Inspirasi Tafsir Hamka: Ramadhan, Qur’an, dan Muslim Kaffah: Oleh M. Anwar Djaelani, penulis buku Berdekat-dekat kepada Yang Mahadekat dan sembilan judul lainnya.
PWMU.CO – Alhamdulillah, kita harus tak putus bersyukur kepada Allah atas nikmat-Nya yang tak terhitung. Bersyukur, terutama untuk nikmat paling tinggi yaitu iman, Islam, dan kesehatan.
Alhamdulillah, Allah pertemukan kita dengan Ramadhan. Sungguh, Bulan Ramadhan itu nikmat besar. Ramadhan itu istimewa.
Pertama, karena satu-satunya nama bulan yang disebut di al-Qur’an. Juga, dengan penjelasan yang terkait dengannya, yang disampaikan secara jelas. Mari simak gambaran berikut ini!
- Lewat al-Baqarah 183, bahwa di Ramadhan kaum beriman diperintah untuk berpuasa agar bertakwa. “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
- Melalui al-Baqarah 184, dijelaskan bahwa dalam berpuasa ada aturan. “(Yaitu) dalam beberapa hari yang tertentu. Maka barang siapa di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain. Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin. Barang siapa yang dengan kerelaan hati mengerjakan kebajikan, maka itulah yang lebih baik baginya. Dan berpuasa lebih baik bagimu jika kamu mengetahui.
Catatan: al-Baqarah 184 turun berkenaan dengan maula (budak yang sudah dimerdekakan), Qais bin Assa-ib, yang memaksakan diri berpuasa. Padahal, ia sudah tua sekali. Dengan turunnya ayat ini, ia berbuka dan membayar fidyah dengan memberi makan seorang miskin, selama ia tidak berpuasa itu (Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d di dalam kitab at-Thabaqat yang bersumber dari Mujahid). - Di al-Baqarah 185, kita tahu bahwa Ramadhan dipilih Allah sebagai saat permulaan al-Qur’an turun dan tentang fungsinya. Juga, ayat itu memuat rincian lebih lanjut aturan berpuasa. Pun, ada petunjuk Allah agar kita berpuasa dalam bingkai mengagungkan sekaligus bersyukur kepada Allah.
”(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur’an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang batil). Karena itu, barang siapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.”
Tiga Kaitan
Mari kita berkonsentrasi ke tiga kata/frasa kunci. Ketiganya adalah takwa, mengerjakan kebajikan, dan beribadah dalam bingkai mengagungkan sekaligus bersyukur kepada Allah.
Pertama, takwa itu sikap selalu berhati-hati untuk selalu berada dalam posisi “Menjalankan perintah Allah dan menjauhi larangan-Nya”. Di titik ini, ada ruh menjadi Muslim yang kaffah. “Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu” (al-Baqarah 208).
Takwa itu, keadaan seseorang yang selalu merasa dalam pengawasan Allah. Lihatlah kisah “Umar bin Khaththab dan penggembala” (di sini kita catat frasa menggetarkan dari si penggembala saat “digoda” Umar Ra. “Fa-ainallah,” seru si penggembala). Bacalah kisah “Mubarak dan Delima” (Mubarak, ayah dari Abdullah bin al-Mubarak atau Ibnul Mubarak seorang Ulama Besar yang hidup antara 118H-181 Hijrah atau 736-797Masehi). Simaklah kisah “Idris dan Apel” (Idris, ayah dari Imam Syafi’i salah satu Imam Mazhab. Imam Syafi’I hidup antara 150H-204H).
Inti pesan dari tiga kisah di atas, bertakwalah di manapun kita berada. Berhati-hatilah di posisi apaapun kita. Senantiasa ingatlah, kita selalu dalam jangkauan “penglihatan” Allah.
Masih tentang takwa. Bahwa, orang yang termulia di hadapan Allah adalah yang paling bertakwa (baca al-Hujurat 13). Bahwa, takwa adalah bekal terbaik di kehidupan ini (baca al-Baqarah 197).
Kedua, mengerjakan kebajikan adalah salah satu ciri orang bertakwa. Berhati-hatilah, sekalipun baik, “Mengerjakan kebaikan” itu harus tetap dalam syariat. Mari kita buka Ali Imran 133-135. Di situ ada ciri orang bertakwa:
- Suka menafkahkan hartanya di saat lapang maupun sempit.
- Bisa menahan amarah dan mudah memaafkan.
- Aktif berbuat kebajikan.
- Jika berbuat keji atau menganiaya diri sendiri, segera tobat dan tidak meneruskan atau mengulanginya.
Aktif berbuat kebajikan ada pedomannya, yaitu “Jangan berlebih-lebihan”. Mari, renungkan: “Katakanlah: ‘Hai Ahli Kitab, janganlah kamu berlebih-lebihan (melampaui batas) dengan cara tidak benar dalam agamamu. Dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu orang-orang yang telah sesat dahulunya (sebelum kedatangan Muhammad) dan mereka telah menyesatkan kebanyakan (manusia), dan mereka tersesat dari jalan yang lurus’.” (al-Maidah 77). Benar, jangan berlebih-lebihan!
- Jangan berlebih-lebihan dalam beribadah. Ingat Hadits Riwayat Bukhari-Muslim, terkait arahan Nabi Saw terhadap Abu Muhammad Abdullah bin Amr Ra yang ingin “melebihi apa yang telah digariskan Allah dan Rasul-Nya”.
- Jangan berlebih-lebihan dalam menyukai sesuatu. Ingat kisah tragis Tabi’in bernama Abdah bin Abdul Rahim. Dia yang berilmu tinggi, hafal al-Qur’an, dan istiqomah mengamalkan Puasa Daud ternyata mati dalam posisi murtad. Itu semua, karena dia menyukai perempuan Nasrani secara berlebih-lebihan. Agar bisa mengawini wanita kafir itu, dia rela murtad.
Dalam kisah ini, Allah memberi peringatan kepada kita semua dengan cara mudah: Bahwa setelah Abdah murtad, semua hafalan Al-Qur’an dia hilang kecuali dua ayat yaitu Hijr 2-3. Kita simak dua ayat itu dan semoga menjadi pelajaran besar bagi kita.
“Orang-orang yang kafir itu seringkali (nanti di akhirat) menginginkan, kiranya mereka dahulu (di dunia) menjadi orang-orang Muslim. Biarkanlah mereka (di dunia ini) makan dan bersenang-senang dan dilalaikan oleh angan-angan (kosong), maka kelak mereka akan mengetahui (akibat perbuatan mereka)”. - Jangan berlebih-lebihan dalam bersikap di keseharian, misalnya, jangan sombong! Perhatikanlah: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri” (Luqman 18). Belakangan ini bisa kita catat, untuk tidak tiru, fenomena sebagian orang yang sombong dengan modus suka pamer lewat media sosial.
Ketiga, hendaknya, kita beribadah dalam bingkai mengagungkan sekaligus bersyukur kepada Allah. Antara lain, baca Ibrahim 7.
Menuju Mulia
Perhatikan al-Baqarah 208, yang Allah meminta kita masuk Islam secara kaffah. Kaffah, menurut Hamka, berarti semuanya atau seluruhnya. Bagi yang mengaku beriman kepada Allah supaya kalau mereka Islam janganlah masuk separuh-separuh atau sebagian-sebagian. Menjadi keharusan kita, masuklah keseluruhannya.
Diriwayatkan oleh Ibnu Hakim bahwa Ibnu Abbas Ra menafsirkan ayat ini, ialah mengenai orang-orang Ahlul Kitab (Yahudi dan Nasrani) yang telah beriman kepada Nabi Muhammad Saw. Mereka berkata, “Yaa Rasulullah, hari Sabtu adalah hari yang sangat kami muliakan. Bolehkanlah kiranya kami tetap memuliakan hari itu? Kitab Taurat, kitab Allah juga. Maka, biarkanlah kami kalau malam-malam tetap sembahyang secara Taurat.” Lalu, turunlah al-Baqarah 108 ini, yang mengatakan bahwa kalau masuk Islam hendaklah memasuki keseluruhannya. Jangan separuh-separuh (Hamka, 1986: h 489).
Atas ayat itu, tafsir Hamka, kalau kita telah mengakui beriman dan telah menerima Islam sebagai agama maka hendaklah seluruh isi al-Qur’an dan tuntunan Nabi Saw kita akui dan ikuti. Hendaklah kita melatih diri agar sampai meninggal, kita telah menjadi orang Islam yang 100 persen sebagaimana petunjuk Allah di Ali-Imran 102 (Hamka, 1986: h 489).
Kita wajib berikhtiar, kata Hamka, agar Islam dalam keseluruhannya berlaku pada masing-masing pribadi kita. Lalu kepada masyarakat kita, kemudian kepada negara kita. Selama hidup, kita harus berjuang terus agar Islam dalam keseluruhannya dapat berdiri dalam kehidupan kita. Jangan sampai kita mengakui bahwa ada satu peraturan lain yang lebih baik daripada peraturan Islam (Hamka, 1986: 490).
Ada ilustrasi Hamka tentang seseorang yang bersikap tak benar. Sikap yang tak bersedia untuk patuh atas semua hal yang telah ditentukan Allah dan Rasul-Nya.
Ilustrasi tersebut, begini: Bahwa ada seseorang yang banyak membaca terjemah al-Qur’an. Di dalamnya banyak merangsang umat Islam agar menggunakan akal dan pikiran. Menurut pikiran orang itu, minuman keras itu diharamkan karena memabukkan. Terkait ini, dia setuju sekali dengan larangan itu. Oleh sebab itu kalau dia minum minuman keras, dia berusaha supaya jangan mabuk (Hamka, 1986: 490).
Kata Hamka, kita mengakui dan melihat bahwa tidak ada orang Islam zaman sekarang yang 100persen dapat menjadi orang Islam tapi akan ada yang masih kekurangan. Begitu pula, tidak ada satu negeri Islam yang di sana hukum Islam telah berjalan 100 persen. Tetapi belum adanya itu bukanlah menunjukkan bahwa Islam boleh kita pegang separuh-separuh. Kita selalu wajib berusaha mencapai puncak kesempurnaan hidup menurut kemauan Islam sampai kita mencapai khusnul khotimah (Hamka 1986, h 491).
Tentang Lailatul Qadar
Lailatul Qadar itu adalah malam kemuliaan atau juga malam penentuan. Malam itu istimewa, sebab itulah momentum perubahan dari alam kegelapan menuju alam terang benderang (Hamka, 1982: 224). Sungguh istimewa, sebab malam itu lebih utama dari 1000 bulan.
Di al-Baqarah 185 jelas, bahwa bulan Ramadhan adalah bulan yang padanyalah diturunkan al-Qur’an, menjadi petunjuk bagi manusia dan keterangan-keterangan dari petunjuk itu serta pemisah antara yang hakdengan yang batil (Hamka, 1982: h 226).
Kapan Lailatul Qadar itu? Ada sejumlah pendapat soal kapan Lailatul Qadar terjadi. Ada pendapat, hanya turun sekali saja. Sebagian lain menyebut 17 Ramadhan. Sebagian yang lain lagi, menyatakan bahwa kemungkinan itu bisa terjadi di tiap malam selama Ramadhan (oleh karena itu kita harus bersiaga sejak malam pertama sampai malam akhir Ramadhan). Pendapat lain lagi, ada pada sepuluh hari yang terakhir (Hamka, 1982: h 226-227).
Keutamaan Baca-Tulis
Kita renungkan al-Alaq 1-5. “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan, Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya”.
Kita ikuti sebagian penjelasan Hamka terkait Qur’an Surat al-Alaq 1-5. Al-Qur’an itu artinya bacaan. Seakan-akan Allah telah berfirman, bacalah atas qudrat-Ku dan bacalah atas iradat-Ku. Adapun dasar dari segala yang akan kita baca itu tidak lain ialah dengan nama Allah (Hamka, 1982: h 215).
Setelah di ayat yang pertama Allah menyuruh membaca atas nama Allah yang menciptakan manusia dari segumpal darah, diteruskan lagi menyuruh agar kita membaca atas nama Tuhan. Adapun nama Tuhan yang selalu akan diambil jadi sandaran hidup itu ialah Allah yang Maha Mulia, Maha Dermawan, Maha Kasih dan sayang kepada makhluk-Nya.
“Dia mengajarkan manusia dengan kalam”. Itulah keistimewaan Allah lagi. Itulah kemuliaan-Nya yang tertinggi yaitu diajarkannya kepada manusia berbagai ilmu, dibuka-Nya berbagai rahasia, diserahkannya kepada manusia berbagai kunci untuk membuka perbendaharaan Allah yaitu dengan kalam, dengan pena.
Di samping Allah beri kemampuan untuk membaca, Allah pun menakdirkan pula bahwa dengan pena ilmu pengetahuan dapat dicatat. Pena adalah beku dan kaku, tidak hidup. Namun yang dituliskan oleh pena itu adalah berbagai hal yang dapat dipahamkan oleh manusia. “Mengajari manusia apa-apa yang dia tidak tahu”.
Lebih dahulu Allah mengajar manusia mempergunakan kalam. Sesudah dia pandai mempergunakan kalam itu, banyak ilmu pengetahuan diberikan oleh Allah kepadanya. Sedemikian rupa, dapat pula dicatatnya ilmu yang baru didapatnya itu dengan kalam yang telah ada di tangannya (Hamka, 1982: h 216).
Di titik ada, ada hikmah: Ilmu pengetahuan adalah laksana binatang buruan dan penulisan adalah tali pengikat buruan itu. Oleh karena itu, ikatlah buruan itu dengan tali yang teguh.
Hal yang terpenting, alat untuk menghubungkan seseorang dengan manusia di sekitarnya ialah kesanggupan berkata-kata dengan lisan, sebagai sambungan dari apa yang terasa dalam hatinya. Kemudian bertambah juga kecerdasannya, maka diberikan pulalah kepandaian menulis.
Di dalam ayat yang mula turun ini telah jelas penilaian yang tertinggi kepada kepandaian membaca dan menulis. Berkata Syaikh Muhammad Abduh dalam tafsirnya. “Tidak didapat kata-kata yang lebih mendalam dan alasan yang lebih sempurna dari ayat ini dalam menyatakan kepentingan membaca dan menulis ilmu pengetahuan dalam segala cabang dan bagiannya. Dengan itu pula dibuka segala wahyu yang akan turun di belakang.
Maka kalau kaum Muslimin tidak mendapat petunjuk dengan ayat ini dan tidak mereka perhatikan jalan-jalan buat maju, merobek segala selubung pembungkus yang menutupi penglihatan mereka selama ini terhadap ilmu pengetahuan atau merampalkan pintu yang selama ini terkunci sehingga mereka terkurung dalam bilik gelap sebab dikunci erat-erat oleh pemuka-pemuka mereka sampai mereka meraba-raba dalam kegelapan-kebodohan-, dan kalau ayat pembukaan wahyu ini tidak menggetarkan hati mereka, maka tidaklah mereka akan bangun lagi selama-lamanya” (Hamka, 1982: h 216).
Alhasil, “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam keadaan beragama Islam” (Ali-‘Imraan 102). Untuk, masuklah ke dalam Islam secara kaffah. Bertakwalah kapan dan di mana pun. Raih kemuliaan hidup, di dunia dan di akhirat. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni