Pengalaman Beda Lebaran Zaman Gus Dur yang Bikin Ayah Kecewa; Oleh Pemimpin Redaksi PWMU.CO Mohammad Nurfatoni
PWMU.CO – Idul Fitri berbeda itu bukan hal baru. Tapi masalah klasik. Pada zaman Gus Dur alias Abdurrahman Wahid sebagai Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU), juga terjadi perbedaan antara NU dengan pemerintah (dan Muhammadiyah) tentang penetapan 1 Syawal (bisa dilacak di artikel nu.or.id ini).
Saat itu PBNU berlebaran lebih awal karena sudah melihat hilal (bulan). Dan, konon, pemerintah ‘tidak mengakui’ hasil rukyat tersebut. Kalau tidak salah saat itu Gus Dur termasuk ‘oposisi’ pemerintah Orde Baru di bawah Presiden Soeharto. Maka perbedaan ini menjadi megah dan heroik.
Seperti biasa, hari raya yang ditetapkan lebih awal memiliki banyak pengikut, termasuk saya. Padahal saya adalah anak dari keluarga besar Muhammadiyah. Tapi waktu itu saya sebagai mahasiswa urban mengikuti madzab lain: jika ada yang lebih dulu melihat bulan, maka sudah saatnya berbuka alias berlebaran.
Gobloknya saya, perbedaan itu saya bawa mudik ke kampung halaman. Dan ayah, Ahmad Thohir alias Jerman (almarhum), tahu kalau saya sudah tidak berpuasa. Mbak saya, Nurfadlilah, waktu itu juga melakukan hal yang sama, sudah berlebaran.
Tentu saja sikap saya itu membuat ayah kecewa. Sebab dia adalah tokoh Muhammadiyah di Desa Keduyung, juga di Kecamatan Laren, Kabupaten Lamongan. Ayah termasuk pendiri Muhammadiyah di desa. Beberapa amal usaha Muhammadiyah di sana juga ikut dia dirikan, seperti balai pengobatan, masjid, madrasah ibtidaiyah (sekarang sudah tutup), dan sekolah menengah pertama.
Ayah juga Ketua Pimpinan Ranting Muhammadiyah Keduyung dengan durasi yang cukup lama. Selain itu pernah menjadi Wakil Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Kecamatan Laren.
Dengan keaktifannya itu—juga karena gaya komunikasinya yang grapyak—ayah banyak bergaul dengan tokoh-tokoh Muhammadiyah bahkan sampai skala kabupaten dan provinsi. Dr dr H Kabat dari Surabaya (almarhum) adalah salah satu sahabatnya.
Di samping sangat mudah bergaul, ayah juga teguh pada pendirian, termasuk dalam hal prinsip berislam dan bermuhammadiyah. Maka ketika mengetahui anak-anak biologisnya mengikuti Lebaran dengan dasar rukyat, beliau sangat kecewa. Karena anak-anaknya dianggap tidak lagi bermuhammadiyah.
Ayah juga kecewa karena tak ditaati oleh bebrapa anaknya sementara sebagai pimpinan dia harus menjadi panutan warga Muhammadiyah, termasuk dalam penentuan hari raya.
Anak Biologis, Ingin Anak Ideologis
Sebagai orang tua, ayah ingin anak-anak biologisnya juga menjadi anak-anak ideologis. Maka dia sekolahnya anak-anaknya ke sekolah Muhammadiyah. Nurfadlilah misalnya disekolahkan di SMP Muhammadiyah Tuban dan dipondokkan di Kiai Mahbub Ihsan (almarhum). Saat SMA dia disekolahkan ayah di SMA Muhammadiyah 1 Kapasan, Surabaya.
Kakak saya M Yazit Nurkhafidhi, saya, dan adik Mohamamd Kholili juga disekolahkan di SMP Muhammadiyah IV Pangkatrejo, Maduran, meskipun harus menempuh perjalanan 18 kilometer setiap hari dengan sepeda ontel. Kalau hujan kami harus berjalan kaki dan menitipkan sepeda karena separuh jalanan yang kami lewati jombrotakibat hujan.
Saya, Kholili, serta adik Slamet Hariadi juga disekolahkan di SMA Muhammadiyah 1 Babat dan dipondokkan di Pesantren Muhammadiyah Babat asuhan KH Muchlis Sulaiman (almarhum).
Di pondok itu lima anak ayah pernah berguru pada Kiai Muchlis, yaitu saya, Kholili, Slamet Hariadi, Nihayatun Nikmah Rokhah, dan Muhammad Khumaini. Meskipun nama yang terakhir itu tidak tinggal di pondok melainkan pernah sebagai santri kalong. Nihayatun juga disekolahkan di SMA Muhammadiyah 1 Gresik.
Intinya, ayah ingin anak-anaknya mewarisi perjuangannya di Muhammadiyah. Sebagian cita-cita itu terwujud. Nurfadlilah misalnya, kini jadi Wakil Ketua Pimpinan Cabang Aisyiyah Kabupaten Gresik. Saya sebagai Wakil Ketua Majelis Pustaka, Informatika, dan Digitalisasi (MPID) Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Timur.
Sementara adik saya yang di tinggal desa ikut aktif mengelola Klinik Pratama Rawat Inap Muhammadiyah Keduyung yang dulu ikut didirikan ayah dangan nama Balai Pengobatan Muhammadiyah.
Tapi memang, sebagian dari delapan anak ayah ada yang menjadi Muhammadiyah kultural artinya tidak aktif secara organisatoris di Persyarikatan dan ada yang aktif di luar Muhammadiyah.
Mualaf Muhammadiyah
Kasus saya yang pernah ikut berlebaran berdasarkan rukyat serta tidak semua saudara aktif di Muhammadiyah sebenarnya adalah fenomena umum. Banyak anak-anak biologis aktivis Muhammadiyah yang tidak otomatis sebagai anak ideologis.
Salah satu faktor penyebabnya adalah pergaulan semasa menjadi mahasiswa urban. Di kampus-kampus kota dalam dua dekade terakhir ini banyak ‘dikuasi’ oleh organisasi transnasional. Mulai dari tarbiyah—yang kemudian menjelma menjadi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dan akhirnya pecah menjadi Partai Gelora. Lalu Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan terakhir kelompok salafi.
Kelompok-kelompok inilah—untuk menyebut tiga saja yang besar pengaruhnya—akhirnya yang membina anak-anak biologis aktivis Muhammadiyah. Intensitas dan kajian ‘baru’ yang diberikan kelompok tersebut mampu mengubah pola pendidikan Muhammadiyah yang diperoleh anak-anak biologis Muhammadiyah saat masa kecil hingga remaja.
Inilah salah satu PR Muhammadiyah yang masih belum terpecahkan 100 persen. Sayangnya pekerjaan rumah (PR) itu hendak ditambah oleh sebagian oknum dengan isu Muhammadiyah ‘original’, yakni kepemimpinan Muhammadiyah harus diisi oleh para mantan aktivis organisasi otonom Muhammadiyah. Karena itu yang dianggap sah memimpin Muhammadiyah.
Padahal banyak kader Muhammadiyah yang punya jalur lain yang tak kalah komitmen perjuangannya. Seperti Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) atau mereka para anak biologis Muhammadiyah yang sudah tobat dari kelompok transnasional dan kini—meminjam Nadjib Hamid (almarhum)—menjadi mualaf Muhammadiyah atau kembali ke rumah besar Muhammadiyah. (*)