Mendaur Ulang Kebodohan dalam Pilpres oleh Mukhaer Pakkanna, Rektor ITB Ahmad Dahlan Jakarta.
PWMU.CO – Dendang politik mulai disuguhkan para elite politik yang berkumpul di partai-partai politik (parpol) besar. Masing-masing Parpol sedang mencari frekuensi dan tone yang sama terutama dalam merebut kemenangan Pemilihan Presiden-Wakil Presiden 2024.
Bagi publik, kita perlu berkaca pada Pilpres 2019, energi publik diperas dan diseret pada keterbelahan politik akibat pilihan yang berbeda.
Residunya hingga saat ini masih mengakar di benak publik, kendati para aktor-aktor elite politik pada 2019 sudah akur “bercumbu”, tertawa terbahak-bahak bersama. Para elite politisi itu tidak perduli, apakah residu itu masih bersemayam atau tidak.
Saat ini, 2023, publik dipertontonkan lagi dengan agenda setting yang sama. Keterbelahan laten mulai menyeruak. Di pelbagai grup WA, Twitter, dan medsos lainnya, simptom itu mulai berkabar ke publik. Saling sumpah serapah mulai menonjol, saling mengerdilkan dan menghina anginnya sudah terasa menguat.
Identitas suku, etnis, agama, trah, dan lainnya mulai dieksploitasi dan diseret-seret sebagai bahan bakar empuk pemantik untuk saling menjatuhkan. Padahal di grup-grup media sosial itu, tampaknya belum ada yang resmi sebagai afiliator pasangan calon presiden, karena memang belum ada yang resmi dideklarasikan.
Memang publik yang cerdas tentu harus berkaca pada masa lalu. Kita tidak ingin kembali sebagai keledai yang jatuh ke dalam lubang yang sama dua kali. Dan galibnya, keledai itu hanya dijadikan kuda tunggangan.
Apakah kita ingin kembali menjadi keledai yang bodoh alias goblok? Aktor-aktor penunggangnya saat ini belum banyak berubah. Bohir alias penyandang dana alias investor politiknya belum banyak berubah. Oligarkinya sama. Semua masih menggunakan topeng-topeng kepalsuannya.
Janganlah mendaur ulang kebodohan lagi! Sudahilah saling caci-maki. Saya teringat ucapan filsuf Spanyol George Santayana (1863-1952): “..Mereka yang tidak mengambil pelajaran dari sejarah, maka mereka ditakdirkan untuk mengulanginya,”
Tentu, saya ingat pula pesan Nabi: “Seorang mukmin tidak akan masuk ke dalam lubang yang sama dua kali.” (Shahih Muslim No. 5317).
Editor Sugeng Purwanto