Penghuni Terakhir Istana Alhambra oleh Syamsul Arifin, Guru Besar Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Malang. (Bagian II-Habis)
PWMU.CO– Saya membuka Andalucia in Focus, salah satu buku yang saya beli di samping toko suvenir di Alhambra. Saya juga membeli The Alhambra and Granada in Focud: A Complete Guide to the Alhambra and Granada.
Di bagian bab Granada, pada paragraf pertama terdapat kalimat pembuka begini: With good reason Granada is known throughout the world as jewel of Andalucia, the town which visitors to Spain have always sought out first and foremost and have taken home with them hearts.
Dengan alasan yang bagus, Granada dikenal di seluruh dunia sebagai permata Andalusia, kota yang selalu dicari oleh pengunjung Spanyol pertama dan terutama dan dibawa pulang dengan hati mereka.
Saya adalah salah satu visitors dalam gambaran kalimat ini. Karena alasan keterbatasan waktu, pilihan pertama dan utama ke Granada dengan risiko melewatkan Kordoba dan Sevilla, saya ingin melihat dari jarak yang begitu dekat Granada sebagai benteng pertahanan Islam Andalusia yang pada akhirnya jebol, runtuh, dan pada gilirannya disusul dengan berbagai peristiwa menyayat hati dan menguras air mata.
Bagi umat Islam, Granada pada 1492 menjadi air mata. Seorang tokoh Islam Indonesia yang berkunjung ke Granada sebagai rangkaian program Rihlah Peradaban sekitar tiga bulan sebelum kunjungan saya, mengungkap kepedihannya manakala melihat Granada. ”Saya tidak bisa menahan air mata. Saya berdoa untuk kejayaan kembali Islam di sana,” kata tokoh itu di hadapan ribuan pendengar.
Di Granada, dalam Alhambra, air mata saya tidak jatuh sedikit pun. Pikiran mengalahkan rasa. Saya hendak menemukan pembuktian terhadap jawaban sementara saya terhadap kebertahanan Islam di beberapa tempat, dan keadaan sebaliknya di beberapa tempat lainnya seperti Granada.
Saya mempersoalkan penaklukan (conquests). Usia Islam di Andalusia terhitung lama. 781 tahun, hampir 8 abad. Bukan waktu yang pendek. Dalam rentang selama itu, ada jejak Islam Granada yang memperpanjang nafas Islam di Andalusia.
Pada kasus Granada secara khusus dan Andalusia pada umumnya, saya bertanya begini, ”Apakah karena penyeberan Islam dilakukan melalui penaklukan, conquests, atau futuhat, pada gilirannya menimbulkan hal sebaliknya dari taklukan?”
Isabela de Castilla
Saya mengunjungi dua toko buku yang berdekatan dengan Catedral Apartment, tempat saya menginap. Di kedua toko buku ini saya menjumpai buku yang ditulis Juan Eslava Gala. Judulnya La Reconquista Contada Para Escepticos.
Bersebelahan dengan buku ini dipajang juga buku Isabel de Castilla: Reina, Munjer Y Madre.
Sayangnya berbahasa Spanyol. Versi bahasa Inggris dua buku ini tidak ada. Dengan membaca rangkaian judul yang terdapat kata La Reconquista saya teringat pada beberapa literatur sejarah tentang Islam di Andalusia.
La Reconquista adalah episode krusial bagi Islam di Andalusia. La Reconquista adalah perebutan atau penaklukan kembali dari Islam ke Kristen. Salah satu tokoh penting La Reconquista adalah Isabella de Castilla.
Tokoh ini terabadikan dalam bentuk patung yang dipajang menjulang tinggi di tengah perempatan jalan di Granada yang juga tidak jauh dari apartemen saya. Ketika saya menanyakan ihwal patung itu, Mbak Faiza menyebut nama persis judul di samping buku La Reconquista Contada Para Escepticos disertai narasi ketokohannya.
Kembalinya kuasa Kristen terhadap Andalusia menjadi musibah besar bagi umat Islam. Satu persatu sentra Islam di Andalusia ditaklukkan kembali. Granada, sentra Islam terakhir, takluk juga.
Setelah lewat dua dekade ditandai pertempuran Covadonga, puncak keberhasilan La Reconquista dengan jatuhnya Granada pada 1492 setelah pasukan Kristen menyerang berkali-kali.
Jika saja pasukan Islam solid, tidak terjatuh pada konflik internal, usia peradaban Islam di Andalusia bisa lebih panjang. Konflik internal di kalangan Islam di satu pihak, dan persekutuan kalangan Kristen yang kian kuat di pihak lain, disebut sebagai salah satu faktor yang mempermudah ditaklukan Islam.
Berikutnya, inilah salah satu drama yang memilukan. Penguasa Granada dan penghuni terakhir Alhambra, Abu Abdillah Muhammad XII, atau dikenal juga Boabdil, terusir dari istana megahnya.
Dia menuju sebuah anak bukit yang cukup tinggi. Dari bukit itu, Boabdil menatap Istana Alhambra sembari menangis. Drama kemudian berlanjut. Umat Islam harus memilih menjadi Kristen, dibunuh, atau hengkang dari bumi Andalusia yang telah dihuni turun temurun selama delapan abad.
Keluar dari Istana Alhambra setelah mengelilingi taman indah di Generalife, saya merenung dan bertanya tentang masa depan Islam di Indonesia sebagai kiblat Islam Hadhari, menggantikan posisi Islam Andalusia.
Editor Sugeng Purwanto