PWMU.CO– Tiga Roh menjadi bahasan khotbah Idul Fitri Fathurrahim Syuhadi MM di halaman Masjid at-Taqwa Cungkup Kecamatan Pucuk, Lamongan, Jumat (21/4/2023).
Wakil Ketua PDM Lamongan Fathurrahim Syuhadi mengatakan, ibadah puasa Ramadhan selama sebulan telah dijalani, seharusnya membekas dan menjadi roh yang dapat menyemangati setiap upaya perbuatan baik dan cinta kita terhadap sesama.
Menurut dia ada tiga roh yang diterima orang berpuasa. Pertama, roh kebaikan. Puasa Ramadhan setidaknya memotivasikan manusia untuk berbuat baik, dan bermanfaat bagi masyarakat.
”Ibadah puasa melahirkan komitmen yang kuat untuk bertahan dari segala godaan hawa nafsu. Manusia dilatih untuk jujur pada diri sendiri,” katanya.
Kedua, kata rohum yaitu roh sabar. Puasa Ramadhan menjadikan tonggak untuk memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).
Dia mengutip al-Quran surat al-Baqarah ayat 135:
Hai orang-orang yang beriman, jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu, sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
Ketiga, roh filantropi. Puasa Ramadhan mengajarkan kepekaan sosial. Melalui lapar dan dahaga mendatangkan kepedulian kepada fakir miskin yang hidup serba kekurangan, dan kelaparan. ”Taawanu alal birri wa taqwa wala taawanu alas ismi wal udwan,” ujarnya.
Artinya, tolong menolonglah dalam kebaikan dan takwa dan jangan tolong menolong untuk dosa dan permusuhan.
Menyambut Idul Fitri
Penulis buku Sejarah Muhammadiyah Lamongan ini mengajak menyambut Idul Fitri ini beramai-ramai penuh kegembiraan.
Idul Fitri biasanya ditandai dengan pakaian baru, cat rumah baru, dan berlimpahnya makanan, bahkan mercon yang memekakkan telinga.
Melalui Idul fitri, manusia dituntut untuk mampu memaknai kembali terhadap fitrah jati dirinya. Jika dalam paradigma modern, jati diri manusia dapat dilihat dari ukuran material, maka dengan Idul Fitri jati diri manusia dapat diukur dari kemampuannya untuk merajut jalinan ukhuwah, menyambung tali silaturrahim) dengan sesamanya.
“Karena puasa Ramadhan dan Idul Fitri selama dua tahun terganggu pandemi Covid-19 yang menjadikan kehidupan sehari-hari tidak normal. Ke mana-mana memakai masker, mencuci tangan, menjaga jarak dan menghindari kerumunan. Alhamdulillah hari ini suasananya sangat berbeda,” ungkapnya.
Pada saat itu, kata dia, hubungan sosial menjadi terbatas. Silaturrahmi menjadi renggang. Semua aktivitas di luar rumah dibatasi. Lebih parah lagi para perantau tidak bisa mudik.
Tahun ini kita bersyukur dan bersukaria dapat melaksanakan shalat Idul Fitri dan perayaannya dengan sempurna. Sahabat-sahabat kita, sanak kerabat kita, yang saat ini sedang di perantauan dapat mudik dan berhari raya di Desa Cungkup ini.
Mudik
Dia menambahkan, di penghujung Ramadhan para perantau mulai mudik untuk merayakan Idul Fitri di kampung halaman.
Setelah lama berpisah dengan sanak keluarga dan handai taulan, ada kerinduan yang mengusik untuk bisa kembali berkumpul dengan sanak keluarga.
”Kampung halaman dengan aroma desa yang khas dengan kekerabatan tinggi kontras dibandingkan kehidupan urban yang individualistik,” ujarnya.
Kedatangan perantau disambut tangis haru dan peluk cium dari orangtua, sanak keluarga. Mudik Idul Fitri sebagai implementasi dari kegembiraan.
Pada sisi spiritual, sambung dia, mudik merupakan simbol untuk mengingatkan manusia tentang dari mana ia berasal dan mau ke mana ia menuju.
”Setiap manusia pasti akan pulang ke kampung halaman, kampung akhirat, pulang ke haribaan sang pencipta Allah swt,” tandasnya.
Menurut dia, mudik bisa diartikan kembalinya manusia beriman dan bertakwa kembali kepada Allah swt melalui asal keluarga, sejarah silsilah kelahiran, keluarga terdekat, bahkan sangat mungkin tempat di mana dilahirkan, kampung halaman.
Penulis Alfain Jalaluddin Ramadlan Editor Sugeng Purwanto