Muhammadiyah Phobia, Oleh Pemimpin Redaksi PWMU.CO Mohammad Nurfatoni
PWMU.CO – Pimpinan dan atau kader Muhammadiyah yang diancam dibunuh bukan hal baru. Pendiri Muhammadiyah KH Ahmad Dahlan sudah mengalaminya seabad yang lalu.
Pernah terjadi sepulang dari pengajian di Banyuwangi, KH Ahmad Dahlan mendapat surat kaleng. Isinya berupa ancaman. Kalau berani datang sekali lagi ke Banyuwangi disambut kelewang dan istrinya akan dijadikan pelayan.
Kiai Dahlan ternyata pantang surut apalagi takut dengan ancaman itu. Malah kiai dari Kauman Yogyakarta ini merasa ditantang untuk berdakwah lagi ke kota di ujung timur Pulau Jawa itu.
Beberapa waktu kemudian Kiai Dahlan datang lagi ke Banyuwangi dengan segala risiko. Ketika turun di Stasiun Banyuwangi, beberapa polisi datang menemuinya. Polisi itu meminta sang kiai membatalkan pengajian di Kota Osing itu dan balik ke Yogyakarta, sebab massa sudah mengepung dengan membawa senjata.
Dengan santai dan berwibawa Kiai Dahlan berkata, ”Polisi ini aneh. Saya datang untuk berbuat baik kok dilarang. Mereka mau berbuat jahat malah dibiarkan.”
Kepada polisi disampaikan, Kiai Dahlan menolak pulang dan tetap mendatangi pengajian. Akhirnya dengan ketegasan dan keberanian menghadapi ancaman, pengajian bisa berlangsung dengan damai. Tidak lama kemudian berdiri organisasi Muhammadiyah di Banyuwangi.
Cerita tersebut disampaikan oleh Nadjib Hamid pada ‘Sarasehan Misi Dakwah Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Lakarsantri‘, di Markaz Bangkingan, Surabaya, Selasa (28/3/2017). Saat itu, Nadjib Hamid—yang wafat pada 9 April 2021—adalah Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur.
Ancaman pembunuhan pada warga Muhammadiyah kini terulang lagi. Adalah AP Hasanuddin—peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)—yang melakukannya. Dia menebar ancaman itu dalam sebuah komentar di Facebook.
“Perlu saya halalkan gak nih darahnya semua Muhammadiyah? Apalagi Muhammadiyah yang disusupi Hizbut Tahrir melalui agenda kalender Islam global dari Gema Pembebasan? Banyak bacot emang!!! Sini saya bunuh kalian satu-satu. Silakan laporkan komen saya dengan ancaman pasal pembunuhan! Saya siap dipenjara. Saya capek lihat pergaduhan kalian,” begitu pernyataannya.
Kata-katanya kasar layaknya preman. Sama sekali tak mencerminkan sosok ilmuwan. Padahal dia menyandang predikat keren: peneliti BRIN, sebuah lembaha penelitian merger berbagai lembaga penelitian masa lalu seperti LIPI, Lapan, dan sebagainya.
Tapi seperti prinsip yang dipegang Kiai Dahlan: orang yang mengancam itu sebenarnya tidak punya nyali berani. Kalau mereka itu berani pasti langsung bunuh tidak pakai mengancam. Maka warga Muhammadiyah tak akan takut, meskipun dia mengatakan akan membunuh satu-satu.
Muhammadiyah Phobia
Meski tak perlu takut atas ancaman itu, warga Muhammadiyah tetap harus sadar bahwa masih ada fenomena Muhammadiyah-phobia, yakni ketakutan terhadap Muhammadiyah. Menurut Prof Syafiq A. Mughni, tidak hanya ada islamophobia (ketakutan terhadap Islam), tapi Muhammadiyah phobia juga ada. Penyebabnya bisa bermacam-macam, seperti faktor sosial dan ideologi atau ajaran yang dibawa Muhammadiyah.
Istilah Muhammadiyah phobia yang disampaikan Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah itu bisa menjadi alat membaca perilaku Prof Thomas Djamaluddin dan AP Hasanuddin. Persoalan hisab dan rukyat yang sudah menjadi khazanah Islam sejak lama itu masih saja dipersoalkan.
Ironisnya bukan didiskusikan secara ilmiah dan penuh kabajikan, tetapi justru penuh dengan provokasi dan ancaman. Itu menunjukkan bahwa Muhammadiyah phobia benar-benar masih ada. Coba cermati salah satu komentar Thomas Djamaluddin: “Sudah tidak taat keputusan pemerintah, eh masih minta difasilitasi tempat shalat ied. Pemerintah pun memberikan fasilitas.” Dalam pernyataan lain Thomas mengatakan metode hisab hakiki wujudul hilal yang digunakan Muhammadiyah sudah kuno.
Bagi Muhammadiyah, meski ada yang phobia, tetapi meminjam Fajar Junaidi di mojok.co, ‘semua akan menjadi Muhammadiyah pada akhirnya’. Pelurusan arah kiblat yang dilakukan KH Ahmad Dahlan misalnya, yang semula mendapat penentangan keras pada akhirnya, kini, diikuti oleh semua masjid. Bahkan Kementerian Agama membikin sertifikasi arah kiblat masjid.
Model pendidikan yang dirintis KH Ahmad Dahlan, yang dulu dicap kafir—dengan berbangku dan memadukan kurikulum Islam dan sains—kini diikuti oleh mayoritas lembaga pendidikan non-Muhammadiyah.
Maka yakinlah jika hisab hakiki wujudul hilal pada akhirnya akan menjadikan para penyerang dan pengikutnya itu ‘menjadi Muhammadiyah pada waktunya’. Menurut Ketua Umum PP Muhamamdiyah Haedar Nashir penggunaan metode hisab hakiki wujudul hilal, merupakan landasan yang bisa digunakan oleh generasi mendatang supaya hidup menjadi praktis.
Islam harus menjawab tantangan yang ada di masyarakat modern yang memerlukan kepastian. “Kepastian transaksi, kepastian tentang hari dan tanggal dan lain sebagainya. Yang tidak pasti dalam terawangan kita kan kematian dan ajal,” katanya. Menurut dia, dalam menentukan waktu shalat, di negara mana pun memakai jadwal yang sudah pasti.
Namun demikian, hal itu membutuhkan waktu yang tidak pendek, bahkan bisa jadi membutuhkan waktu satu abad. Oleh karena itu, saat ini ketika masih terjadi perbedaan penentuan, umat Islam tidak perlu saling menuding dan caci maki. (*)