Kisah tentang Sekolah yang Jauh Bisa Membuktikan Bumi Itu Bulat. Liputan Alfain Jalaluddin Ramadlan Kontributor PWMU.CO Lamongan
PWMU.CO – Ketua Lembaga Pengembangan Pesantren (LPP) Pimpin Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur, Pradana Boy ZTF SAg MA PhD memberikan tausiah dalam Akhirussanah Panti Asuhan dan Pondok Pesantren Al Mizan Muhammadiyah Lamongan, Ahad (25/6/2023).
Dalam tausiahnya, Boy menanggapi sambutan dari wali santri yang menyampaikan tentang perlunya sekolah atau mondok yang jauh, walaupun di daerahnya sudah ada sekolah.
“Bahwa sekolah jauh itu bukan semata-mata tentang gengsi. Tetapi dengan yang jauh itu, terdapat hal yang banyak sekali manfaatnya,” tutur Boy.
Lantas dia mengaitkan sekolah jauh dengan perintah Allah SWT dalam al-Qur’an surat al-Jumu’ah ayat 10
فَإِذَا قُضِيَتِ الصَّلَاةُ فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ وَابْتَغُوا مِن فَضْلِ اللَّهِ وَاذْكُرُوا اللَّهَ كَثِيرًا لَّعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
Apabila telah ditunaikan shalat, maka bertebaranlah kamu di muka bumi; dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya kamu beruntung.
“Bertebaran di muka bumi, selama ini yang saya dengar dari ungkapan para mubaligh artinya carilah rizki, atau bekerjalah setelah sholat,” ujar Asisten Staf Khusus Presiden Republik Indonesia pada Juni 2018 – Oktober 2019 ini.
Namun menurutnya, dia ingin memaknai lebih luas makna “فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ” bahwa kata beterbarlah di muka bumi, memiliki makna yaitu pergilah sejauh mungkin yang kamu bisa.
“Karena orang yang perginya jauh, dengan orang yang tidak pernah pergi, tentu beda pengalamannya dan beda cara memaknai kehidupan,” paparnya.
Sekolah yang Jauh menjadi Bekal
Kepala Pusat Studi Islam dan Filsafat (PSIF) UMM 2015-2018 itu mengatakan, sepanjang mempunyai kemampuan untuk sekolah tidak di tempat sendiri, maka sekolah di tempat yang jauh itu memberikan bekal kepada anak-anak kita.
“Pertama, menunjukkan kepada anak-anak bahwa dunia ini luas. Kalau dia mempunyai wawasan tentang dunia ini luas, maka itu akan menjadikan dia memiliki sikap-sikap turunan yang lain. Kalau sudah tau dunia itu luas, maka tidak akan mudah meremehkan orang lain,” tuturnya.
Kedua, untuk mengetahui ukuran diri kita sampai tahap apa. Lantas Duta Perdamaian Internasional King Abdullah bin Abdulaziz Centre for Interreligious and Intercultural Dialogue (KAICIID), Wina, Austria, 2016-2017 ini menceritakan, bahwa ia pernah menempuh kuliah S2 di Australia.
Namun sebelumnya, ia belajar bahasa Inggris di Bali selama enam bulan. Begitu sudah masuk kuliah di Australia selama tiga bulan, dia mengaku seperti orang bodoh.
“Mendengarkan orang Australia berbicara itu saya seperti orang yang tidak mengerti apa-apa. Ketika dosen menerangkan, saya tidak paham-paham, karena belum mahir betul bahasa Inggris,” akunya.
Oleh sebab itu, menurutnya, jika kita sudah memiliki pergaulan yang luas, maka kita akan tahu ukuran diri kita.
“Ketiga, kita tidak mudah menyalahkan orang lain. Karena sekarang ini banyak fenomena tentang menyalahkan orang lain,” kata dia.
Menurutnya, masjid itu kan tempatnya ibadah. Tapi di masjid sering kita menemukan orang saling menyalahkan. “Saya yakin, kalau ada dai yang gampang menyalahkan orang lain, maka itu belajarnya kurang jauh dan bacanya kurang banyak,” tegasnya.
Belajar Memahami Perbedaan
Boy pun melanjutkan ceritanya. Setelah pulang dari Australia, dia bertemu dengan Prof Muhadjir Effendy yang saat itu masih menjadi Rektor UMM.
“Beliau tanya kepada saya. Kiro-kiro olehmu kuliah opo? Maka saya jawab, saya menyadari tentang perbedaan, betapa umat Islam yang kita anggap satu ini, ternyata masing-masing mempunyai perbedaan pikiran dan perbedaan memahami agama,” kata Boy.
“Kok bisa gitu bagaimana?” tanya Muhadjir kembali.
Maka Boy menceritakan, bahwa di tempat ia kuliah itu hanya ada satu masjid, karena mMuslim adalah minoritas. Maka kalau sudah hari Jumat, dia shalat di masjid itu.
“Terus bagaimana caranya kita mengetahui orang itu dari negara mana? Maka dilihat dari cara shalatnya. Kalau sudah tahiyat akhir, duduknya nglempo, maka itu orang Asia Tenggara. Tapi kalau tetap duduknya tegak, maka itu orang India, Arab, Pakistan, Turki karena meraka menganut madzhab Hanafi,” tutur pria asal Brondong Lamongan itu.
Itulah jawaban Boy ketika ditanya oleh Muhadjir Effendy tentang ilmu yang didapat ketika di Australia.
“Shalat itu kan sudah pasti, tapi dalam praktiknya banyak variasi atau perbedaan. Kalau orang tidak terbiasa melihat seperti itu, maka akan sering menyalahkan orang,” imbuhnya.
Atas dasar itulah, Boy sering mengatakan kepada anak-anak muda, kalau ingin sekolah, maka harus mempunyai cita-cita sekolah yang jauh.
Perjalanan ke Amerika dan Refleksi
Selanjutnya dari penggalan ayat فَانتَشِرُوا فِي الْأَرْضِ menurutnya hal itu untuk menunjukkan rasa syukur. “Saya tahun 2017 berangkat ke Amerika, setelah saya kuliah S3 di Singapura, kemudian saya sambung lagi kuliah Pos Doctoral di Amerika,” katanya.
Pada tahun itu, saat ia berangkat, kebetulan menjelang hari raya, maka banyak orang yang sudah pulang liburan. Saat melakukan perjalanan ke Amerika itu tiba-tiba Boy berpikir dan merefleksikan benarkah jika bumi ini bulat.
Sebelum berangkat ke Amerika, dia mengaku membaca buku yang berjudul Tafsir Ilmu yang dikeluarkan oleh Kementrian Agama. Dan di situ banyak ilmuan Muslim menyebutkan bumi itu bulat.
“Tapi bagaimana cara memaknai bumi itu bulat? Maka perjalanan ke Amerika itu, menambah keyakinan saya bahwa bumi itu memang bulat. Karena ketika saya berangkat dari Brondong Lamongan ke Juanda, kemudian dari Juanda naik pesawat ke Hongkong selama lima jam. Setelah itu lanjut ke Los Angeles. Itu selama 14 jam,” katanya.
Ketika dari Hongkong menuju ke Los Angeles itu berangkat ke arah timur, ternyata sampai ke Los Angeles. Padahal Los Angeles di daerah barat.
“Jadi saya pikir, keyakinan sebagian besar ulama bahwa bumi itu bulat, buktinya adalah dengan perjalanan saya tadi,” ujarnya.
Maka dari itu, Boy setuju dengan pernyataan salah satu wali santri, kalau sekolah itu harus jauh. Supaya anak terbiasa dengan perbedaan, dan mampu membaca alam semesta.
“Dan itu yang dapat menjadi bekal untuk menjadi ulama yang intelek atau intelek yang ulama,” pungkasnya. (*)
Co-Editor Nely Izzatul Editor Mohammad Nurfatoni