PWMU.CO– Negara diminta hadir secara adil dan ihsan dalam memandang dan memberikan fasilitas jika terjadi perbedaan penetapan waktu Hari Raya Idul Fitri 1444 H di Indonesia.
Demikian disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah, Haedar Nashir dalam pernyataannya seperti dimuat muhamamdiyah.or.id, Senin (17/4/2023).\
Pernyataannya itu menanggapi pelarangan Pemda penggunaan lapangan untuk shalat Idul Fitri 21 April 2023 oleh PDM Kota Pekalongan dan Sukabumi.
“Lebaran Idul Fitri boleh berbeda, tetapi kita bisa bersama merayakan dan melaksanakannya. Kalau besok ada perbedaan itu adalah hal yang lumrah karena ini soal ijtihad, sampai nanti kita bersepakat ada kalender Islam global.” kata Haedar Nashir ketika berbicara di UMS, Ahad (16/4/2023).
Guru besar sosiologi ini menegaskan, di tengah perbedaan tersebut negara harus hadir secara adil dan ihsan. Lebih-lebih dalam urusan keagamaan, jangan sampai terjadi rezimentasi agama di tubuh negara ini.
“Kalau misalkan tidak memberi fasilitas yang selama ini digunakan menjadi milik negara untuk yang berbeda seperti besok Muhammadiyah Lebaran 21 (April 2023), tidak perlu bikin larangan. Syukur kalau silakan hari ini digunakan Muhammadiyah, besok digunakan tanggal 22.” ungkap Haedar.
Haedar berseloroh, penggunaan satu lokasi untuk shalat Id yang berbeda hari tidak membatalkan salah satu di antara keduanya. Bahkan, lanjut Haedar, lokasi tersebut mendapat keberkahan dua kali lipat karena digunakan untuk shalat Id dua kali.
Soal permintaan Muhammadiyah di salah satu daerah untuk izin penggunaan fasilitas negara sebagai tempat shalat Id, Haedar mengatakan itu bukan karena Muhammadiyah tidak memiliki fasilitas sendiri, tapi Muhammadiyah ingin menegaskan bahwa fasilitas negara adalah milik seluruh golongan dan rakyat.
”Biasanya kita juga punya fasilitas-fasilitas, tapi bukan itu. Kami bisa menyelenggarakan di tempat kami. Tapi yang kami inginkan adalah negara, pemerintah dengan segala fasilitasnya itu milik seluruh golongan dan rakyat,” tegas Haedar.
Muhammadiyah sama sekali tidak menuntut lebih. Mengutip perkataan Presiden pertama Indonesia, Soekarno dalam Pidato 1 Juni, Haedar menyebut bahwa Indonesia bukan milik satu orang, satu golongan, hanya golongan bangsawan saja, tapi Indonesia milik semua untuk semua.
”Lebih dari itu, mari kita bangun bangsa ini menjadi lebih maju. Kalau persoalan-persoalan tadi itu kan persoalan rumah tangga kita berbangsa dan bernegara, ada dinamikanya tidak perlu didramatisasi,” ujarnya.
”Tapi yang tidak kalah penting adalah bisakah bangsa Indonesia sebagai bangsa yang besar dengan alamnya yang kaya raya. Ke depan kita manajemen dengan baik sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa dalam spirit berkemajuan,” tandas Haedar.
Editor Sugeng Purwanto