).
Hal tersebut senada dengan yang disampaikan oleh Al-Ghazali bahwa: “Diriwayatkan dari kitab-kitab suci terdahulu, Allah berfirman, ‘Tidak setiap orang yang melakukan salat kuterima ibadah salatnya. Aku hanya menerima salat orang yang merendahkan diri pada keagungan-Ku, salat orang yang tidak sombong terhadap hamba-hamba-Ku, dan salat mereka yang memberi makan fuqara yang lapar karena mengingat-Ku.” (Imam Al-Ghazali, 2018 M: I/194-195).
Khusyuk Faktor Internal Bukan Eksternal
Jika melihat ketiga cara untuk mendapatkan kekhusyukan shalat di atas, maka tidak kita temui satu carapun untuk mendapatkan shalat khusyuk harus dilaksanakan di tempat yang hening dan sepi. Kekhusyukan shalat murni faktor internal dari dalam diri kita, paham akan bacaan shalat, merasa dilihat Allah, dan pasrah serta merendahkan diri di hadapan Allah SWT. Itu semua adalah faktor internal dalam diri manusia. Khusyukatau tidak, bukan faktor eksternal seperti ramai atau tidaknya tempat yang kita buat salat.
Jikalau kekhusyukan adalah faktor eksternal, mengapa Ali bin Abi Thalib justru menyuruh para sahabat untuk mencabut anak panah yang menancap di tubuhnya ketika sedang shalat? Anak panah yang menancap di tubuh Ali adalah faktor eksternal, tetapi Ali tetap bisa shalat khusyuk, karena memang faktor internal di diri Ali bin Abi Thalib.
Maka jangan mengambinghitamkan faktor eksternal, apalagi menyalahkan anak-anak yang ramai sebagai alasan tidak bisa khusyuk, tetapi tidak memikirkan bagaimana faktor internal dibangun, seperti bagaimana masjid merutinkan kajian-kajian ilmu, sehingga para jamaah bisa memahami apa yang dibaca, bisa menghadirkan Allah dalam shalatnya dan bisa berpasrah diri dan merendahkan diri di hadapan Allah ketika shalat.
Perlu dicatat bahwa jumhur ulama bersepakat bahwa shalat khusyuk tidak termasuk rukun atau pun wajib. Khusyuk dalam shalat hanya termasuk sunnah. Maka jika seseorang shalat dengan tidak khusyuk, tidak lantas membuat shalatnya rusak atau batal. Berbeda dengan thuma’ninah, yang merupakan rukun shalat.
Sedangkan mendidik anak untuk dekat kepada Allah melalui shalat, baik secara individu maupun berjamaah di masjid adalah sebuah kewajiban orang tua. Maka jangan sampai takmir masjid menghalang-halangi orang tua untuk menunaikan kewajibannya dalam mendidik anak, jangan sampai kita belan-belaniyang sunnah, tetapi yang wajib ditinggalkan.
Tawaran Terbaik
Hemat saya, melarang anak-anak berjamaah di masjid tidaklah sepatutnya dialkukan. Beberapa tawaran yang bisa dilakukan adalah jika anak tersebut masih sangat kecil, selayaknya orang tua mendampingi, karena orang tua berkewajiban mendidik anak-anaknya, tidak dilepas begitu saja.
Selain itu, takmir masjid bisa berikhtiar membuatkan tempat khusus untuk anak-anak di lantai duamisalkan. Jadi bapak-bapak atau ibu-ibu yang membawa anak, dikhususkan untuk shalat di lantai dua.
Atau lebih menarik lagi, jika sekolah-sekolah mengadakan shalat Tarawih berjama’ah di masjid sekolah masing-masing. Jika tidak punya masjid, bisa di kelas atau aula sekolah, lalu mendatangkan penceramah yang mengangkat tema sesuai dengan usia anak-anak, tentu berbicara dengan orang dewasa dan anak-anak memerlukan keterampilan yang berbeda.
Maka dengan demikian, anak-anak tetap mendapatkan pendidikan melalui shalat berjamaah, orang tua juga bisa menunaikan kewajibannya, dan para jamaah di masjid (khususnya yang masih meyakini keheningan suasana sebagai faktor utama kekhusyu’an) bisa menjalankan shalat dengan khusyuk di masjid.(*)
Masjid Ramah Anak dan Kekhusyukan Shalat; Editor Mohammad Nurfatoni