PWMU.CO – Setiap ‘produk’ membutuhkan brand atau nama dagang agar mampu meningkatkan nilai jualnya. Selain itu pengemasan produk yang baik juga akan menunjukkan citra diri, kredibilitas, karakter, kesan persepsi dan anggapan positif dibenak konsumen. Untuk tujuan itu, Pimpinan Wilayah Aisyiyah (PWA) Jawa Timur mengadakan Workshop Branding dan Creative Writing Course di Hotel Fortuna Surabaya pada tanggal 6-7 Mei 2017.
”Workshop kali ini bertujuan meningkatkan kualitas Aisyiyah sebagai organisasi, baik secara luas dalam sekup nasional maupun dalam lingkup daerah. Sehingga Aisyiyah tidak hanya dikenal di kalangan tertentu saja dengan produk tertentu pula, namun aisyiyah dikenal luas di semua kalangan dan mampu membuat orang lain mencintai Aisyiyah dan dengan sukarela ikut membesarkan Aisyiyah,” ujar Ketua PWA Jatim Siti Dalilah Candrawati dalam sambutannya.
(Baca: Romantisme Haedar-Noordjannah: Masakan Cah Kangkung Mas Haedar Paling Disukai Anak-Anak)
Workshop Branding dan Creative Writing Course ini menghadirkan beberapa narasumber yang berkompeten. Salah satunya adalah Suko Widodo. Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Airlangga berkesempatan memberikan materi tentang trik dan tips dalam membranding.
Suko menyampaikan sebelum melakukan branding, hal utama yang harus dilakukan adalah mengenali secara menyeluruh produk yang akan dibuat atau know yor self, dan pasar yang akan disasar atau know your public. Dalam melakukan know your self dan know your public, Suko menjalaskan kita harus melakukan sebuah riset. Sehingga brand yang diciptakan tidak akan menjadi produk gagal. Di samping itu, dibutuhkan loyalitas dan kemauan yang kuat serta pemikiran yang realistis.
”Menggunakan momen atau celah yang tepat, dan dilakukan secara kontinue dengan sasaran yang tepat akan menjadikan produk kita diterima secara terbuka oleh masyarakat,” paparnya.
(Baca juga: Jurus Ampuh Aisyiyah untuk Kuatkan Ekonomi Perempuan dan Bekal Sehat Gantikan Jajanan Instan di TK ABA 2 Kota Malang)
Suko mengungkapkan cara untuk melakukan riset tentu saja menggunakan media yang umum dipergunakan dan akrab di masyarakat. Misalnya memanfaatkan hand phone canggih dengan berbagai macam fitur sosial media berupa blog, flog, Whatsapp, BBM, line, Facebok dan sebagainya. Namun, juga tidak boleh meninggalkan cara-cara konvensional.
”Cara konvensional yang kita pilih juga harus memenuhi kaidah dan adab. Sehingga menimbulkan rasa nyaman,” ungkapnya.
Rasa nyaman yang diberikan itu akan menimbulkan simpati dan empati. Bertamu dan mengobrol dengan seseorang dengan topik pembicaraan seputar lingkungan hidup misalnya. ”Lawan bicara kita ajak untuk mengenal brand kita dengan lebih dekat lagi,” paparnya.
Suko menambahkan, dalam membuat brand seorang produsen harus memiliki kemampuan berkomunikasi, baik berupa tulisan, public speaking, dan riset. ”Element of personal dari seorang komunikator adalah body language sebesar 55 persen, tone dan pich of voice sebesar 38 persen dan word we use sebesar 7 persen,” terangnya.
(Baca ini juga: Di Dukun, Aisyiyah Berdayakan Wanita dengan Pelatihan Daur Ulang Sampah)
Sementara untuk hukum komunikasi yang harus dipatuhi oleh seorang produsen adalah respet, emphaty Audible, clarity dan humble. Karena revolusi komunikasi adalah tulisan, print media, telekomunikasi dan interaktif atau cyber. ”Pemilihan bahasa menjadi penentu, semakin luwes gaya bahasa dalam berkomunikasi kita gunakan, semakin mudah kita meraup pasar,” tegasnya.
Di akhir materi, Suko menekankan betapa pentingnya kebudayaan yang berasal dari pembiasaan. Karena itu adalah salah satu inspirasi dari keberhasilan produsen dalam menciptakan brand. ”Suatu negara itu disebut maju apabila etika, etos kerja, rasa percaya diri dan kemampuan berkomunikasinya bagus,” tandasnya. (rita/aan)