Permintaan Maaf Thomas Djamaluddin pada Muhammadiyah Bersayap Oleh Pemimpin Redaksi PWMU.CO Mohammad Nurfatoni
PWMU.CO – Melalui akun Facebook, Selasa (25/4/2023), peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Thomas Djamaluddin meminta maaf pada seluruh warga Muhammadiyah atas pernyataannya di media sosial yang pemicu kegaduhan.
“Dengan tulus saya memohon maaf kepada pimpinan dan warga serta teman-teman Muhammadiyah. Semoga kesatuan umat bisa segera terwujud,” kata Thomas sambil mengunggah flyer berisi tulisan permintaan maaf dan klarifikasinya.
Secara lengkap ini isi flyer Thomas:
“Masih dalam suasana bermaaf-maafan, dengan tulus saya memohon maaf atas sikap kritis saya pada kriteria wujudul hilal yang saya anggap usang secara astronomi dan sikap ego-organisasi yang menghambat dialog menuju titik temu.
Tidak ada kebencian atau kedengkian saya pada organisasi Muhammadiyah yang merupakan aset bangsa yang luar biasa. Niat saya hanya mendorong perubahan untuk bersama-sama mewujudkan kesatuan umat secara nasional lebih dahulu.
Saya mengulang-ulang setiap ada perbedaan hari raya untuk mengingatkan bahwa perbedaan ini mestinya bisa diselesaikan, tidak dilestarikan.
Sekali lagi saya mohon maaf dengan tulus kepada pimpinan dan warga Muhammadiyah atas ketidaknyamanan dan kesalahpahaman yang terjadi.”
Analisis
Meski mengatakan dengan tulus—sampai diulang dua kali—tapi kalimat permintaan maaf Thomas, menurut saya, bersayap. Cenderung basa-basi. Bahkan secara tak kita sadari dia berhasil memasukkan kalimat-kalimat yang selama ini menjadi kritiknya.
Pertama, kata ‘wujudul hilal usang’ dan ‘ego organisasi’ masih disebut Thomas dalam kalimat yang berbalut permintaan tulus itu. Harusnya dia tak menyebut lagi dua hal itu dalam permintaan maafnya.
Kedua, meski mengatakan tak ada kebencian atau kedengkian pada Muhammadiyah tetapi penyertaan kalimat setelahnya menunjukkan bahwa Thomas justru mempertegas kritiknya bahwa Muhammadiyah tidak mau diajak mewujudkan kesatuan umat secara nasional.
Ketiga, kalimat ‘saya mengulang-ulang setiap ada perbedaan hari raya untuk mengingatkan bahwa perbedaan ini mestinya bisa diselesaikan, tidak dilestarikan’ semakin mempertegas kritik Thomas pada Muhammadiyah yang dia anggap tidak menyelesaikan perbedaan tapi malah melestarikan.
Kalau saya jadi Thomas, maka permintaan maaf saya cukup begini: “Dengan tulus saya memohon maaf atas sikap kritis saya pada kriteria wujudul hilal yang membuat pimpinan dan warga Muhammadiyah tidak nyaman dan membikin kegaduhan di masyarakat. Saya berjanji tak akan mengulang lagi. ”
Apakah Thomas benar-benar tulus dan tak ada kedengkian pada Muhammadiyah? Hanya Tuhan dan dia yang tahu.
Kita hanya bisa menganalisis kalimatnya dan melihat ke depan bagaimana sikap dan pernyataan Thomas. Apakah akan mengulang-ulang memutar kaset rusak atau sudah semakin bijak dalam menghadapi perbedaan? (*)