PWMU.CO – Logo Musycab PCM Lakarsantri telah dipublikasi oleh panitia untuk menyemarakkan Musyawarah Cabang ini.
Kreator desain logo Musycab PCM Lakarsantri Hidayat ST menjelaskan, logo itu berupa angka 3 dibentuk dari gambar simbolik tiga anak panah warna biru, kuning, hijau yang melesat ke atas.
Angka 3, dia menerangkan, menunjukkan Musycab ke-3 Muhammadiyah Lakarsantri yang akan digelar di Gedung MI Muhammadiyah 28 pada Ahad, 9 Juli 2023/21 Dzulhijjah 1444H.
”Anak panah warna biru bermakna luas, cinta, dan gembira. Warna kuning artinya harapan, inspirasi. Warna hijau bermakna berkemajuan, pertumbuhan, kesuburan,” kata Hidayat dalam penjelasannya, Kamis (8/6/2023).
Di ujung anak panah ada tulisan Arab: Muhammadiyah. Dia menerangkan, tiga anak panah itu menyimbolkan kader-kader Muhammadiyah Lakarsantri yang mempunyai keluasan dan kedalaman ilmu, menginspirasi, membawa semangat berkemajuan bergerak cepat melesat mencapai tujuan Muhammadiyah.
”Tujuan Muhammadiyah adalah menjunjung tinggi agama Islam sehingga terwujud masyarakat Islam yang sebenar-benarnya,” jelas Hidayat yang juga Kepala SMP Muhammadiyah 17 Surabaya.
Gerakan kader-kader PCM Lakarsantri, sambung dia, disinari oleh pencerahan yang disimbolkan dengan gambar matahari warna jingga dengan sinarnya yang memancar ke penjuru alam semesta.
Sawunggaling
Dia menambahkan, angka tiga dengan bayangan warna abu-abu juga membentuk kepak sayap ayam jantan yang siap menghadapi tantangan dan lawan.
”Simbol ayam jantan itu mewakili tokoh Sawunggaling yang menjadi karakter khas orang-orang Lakarsantri,” kata Hidayat. ”Sawung itu artinya ayam jantan, sedang galing adalah nama ayam itu.”
Sawunggaling itu cerita rakyat berdasarkan kisah nyata di sekitar tahun 1718. Makamnya ada di kampung Lidah Wetan III. Nama kecilnya Jaka Berek. Dilahirkan oleh Rara Blengoh yang kemudian terkenal dengan nama Dewi Sangkrah. Dia putri Lurah Lidah bernama Wangsadrana.
Ketika Adipati Surabaya Jayengrana berkunjung ke Desa Lidah tertarik dengan kecantikan Dewi Sangkrah lalu menikahinya. Jaka Berek lahir dibesarkan oleh ibu dan kakeknya di kampung Lidah. Setelah dewasa dia datang ke istana menuntut pengakuan hak sebagai anak Adipati Jayengrana dengan melewati permainan intrik istana.
Akhirnya Sawunggaling bisa menjadi punggawa kraton Surabaya dengan nama Tumenggung Sosronegoro. Dia menentang intervensi politik VOC yang dilakukan van Hoogendorf terhadap Kadipaten Surabaya. Sawunggaling mendukung perlawanan Adipati Madura Cakraningrat dan Untung Surapati dari Pasuruan untuk perang dengan kumpeni.
”Spirit Sawungggaling yang berjuang dari bawah menuju kesuksesan itu kami ambil untuk mewarnai semangat Musycab ke-3 Muhammadiyah Lakarsantri,” tuturnya.
Penulis Ichsan Mahyudin Editor Sugeng Purwanto