Pengalaman Novita Hardini Mendampingi Suaminya Bupati Trenggalek Mengatasi Kemiskinan Ekstrem, Liputan Sayyidah Nuriyah
PWMU.CO – Ketua Tim Penggerak PKK Kabupaten Trenggalek Novita Hardini membahas kemandirian ekonomi perempuan bertema ‘Menjadi Perempuan Berestetika dalam Meraih Cita-Cita tanpa Mengenal Menyerah’.
Hal ini Novi, sapaan akrabnya, sampaikan di sesi seminar Musyawarah Wilayah (Musywil) Ke-12 Nasyiatul Aisyiyah Jawa Timur, Ahad (6/5/2023).
Novi awalnya mengungkap alasan mengangkat tema itu.”Karena saya adalah satu perwujudan ketidakmungkinan yang saya tantang sendiri dan alhamdulillah saya dapat berdiri di sini menjadi perempuan yang memang saya cita-citakan sejak saya masih remaja,” ujarnya.
Bagi Novi, menjadi pendamping kepala daerah tidak sekadar gagah-gagahan. “Tidak hanya pemanis, tapi ternyata peran perempuan sangat sentral. Kalau ada kalimat di balik laki-laki hebat pasti ada sosok perempuan hebat itu menurut saya salah! Tapi di samping laki-laki hebat akan selalu ada perempuan pendukungnya,” ujarnya.
Wanita yang ditunjuk menjadi Mitra Strategis Kementerian Koperasi dan UMKM RI yang bertanggung jawab membina UMKM di Jawa Timur dan Nusa Tenggara Timur (NTT) ini lantas membahas upayanya dan suami mengatasi kemiskinan ekstrem. Dia baru berusia 24 tahun saat mendampingi suaminya yang mengemban amanah jadi Bupati Trenggalek di usia 25 tahun.
Di usia muda itu mereka mengemban amanah yang tidak mudah. Kabupaten Trenggalek tercatat masuk sepuluh besar kemiskinan ekstrem tertinggi di Jawa Timur pada 2014-2015. Wanita kelahiran Surabaya tahun 1990 ini mengungkap, hampir separuh perempuan di Kabupaten Trenggalek mengalami kemiskinan ekstrem.
Indikator kemiskinan ekstrem apabila penduduk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tidak lebih dari USD 1,9 atau kalau dirupiahkan pendapat satu hari Rp 11 ribu.
Cara Berikan Bantuan
“Alhamdulillah suami saya mendirikan program Gerakan Tengok Bawah ditambah sistem kelola Baznas,” ungkap istri Bupati Trenggalek Mochamad Nur Arifin ini.
Yang tadinya Baznas selama 1 bulan hanya mampu mengumpulkan Rp 900 ribu, semenjak dikelola suaminya, perolehan Baznas Kabupaten Trenggalek itu tak pernah kurang dari Rp 500 juta per bulan.
“Itu yang digunakan untuk menambah APBD, untuk membangun MCK, menambah bantuan sosial kepada masyarakat,” imbuh pemeran kakaka kandung perempuan Hamka dalam film Buya Hamka ini.
Dari sini Novi menyimpulkan, “Pemikiran tidak bisa berkembang karena APBD kecil itu saat ini agak sedikit tergeser karena kita mencari kepala daerah yang bukan hanya terkenal saja tapi juga harus kreatif dan mampu membuktikan segala ketidakmungkinan.”
Tepuk tangan meriah lagi-lagi terdengar di Hall Sang Pencerah lantai 8 Gedung I Universitas Muhammadiyah Gresik (UMG), tempat acara berlangsung siang itu.
Berkaca dari pengalamannya, Novi menyimpulkan, bantuan yang paling dibutuhkan masyarakat tidak berupa beras, uang, atau apapun jenis bantuan sosial yang selama ini kita sering ketahui dan lihat. “Saya selalu yakin, bantuan yang paling bermanfaat dan dibutuhkan masyarakat itu adalah ilmu pengetahuan!” tegasnya.
Dalam satu diskusinya bersama sang suami di meja makan, Novi menekankan, “Jangan pernah memberi bantuan melemahkan. Kalau engkau mau membantu, kasih tahu caranya mancing ikan. Jangan kasih ikannya. Berikan networking, akses, modal yang tepat. Maka kemandirian masyarakat itu kedaulatan rakyat sesungguhnya!”
Dirikan Sekolah Perempuan
Memahami proses ini, Novi memberanikan diri mendirikan sekolah perempuan. Bukan berarti perempuan lemah dan tertinggal, melainkan karena perempuan punya potensi sangat besar yang tidak disadari dirinya sendiri. “Saya ingin mengoptimalkan kesadaran itu bahwa perempuan mampu menerima peran lebih,” ucapnya.
Karena sejatinya dari zaman Nabi Muhammad SAW, istrinya Siti Khodijah adalah perempuan aktif di bidang sosial, pengusaha, sedekahnya banyak. “Tidak ada gambaran perempuan tertinggal di belakang,” imbuhnya.
Menurutnya kini bukan masalah agama dan budaya, tapi perempuan sekarang sedang terkungkung pada dengan siapa kita bergaul. “Sekolah perempuan yang saya buat lebih menekankan pada kurikulum kepemimpinan pada perempuan. Karena di mata saya, mustahil kemandirian ekonomi perempuan dapat dilahirkan kalau kita tidak memahami ilmu kepemimpinan pada perempuan,” ujarnya.
Novi menegaskan perempuan pelopor peradaban. Mengingat setengah penduduk Indonesia adalah perempuan, Novi mengimbau kepada bapak-bapak agar tidak sombong. “Laki-laki adalah kepala, perempuan adalah leher. Kepala tidak bisa bergerak kalau lehernya tidak bergerak,” ungkapnya.
Sebagai pelopor peradaban, lanjutnya, perempuan tak boleh separuh-separuh atau biasa saja. Caranya agar menjadi luar biasa, kata Novi, perempuan dituntut terus belajar agar meningkatkan kualitas diri sehingga bisa mempengaruhi laki-laki dengan argumentasi yang logis dan ilmiah.
Maka dia mendorong agar perempuan banyak membaca bacaan yang membangun pikiran dan hati. “Mulai sekarang kita harus memilih dan memilah asupan apa yang harus kita baca, ikuti, dan pelajari setiap hari!” tuturnya.
Menurut Novi, dua senjata ampuh perempuan yang perlu diasah yaitu kalbu (perasaan empati yang dalam dan tajam) dan argumentasi kuat.
Perempuan Jadi Pemimpin
Kemudian Novi menjelaskan, perubahan sosial dari adanya kemandirian ekonomi perempuan melahirkan kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. “Namun kemandirian ekonomi tidak dapat diwujudkan tanpa mempelajari ilmu kepemimpinan!” imbuhnya.
Kepemimpinan bukan berarti ketika menjabat DPRD, CEO, bupati, ketua Aisyiyah saja sebab, kata Novi, kepemimpinan tidak diukur secara struktural. Siapapun punya gen pemimpin kalau punya kemampuan memengaruhi orang lain agar dapat secara sadar dan sukarela meraih tujuan yang diharapkan.
“Kepemimpinan perempuan tidak terbatas dalam kehidupan berrumah tangga saja. Tidak hanya sebagai upaya mengakui hak setaranya secara sah tapi juga simbol bekerja sama meraih harkat dan martabat perempuan, ada gelora kesalingan, untuk saling melindungi dan mendorong keamanan sesama perempuan,” imbuhnya.
Artinya, kalau mau jadi pemimpin, jangan karena mau diakui, dihormati. Justru pemimpin harus berkorban lebih banyak untuk menjadi teladan.
“Untuk apa kita punya keinginan menjadi pemimpin?” Novi bertanya retorik, lalu menjawab, “Untuk dapat melindungi sesama perempuan dari potensi kekerasan dan kejahatan yang ada di luar sana, yang merugikan perempuan!” (*)
Editor Mohammad Nurfatoni