Menyaksikan Hilal yang Wujud saat Gerhana Matahari 20 April 2023 oleh Andi Sitti Mariyam, Dosen Astronomi Universitas Muhammadiyah Surabaya.
PWMU.CO– Kamis, 20 April 2023, masyarakat Indonesia bisa menyaksikan fenomena gerhana matahari. Gerhana matahari kali ini sangat istimewa. Terutama bagi kaum muslimin karena bertepatan dengan peralihan akhir siklus bulan Ramadhan menuju Syawwal.
Saat terjadi gerhana matahari, posisi matahari, bulan, dan bumi berada dalam satu garis lurus yang disebut sebagai konjungsi atau Ijtimak. Konjungsi adalah titik awal bulan dalam perjalanannya mengelilingi bumi selama satu bulan.
Periode bulan yang menyatakan waktu antara konjungsi ke konjungsi berikutnya disebut Bulan Sinodis. Namun penentuan dimulainya awal bulan Hijriyah memerlukan syarat-syarat lainnya selain syarat telah terjadi konjungsi, tergantung pilihan fikih yang diambil dalam pengambilan keputusan hukum mengenai kapan awal bulan Hijriyah. Syarat lain tersebut di antaranya adalah bulan berada di atas ufuk saat matahari terbenam pasca konjungsi.
Berbeda dengan Kalender Matahari yang memulai hari saat tengah malam. Maghrib atau saat matahari terbenam adalah awal hari dalam Kalender Hijriyah. Untuk kasus konjungsi saat gerhana matahari 20 April 2023 yang bertepatan dengan 29 Ramadhan 1444 H, konjungsi telah terjadi siang hari sekitar pukul 11.15 WIB.
Bagi Muhammadiyah yang menganut hisab hakiki wujudul hilal,hari berikutnya dalam kalender bulan atau 1 Syawwal 1444 H akan dimulai sore hari saat Maghrib di hari yang sama. Saat itu posisi bulan telah berada pada ketinggian 01 derajat 47‘ di atas ufuk untuk pengamat di Kota Yogyakarta dan berada di atas ufuk untuk seluruh wilayah Indonesia.
Konjungsi memang bukan satu-satunya syarat dimulainya awal bulan Hijriyah yang baru. Namun konjungsi dapat menjelaskan peralihan satu siklus periode bulan ke siklus periode bulan berikutnya.
Fenomena konjungsi lebih sering dipahami melalui perhitungan matematis atau simulasi komputer. Konjungsi tidak mudah diamati secara langsung karena dapat terjadi kapan saja, pagi siang sore, atau malam.
Saat siang hari, bulan yang mengalami konjungsi atau fase bulan baru sulit diamati karena kalah dengan sinar matahari. Pada malam hari konjungsi juga tidak mudah diamati karena nyaris tidak ada cahaya bulan yang terpantul dari sinar matahari.
Oleh karena itu gerhana matahari menjadi fenomena yang istimewa karena saat itu konjungsi dapat diamati dengan tertutupnya piringan matahari oleh piringan bulan. Secara jelas dan meyakinkan kita dapat melihat bulan meskipun hanya bayangannya.
Jenis Bulan dalam Astronomi
Dalam Astronomi, ada beberapa definisi periode bulan yaitu Bulan Sinodis, Bulan Sideris, Bulan Tropis, Bulan Anomalistik, dan Bulan Drakonik.
- Bulan sinodis adalah siklus bulan yang paling dikenal, didefinisikan sebagai interval waktu antara dua kejadian berturut-turut dari fase tertentu (seperti bulan baru ke bulan baru atau bulan purnama ke bulan purnama) seperti yang terlihat oleh pengamat di Bumi. Jarak dari konjungsi ke konjungsi disebut juga sebagai satu periode lunasi (Lunation). Panjang rata-rata satu bulan sinodis adalah 29,53059 hari (29 hari, 12 jam, 44 menit, 2,8 detik). Karena eksentrisitas orbit bulan di sekitar Bumi, panjang bulan sinodis dapat bervariasi hingga tujuh jam.
- Bulan sideris didefinisikan sebagai periode orbit Bulan dalam kerangka acuan yang tidak berotasi yaitu sekitar 27,32166 hari (27 hari, 7 jam, 43 menit, 11,6 detik). Periode bulan sideris adalah waktu yang dibutuhkan Bulan untuk dua kali melewati bintang “tetap”.
Satu bulan sinodis lebih panjang dari satu bulan sideris karena sistem Bumi-Bulan mengorbit Matahari dengan arah yang sama dengan Bulan mengorbit Bumi. Matahari bergerak ke arah timur terhadap bintang-bintang (seperti halnya Bulan) dan dibutuhkan sekitar 2,2 hari lebih lama bagi Bulan untuk kembali ke posisi semu yang sama terhadap Matahari bagi perspektif pengamat di bumi.
- Bulan tropis adalah waktu rata-rata bagi Bulan untuk melewati dua kali titik ekuinoks yang sama di langit. Periode bulan tropis adalah 27,32158 hari, sangat sedikit lebih pendek dari bulan sideris (27,32166) hari, karena presesi ekuinoks.
- Bulan anomalistik adalah waktu rata-rata yang dibutuhkan Bulan untuk berpindah dari perigee ke perigee—titik di orbit Bulan saat paling dekat dengan Bumi. Bulan anomalistik rata-rata sekitar 27,55455 hari.
- Bulan drakonik , bulan drakonitik, atau bulan nodal adalah periode di mana Bulan kembali ke simpul yang sama dari orbitnya; node adalah dua titik di mana orbit Bulan melintasi bidang orbit Bumi. Durasinya rata-rata sekitar 27,21222 hari.
Dalam penggunaan kalender bulan, periode bulan Sinodis adalah yang paling umum digunakan. Dalam kalender bulan murni, tahun didefinisikan selalu memiliki 12 bulan kamariah, jadi satu tahun panjangnya 354 atau 355 hari.
Sementara kalender matahari murni seringkali memiliki bulan yang tidak lagi berhubungan dengan fase bulan, tetapi hanya didasarkan pada pergerakan matahari relatif terhadap ekuinoks dan titik balik matahari, atau murni konvensional seperti pada kalender Gregorian yang banyak digunakan.
Kompleksitas Kalender Bulan
Kompleksitas yang diperlukan dalam kalender lunisolar yang akurat dapat menjelaskan mengapa kalender matahari umumnya menggantikan kalender lunisolar dan lunar untuk penggunaan kepentingan sipil di sebagian besar masyarakat. Kompleksitas tersebut misalnya dalam persoalan penentuan awal bulan dalam kalender bulan.
Tidak hanya kalender Bulan Islam, Kalender Helenik dan kalender Lunisolar Ibrani ,memulai bulan dengan kemunculan pertama bulan sabit tipis bulan baru. Namun, gerak Bulan pada orbitnya sangat rumit dan periodenya tidak konstan. Tanggal dan waktu pengamatan aktual ini tergantung pada garis bujur dan lintang geografis, kondisi atmosfer, skill dan ketajaman visual pengamat, dll. Oleh karena itu, ketergantungan pada perhitungan astronomi (hisab) dan metode tabular semakin umum dalam praktik penentuan awal bulan.
Editor Sugeng Purwanto