Khutbah Idul Fitri di halaman Jakarta International Equestrian Park Pulomas oleh PRM Kayu Putih Jakarta Timur.
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
الْحَمْدُ ِللهِ الَّذِيْ أَنْعَمَنَا بِنِعْمَةِ اْلإِيْمَانِ وَاْلإِسْلاَمِ. أشْهَدُ أنْ لاَ إلَهَ إلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ, وَأشْهَدُ أنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. أللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأصْحَابِهِ أجْمَعِيْنَ.
فَياَ أيُّهاَ النَّاسُ, إتَّـقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَتَمُوتُنَّ إلاَّ وَأنْـتُمْ مُسْلِمُونَ, أَمَّا بَعْدُ. اللَّهُ أكْبَرْ اللَّهُ أكْبَرْ لاَ إلَهَ إلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أكْبَرْ اللَّهُ أكْبَرْ وَلِلَّهِ الحَمْدُ.
Kaum Muslimin dan Muslimat yang berbahagia,
Tiada yang patut kita ungkapkan kecuali rasa syukur ke hadirat Allah SWT bahwa saat ini kita dapat merayakan Idul Fitri, hari raya kesucian, hari raya kekuatan, dan hari raya kemenangan. Kata fitrah mengandung arti kesucian dan kekuatan. Manusia terlahir ke muka bumi dengan fitrah kemanusiaan yang suci yaitu tidak membawa dosa warisan dari siapa pun, baik kedua orang tua yang melahirkannya, maupun Adam dan Hawa moyang umat manusia.
Sebaliknya, fitrah kemanusiaan mewarisi kesucian, karena ruh yang dihembuskan ke dalam jasad beberapa bulan sebelum kelahiran terikat perjanjian suci dengan Sang Pencipta. Hal ini diabadikan dalam Al-Qur’an berupa dialog arwah dan Sang Pencipta: Alastu birobbikum (bukankah aku Tuhanmu?), dan dijawab Bala syahidna (ya, kami bersaksi bahwa sesungguhnya Engkau adalah Tuhan kami).
Fitrah kemanusiaan juga mewarisi kekuatan, karena ruh yang dihembuskan ke dalam jasad berasal dari Dzat Yang Maha Sempurna dengan segala nama-nama kebaikan (al-asma’ al-husna). Inilah yang membawa manusia memiliki potensi-potensi insani yang parallel dengan sifat-sifat ketuhanan itu.
Fitrah kemanusiaan dengan demikian berdimensi ganda: kesucian dan kekuatan. Jika keduanya dikembangkan secara simultan maka akan melahirkan insan fitri, yaitu manusia dengan kepribadian suci dan kuat. Inilah kepribadian orang-orang yang bertakwa yang merupakan tujuan ibadah-ibadah Ramadhan.
Jika kita mampu memiliki kesucian dan kekuatan diri maka kita akan memperoleh kemenangan. Itulah yang kita rayakan pada hari ini yaitu kemenangan kaum beriman mengendalikan hawa nafsu selama sebulan penuh sehingga terlahir kembali sebagai insan paripurna penuh kesucian dan kekuatan diri.
Jamaah Shalat Idul Fitri yang berbahagia,
Kemenangan yang diraih kaum beriman yang telah berhasil menempuh pelatihan Ramadhan adalah kemenangan dari jihad besar atau al-jihad al-akbar. Jihad ini lebih tinggi nilainya dari pada berjuang di jalan Allah dengan berperang yang hanya merupakan jihad kecil atau al-jihad al-ashghar.
Mengendalikan hawa nafsu disebut sebagai jihad besar adalah karena pengendalian hawa nafsu adalah perbuatan yang sangat berat dan susah dilakukan manusia. Hawa nafsu cenderung mendorong manusia kepada keburukan (al-nafs al-ammarah bi al-su’). Sebagai akibatnya, manusia yang cenderung mengikuti hawa nafsu akan terjebak ke dalam kekejian, kemungkaran, dan kezaliman. Inilah yang dewasa ini menjelma dalam kehidupan masyarakat dalam berbagai bentuk kekerasan, pembunuhan, perzinahan, pencurian, korupsi, sampai kepada penyalahgunaan dan penyelewengan amanat jabatan.
Semuanya itu menunjukkan terjadinya kerusakan moral dalam masyarakat, yang melanda tidak hanya anak-anak dan remaja, tapi juga orang-orang dewasa. Kerusakan moral ini merupakan masalah besar bagi bangsa, dan bahkan dapat meruntuhkan kehidupan bangsa. Pepatah Arab mengatakan:
إنَّمَا الأُمَمُ الأَخْلاَقُ ماَ بَقِيَتْ – فَإنْ هُم ذَهَبَتْ أخْلاَقُهُمْ ذَهَبُوْا
“Dengan akhlak sesuatu bangsa berdiri tegak, jika akhlak runtuh bangsa itu menjadi rapuh”.
Bangsa Indonesia yang besar dan memiliki modal sosial dan modal budaya yang tinggi sekarang mengalami pergeseran dan perubahan. Pertama, jika dulu bangsa dikenal sebagai bangsa yang ramah tamah, sekarang ada gejala sebagian anak bangsa cenderung pemarah, mudah tersinggung, dan kemudian menempuh jalan kekerasan dalam menyelesaikan masalah. Mereka tega meng-hilangkan nyawa orang lain hanya karena harga diri dan persoalan sepele. Sebagian anak-anak bangsa terjebak ke dalam fanatisme buta dalam membela agama dari pada mengembangkan toleransi yang lapang dada terhadap sesama.
Kedua, bangsa Indonesia juga dikenal sebagai bangsa pejuang, sehingga mampu bertahan tiga setengah abad terhadap penjajahan. Monumen di mana kita berada sekarang adalah bukti sejarah tentang kepejuangan itu. Sebagai bangsa pejuang, bangsa Indonesia dikenal tidak kenal lelah dan pantang menyerah terhadap segala macam tantangan. Inilah yang terpantul dari pepatah “sekali layar terkembang pantang mundur ke belakang”.
Namun sekarang daya juang itu mulai berkurang, tergerus oleh zaman. Sebagian anak-anak bangsa cenderung menjadi pecundang. Mereka tidak tahan terhadap ujian dan cobaan, sehingga mengambil jalan pintas menerabas hukum dan undang-undang menghalalkan secara cara untuk mencapai tujuan.
Daya juang pun berkurang ketika anak-anak bangsa tidak siap bersaing dan bertanding, bahkan terjatuh pada kecenderungan membanggakan bangsa-bangsa lain yang dianggapnya maju dan modern. Anak-anak bangsa kehilangan jati diri dan tidak bangga terhadap bangsa sendiri.
Ketiga, bangsa Indonesia juga terkenal sebagai bangsa yang bergotong royong. Mereka bahu membahu dan saling membantu dalam berbagai persoalan dan kegiatan. Sudah menjadi tradisi di desa maupun di kota antar sesama warga masyarakat bekerja sama menyelesaikan tugas bersama dalam prinsip “berat sama dipikul, ringan sama dijinjing”.
Namun sekarang etos kegotongroyongan mulai mengendur tergerus waktu. Semangat kegotongroyongan tergantikan oleh kecenderungan hidup bernafsi-nafsi untuk hidup dan selamat sendiri. Jika dalam semangat kegotongroyongan terdapat keikhlasan dan ketulusan untuk membantu sesama seperti terdapat dalam peribahasa “sepi ing pamrih rame ing gawe”, sekarang segala sesuatu diukur dari sudut materi atau bendawi.
Jamaah Shalat Idul Fitri yang dirahmati,
Tentu gambaran tadi tidak mencerminkan realitas masyarakat secara keseluruhan. Masih banyak warga bangsa yang masih mengamalkan watak bangsa yang sejati, baik dalam keramah tamahan, semangat kejuangan, dan semangat kegotong royongan. Namun, potret buram perlu diungkapkan agar kita dapat melakukan muhasabah (mawas diri) dan muraqabah (jaga diri) bahwa ada masalah dalam kehidupan masyarakat kita.
Memang globalisasi dan modernisasi telah membawa dampak ke dalam kehidupan bangsa, baik positif maupun negatif. Pada sisi positif, globalisasi dan modernisasi telah membawa kemajuan dan kemudahan bagi kita dalam berkomunikasi satu sama lain, memperoleh informasi dan pengetahuan tentang berbagai macam hal, terutama akibat perkembangan teknologi informasi.
Tetapi pada sisi lain, kemajuan tersebut juga membawa dampak negatif. Globalisasi dan modernisasi juga melahirkan manusia-manusia individualistik yang cenderung mendewakan diri sendiri, materialistik yang cenderung mendewakan materi dan hal bendawi, dan hedonistik yang cenderung mendewakan pemuasan hasrat badani.
Ketiga kecenderungan ini, yang menempatkan manusia sebagai pusat kesadaran dan kehidupan, sesungguhnya merupakan sikap-sikap yang anti Tuhan. Padahal Islam dengan ajaran tauhidnya sangat menekankan bahwa Tuhanlah yang harus menjadi pusat kesadaran dan kehidupan manusia. Itulah yang terpantul dari syahadat kita: La ilaha illallah, Muhammad Rasulullah.
Bahkan lebih dari pada itu, Islam mengajarkan bahwa hidup kita di dunia yang bersifat sementara ini haruslah diarahkan kepada Allah SWT, karena Dialah yang menjadi tujuan dan muara hidup kita, sebagaimana terdapat dalam ungkapan inna lillahi wa inna ilaihi roji’un, sesungguhnya kita milik Allah, berasal dari Allah dan akan kembali ke hadiratNya.
Jamaah shalat idul fitri yang dirahmati,
Oleh karena itu, idul fitri yang kita rayakan hari ini adalah momentum bagi kita untuk kembali ke fitrah kemanusiaan sejati, yaitu kepribadian suci dan kuat. Kepribadian inilah yang terlahir dari shaimin dan shaimat, yaitu mereka yang telah menempuh pelatihan Ramadhan sebulan penuh dengan penuh keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT.
Memang ibadat-ibadat Ramadhan memiliki dua fungsi utama, yaitu penyucian diri (tazkiyat al-nafs atau self refinement) dan penguatan diri (tarqiyat al-nafs atau self empowerment). Selama sebulan penuh para shaimin dan shaimat menyucikan jiwa dari segala noda dan dosa, dengan meningkatkan hubungan dengan Allah SWT melalui puasa, qiyamul lail, dzikir, i’tikaf, dan lain sebagainya.
Selama sebulan penuh pula, para shaimin dan shaimat meningkatkan kapasitas diri, dengan menampilkan jatidiri yang sejati sebagai manusia dengan potensi-potensi positif dan konstruktif, untuk kehidupan. Hal ini ditunjukkan dengan kecenderungan berbagi terhadap sesama, mengembangkan solidaritas dan kesetiakawanan sosial, serta budaya silaturrahmi.
Dari kedua fungsi Ramadhan tadi diharapkan kaum beriman kembali menemukan fitrah kemanusiaannya yang sejati. Fitrah kemanusiaan ini akan menampilkan kepribadian paripurna, yaitu kepribadian yang bernafaskan akhlak mulia. Seseorang yang mampu mencapai tingkat kepribadian paripurna ini adalah orang yang berhasil meraih puncak keberagamaan, yaitu akhlak mulia. Akhlak mulia adalah hakikat sekaligus muara keberagamaan. Rasulullah bersabda:
إِنَّمَا بُعِثْتُ لِأُتَمِّمَ مَكَارِمَ الأَخْلاَقِ
“Sesungguhnya aku diutus untuk mengembangkan akhlak mulia”
Maka oleh karena itu para ulama merumuskan sistematika keberagamaan dalam Trilogi Akidah – Ibadah – Akhlak, yang sejalan dengan Trilogi Iman – Islam – Ihsan. Ketiganya dapat dipandang sebagai Piramida Keberagamaan, yaitu akidah atau iman sebagai titik tolak, islam atau ibadah sebagai jalan, dan akhlak atau ihsan sebagai muara atau tujuan akhir. Dalam kaitan ini, ibadat seperti puasa dan amal-amal Ramadhan lainya hanyalah jalan untuk menuju tujuan yaitu pengamalan akhlak mulia.
Pada era moderen dan global dewasa ini, setiap Muslim dituntut untuk mampu menampilkan komitmen ketauhidan dan kehanifan, yakni berpegang teguh pada nilai-nilai agama dan bersikap konsekwen serta konsisten dalam menjalankannya. Tentu dengan tidak mengabaikan nilai-nilai positif dari kemajuan zaman. Islam adalah agama kemajuan dan mendorong pemeluknya untuk berkehidupan yang berkemajuan.
Oleh karena itu, Ramadhan yang kita lalui sebulan yang lalu bukanlah tujuan terakhir. Ramadhan hanyalah jalan dan tonggak pendakian menuju puncak atau tujuan. Puncak dan tujuan itu adalah meraih akhlak mulia.
Keberagamaan sejati haruslah mampu membuahkan akhlak mulia. Namun, akhlak mulia dalam pandangan Islam tidak hanya mengenai nilai-nilai etika kesusilaan seperti berlaku baik, sopan, dan santun terhadap sesama, tetapi juga menyangkut nilai-nilai etos kesosialan seperti kerja keras, kerja keras, kerja sama, daya juang, dan daya saing serta orientasi kepada kemajuan dan keunggulan.
Kaum Muslimin dan Muslimat yang dirahmati,
Islam adalah agama kemajuan dan keunggulan. Sebagai agama kemajuan (din al-hadharah), Islam menganjurkan kepada pemeluknya untuk mampu menampilkan kehidupan yang maju dan dinamis, bukan kehidupan yang pasif dan stagnan. Ali bin Abi Thalib ada mengatakan:
مَنْ كَانَ يَوْمُهُ خَيْرًا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ رَابِحٌ, وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ مِثْلُ أَمْسِهِ فَهُوَ مَغْبُـوْنٌ, وَمَنْ كاَنَ يَوْمُهُ شَرًّا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ مَلْعُوْنٌ
“Barang siapa yang mampu menciptakan hari ini lebih baik dari hari kemarin adalah orang yang sukses; dan jika hanya mampu menciptakan hari ini sama dengan hari kemarin sesungguhnya dia gagal; apalagi jika gagal menciptakan hari ini lebih baik atau sama dari hari kemarin maka dia adalah orang terhina”.
Dari kata hikmah tadi sangat jelas bahwa umat Islam harus berorientasi kepada kualitas dan dinamika kehidupan. Kehidupan umat Islam, baik secara individu maupun kolektif, harus bergerak maju merebut mutu. Hal ini sejalan dengan adagium globalisasi bahwa “no longer number counts, but quality counts” atau tidak lagi angka yang berbilang, tapi mutulah yang berhitung dan diperhitungkan. Maka bagi umat Islam, khususnya di Indonesia, menjadi kelompok mayoritas dalam kuantitas tanpa kualitas adalah hampa, menjadi kelompok mayoritas dalam kuantitas dengan kualitas barulah berharga.
Dari kata hikmah tadi pula sangat jelas bahwa salah satu syarat untuk dapat menampilkan kehidupan yang maju dan dinamis adalah dengan memiliki kesadaran akan waktu, bahwa waktu itu penting maka harus diisi dengan aksi dan prestasi. Al-Qur’an adalah satu-satunya kitab suci yang paling banyak menegaskan pentingnya waktu, dan bahkan memuat sumpah Allah atas waktu seperti pada ayat: Wal ‘ashri – demi waktu, wal fajri – demi waktu fajar, wal laily – demi waktu malam, wad dhuha,- demi waktu dhuha, was syamsi – demi matahari, wan najmi – demi bintyang, wal qamari – demi bulan, dan seterusnya. Kesadaran akan nilai waktu dan keharusan mengisinya adalah pangkal kemajuan.
Islam menuntut umat Islam untuk mampu merebut kemajuan dan keunggulan dalam berkebudayaan dan berperadaban. Untuk itu Al-Qur’an sudah menunjukkan jalan sebagaimana firman Allah:
ضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ ٱلذِّلَّةُ أَيْنَ مَا ثُقِفُوٓا إِلَّا بِحَبْلٍ مِّنَ ٱللَّهِ وَحَبْلٍ مِّنَ ٱلنَّاسِ وَبَآءُو بِغَضَبٍ مِّنَ ٱللَّهِ وَضُرِبَتْ عَلَيْهِمُ ٱلْمَسْكَنَةُ ۚ
“Mereka (umat Islam) akan ditimpa oleh kehinaan dalam mereka membangun kebudayaan dan peradaban kecuali jika mereka dapat mengembangkan hubungan dengan Allah (yang berkorelasi positif dengan) hubungan dengan sesama manusia, dan mereka juga ditimpa oleh kemiskinan. …” (QS. Ali-Imran: 112)
Ayat ini menjelaskan bahwa umat Islam akan ditimpa oleh kehinaan dan kemiskinan kecuali jika mereka mengembangkan hubungan vertikal dengan Allah atau hablun minallah dan hubungan horizontal dengan sesama manusia atau hablun minannas.
Sebagai mafhum mukhalafah, dapat dikatakan bahwa keterpurukan dan kemiskinan yang menimpa umat Islam dewasa ini adalah karena ketidakmampuan mereka dalam mengembangkan hablun minallah dan hablun minannas dalam korelasi positif, dinamis dan efektif. Maksudnya, bahwa antara keduanya haruslah terjalin hubungan integral yang membawa dampak positif, dinamis dan efektif.
Maka solusi terhadap fenomena keterpurukan dan kemiskinan umat Islam dewasa ini adalah dengan mengembangkan kedua hubungan tadi secara terintegrasi, bahwa yang pertama (hablun minallah) haruslah membawa dampak positif dan efektif ke dalam yang kedua (hablun minannas).
Integrasi hablun minallah dan hablun minannas secara positif dan efektif dapat dilakukan jika ibadat-ibadat yang kita lakukan dapat membawa dampak sistemik ke dalam perilaku bermoral dan beretika, sehingga kita dapat mengembangkan kebersamaan dalam membangun kebudayaan dan peradaban utama. Hal ini dapat terwujud jika umat Islam, sebagai khaira ummah atau umat terbaik, terdiri dari individu-individu yang berkepribadian suci dan kuat.
Jamaah Shalat Idul Fitri yang dirahmati,
Pesan dan watak Islam agar umat Islam menempuh jalan mendaki dalam keberagamaan dan kehidupan sangat relevan dengan tantangan yang dihadapi umat Islam dan bangsa dewasa ini.
Pada era moderen dan global dewasa ini, setiap Muslim dituntut untuk mampu menampilkan komitmen ketauhidan dan kehanifan, yakni berpegang teguh pada nilai-nilai agama dan bersikap konsekwen serta konsisten dalam menjalankannya. Tentu dengan tidak mengabaikan nilai-nilai positif dari kemajuan zaman. Islam adalah agama kemajuan dan mendorong pemeluknya untuk berkehidupan yang berkemajuan. Rasulullah SAW bersabda:
عَنِ ابْنِ عَبَّاَسٍ قَالَ قِيْلَ لِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّىَ اللَّهُُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَيُّ اْلأَدْيَانِ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ قَالَ الْحَنِـيْفِـيَّةُ السَّمْحَةُ
“Sesungguhnya agama yang disukai di sisi Allah adalah beragama dengan penuh kehanifan yang berlapang dada”.
Mengamalkan kehanifan yang berlapang dada (penuh keterbukaan dan toleransi) adalah sejalan dengan predikat umat Islam sebagai “umat tengahan” (ummatan wasathan). Akidah Islam adalah “akidah tengahan”, yaitu akidah yang mengedepankan wasathiyah atau orientasi hidup moderat, penuh toleransi, keseimbangan, dan kelapangan dada. Orientasi hidup ini membawa kita untuk teguh dalam prinsip namun terbuka terhadap kebenaran dan kebaikan yang datang dari luar diri kita.
Prinsip wasathiyah (moderasi) ini merupakan watak Islam yang perlu kita kedepankan dalam hidup bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara di Indonesia tercinta. Kita ditakdirkan Allah SWT berada dalam latar dan suasana kemajemukan, baik atas dasar agama, suku, bahasa dan budaya, maupun paham keagamaan dan organisasi kemasyarakatan. Terhadap sesama Muslim kita perlu mengembangkan persaudaraan keislaman (ukhuwah Islamiyah), dan terhadap sesama bangsa kita rajut dan kembangkan persaudaraan kebangsaan (ukhuwah wathoniyah).
Dalam kaitan ini, adalah penting bagi umat Islam dan bangsa Indonesia untuk mengamalkan wawasan baru dalam kehidupan kebangsaan kita, yang mungkin dapat disebut sebagai Wawasan Jalan Tengah. Wawasan ini merupakan kristalisasi nilai-nilai Islam sebagai “agama jalan tengah” yang berdasarkan pada al- ‘aqidah al- wasithiyyah, dan umat Islam sebagai umat tengahan (ummatan wasathan).
Inilah Wawasan Jalan Tengah (the middle path), yang merupakan nilai-nilai Islam Berkemajuan. Sebagai ”umat tengahan” umat Islam diserukan untuk memberi kesaksian kepada dunia, yaitu dengan menampilkan bukti-bukti kemajuan kebudayaan dan peradaban. Islam Jalan Tengah seperti itu mungkin bisa menjadi solusi bagi Indonesia menuju kebangkitan, kemajuan dan keunggulan.
Jalan Tengah ini perlu menjadi bagian dari kesadaran umat Islam dan bangsa Indonesia. Jalan Tengah perlu mengkristal menjadi watak bangsa maju. Dalam kaitan ini, paling tidak ada Dasa Cita Budaya Maju yang perlu menjadi budaya baru bangsa Indonesia. Dasa Cita Budaya Maju itu adalah sebagai berikut:
- Maju dari kebiasaan mementingkan diri sendiri atau kelompok dengan mengedepankan kepentingan publik dan kepentingan bangsa yang lebih luas;
- Maju dari tirani perasaan benar sendiri menjadi anak bangsa yang toleran dan menghargai perbedaan;
- Maju dari sifat-sifat feodalisme dan primordialisme menjadi egalitarian yang menempatkan sesama anak bangsa dalam posisi dan perlakuan yang sama;
- Maju dari budaya yang hanya mencela belaka dengan membangun budaya menghargai upaya dan hasil karya orang lain;
- Maju dari budaya nepotisme dengan mengedepankan budaya meritokrasi atau prestasi;
- Maju dari budaya kekerasan menjadi bangsa yang beradab dalam menyelesaikan setiap persoalan;
- Maju dari kebiasaan korupsi dan mulai bekerja membangun prestasi dan menuai karya dari hasil keringat sendiri;
- Maju dari ketergantungan dari bangsa lain dan mulai membangun kemandirian nasional, melalui kerjasama internasional yang adil dan saling menguntungkan;
- Maju dari rasa rendah diri dalam pergaulan antar bangsa dan menjadi bangsa yang berdiri sama tinggi dengan bangsa-bangsa lain di dunia ini;
- Maju dari kecintaan pada dunia fana belaka dan mulai menyeimbangkan kehidupan dengan menjalankan ajaran agama yang baik (agama yang fungsional yang tidak hanya berhenti pada spiritualisme pasif tetapi berlanjut pada spiritualisme aktif dan dinamis yang mendorong daya saing, etos kerja dan produktifitas sehingga bangsa dapat bersaing di pentas global).
Kaum Muslimin dan Muslimat yang dirahmati,
Adalah saatnya bagi umat Islam untuk bangkit menampilkan wawasan Islam Berkemajuan untuk menjadi pilar terwujudnya Indonesia Berkemajuan, dengan mengaktualisasikan watak-watak insan tauhidi yang merdeka.
Semoga segala amal ibadah kita pada bulan suci Ramadhan dapat menghantarkan kita pada momentum Idul Fitri, kala kita terlahir kembali sebagai insan fitri dengan kepribadian paripurna yang suci dan kuat, guna dapat menampilkan hidup berkemajuan.
Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami, dosa-dosa orang-orang yang beriman kepada-Mu, baik yang masih ada maupun tiada,
Ya Allah, ampunilah dosa-dosa kami dan dosa-dosa kedua orang tua kami, rahmatilah kedua mereka, sebagaimana mereka telah mendidik kami sejak kecil,
Ya Allah, berilah kami kekuatan lahir dan batin untuk dapat beribadat kepadaMu dalam kuantitas dan kualitas; ya Allah jadilah kami umat yang besar dalam jumlah dan bilangan, tapi juga besar dalam mutu dan kualitas.
Ya Allah, terima segala amal ibadah Ramadhan kami, jadilah kami hamba-hamba-Mu yang dapat kembali ke fitrah kemanusiaan sejati dengan kepribadian paripurna, sehingga kami dapat mengemban misi sebagai khalifah-Mu membangun kebudayaan dan peradaban utama di muka bumi-Mu,
Ya Allah, limpahkanlah bagi kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, serta bebaskanlah kami dari siksa neraka.
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Editor Sugeng Purwanto