PWMU.CO – Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiah (PWNA) Jawa Timur mengeluarkan 9 pernyatan sikap sebagai dukungan atas penghapusan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Kepada PWMU.CO, Ahad (21/5), Ketua Umum PWNA Jatim Aini Sukriah MPdi menyampaikan, pernyataan sikap itu dikeluarkan berbarengan dengan momentum Milad ke-88 Nasyiatul Aisyiah. Seluruh PDNA di Jatim juga melakukan aksi serentak Ahad kemarin. Berikut isi lengkap pernyataan dan foto-foto aksi. Redaksi.
(Baca: Nasyiah Kota Batu Aksi Selamatkan Perempuan dan Anak dari Kekerasan)
Kekerasan akan menjadi sebuah sejarah yang akan tidak ada habisnya jika masih terjadi di dunia. Nawacita yang digagas oleh Presiden Jokowi menyebutkan di antaranya ingin menghadirkan Negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan rasa aman kepada seluruh warga negara. Ini sejalan dengan misi Gubernur Jawa Timur di mana dalam misinya yang kelima yakni meningkatkan kualitas sosial dan harmoni sosial, di dalamnya bertujuan meningkatkan kehidupan masyarakat yang aman dan tertib, serta meningkatkannya pemahaman masyarakat terhadap penghormatan hak asasi manusia.
Dengan demikian jika Nawacita dan Misi Gubernur ini dijalankan maka tidak akan lagi timbul kerisauan di dalam masyarakat, terutama kelompok rentan yakni perempuan dan anak-anak, yang sering mengalami tindak kekerasan baik itu di wilayah domestik maupun di wilayah publik. Penghormatan kepada seluruh manusia yaitu seluruh warga masyarakat tanpa terkecuali harus segera di sadarkan dan di bangkitkan, sebagai nilai kemanusiaan yang harus di jaga dan dipertahankan.
Selain itu, dalam agenda pembangunan berkelanjutan Suistanable Developments Goal’s (SDG’S) ada 17 tujuan di antaranya pengentasan segala bentuk kemiskinan, kehidupan sehat dan sejahtera, pendidikan berkualitas, dan kesetaraan gender sangat berkaitan sekali dengan upaya penghapusan kekerasan yang terjadi terhadap perempuan dan anak.
Masih akan terjadi kemiskinan struktural kepada perempuan, jika di dunia ini perempuan masih mendapatkan kesempatan pendidikan yang berbeda dengan laki-laki. Pendidikan merupakan faktor menjamin kehidupan yang lebih layak untuk masa depan. Negara dalam kasus ini seharusnya hadir memberikan program wajib belajar 12 tahun sehingga tidak ada lagi anak-anak yang putus sekolah atau dikeluarkan karena alasan menikah.
Maraknya kasus kekerasan anak dan perempuan terlihat jelas di Jawa Timur, seperti kasus predator anak di Kediri yang dilakukan oleh Sony Sandra (63) kepada 58 anak-anak di bawah umur, kasus bullying di Tulungagung yang di lakukan oleh sesama siswa yang berusia 14 tahun, kekerasan yang dilakukan oleh guru atau petugas sekolah dengan alasan pendisiplinan, trafficking, pernikahan dini, pelecehan dan kekerasan seksual.
Sedangkan kasus kekerasan terhadap perempuan juga terjadi di Pamekasan, kasus kekerasan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh suami yakni penganiayaan terhadap istri akibat suka minum dan konsumsi obat-obat terlarang. Karena kerentanan posisi perempuan inilah sehingga perempuan banyak menjadi korban kekerasan.
Tidak menutup kemungkinan selain data di atas kemudian muncul ke permukaan selama ini, masih banyak kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak tidak terpublish dan terselesaikan dengan bijak dan adil.
Belum lagi ketika mereka mendapatkan kasus pelecehan atau pemerkosaan, di mana stigma masyarakat menjadi hukuman sosial yang sangat keji bagi korban, bukan hanya kekerasan fisik yang dialami akan tetapi kekerasan mental yang lebih sulit di obati, dan mengancam secara psikis dan psikologis serta keterasingan dari lingkungan di mana perempuan dan anak tersebut berada.
Maka menurut Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah Jawa Timur membiarkan kekerasan terhadap perempuan dan anak adalah suatu kejahatan yang tergolong kejahatan besar. Maka Negara melalui pemerintah dalam kasus ini harus tegas dalam menangani kasus penghapusan kekerasan terkhusus yang terjadi di Jawa Timur, maupun yang ada diseluruh wilayah Indonesia.
Kekerasan terhadap perempuan dalam Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 didefinisikan sebagai setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.
Mirip dengan itu, pengertian kekerasan terhadap anak dalam Undang-undang Nomor 35 Tahun 2014 adalah setiap perbuatan terhadap anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
Jelas di dalam undang-undang disebutkan bahwa setiap kekerasan akan menimbulkan kesengsaraan, dengan menimbulkan kerugian bagi orang lain tidak mencerminkan sama sekali sikap kemanusiaan. Mengutip penggalan hadits “Tidak dapat memuliakan derajat kaum wanita kecuali orang yang mulia, dan tidak dapat merendahkan derajat mereka kecuali orang jahat budi pekertinya.”
Selama ini penyelesaian kasus kekerasan hanya di permukaan saja, pelaku hanya dihukum sesuai dengan tingkat kesalahan, namun tidak di selesaikan secara menyeluruh. sebenarnya peran pihak keluarga sangat penting untuk mengawasi tindak kekerasan yang terjadi di lingkup keluarga, dan akar persoalan akibat timbulnya kekerasan harus segera dicabut agar kekerasan tidak terulang lagi.
Sedangkan untuk pelaku kekerasan bukan lagi dianggap melakukan kejahatan biasa akan tetapi extraordinary crime (kejahatan luar biasa) sehingga penanganannya lebih intensif, ekstensif, dan terintregasi.
Dalam Catatan Tahunan (CATAHU) Komnas Perempuan Tahun 2016, Jawa Timur memiliki nomor urut 2 (dua) setelah DKI Jakarta atas kasus kekerasan terhadap perempuan. Ini jelas memukul kita semua karena masih banyak kekerasan perempuan di Jawa Timur yang belum tuntas.
Ada dua faktor yang menyebabkan tingginya angka kekerasan perempuan di Jawa Timur. Pertama, karena kesadaran akan pentingnya melaporkan sebagai tempat perlindungan dan penghukuman bagi pelaku. Kedua, karena memang banyaknya kasus kekerasan perempuan di Jawa Timur.
Dijabarkan pula bentuk kekerasan yang dialami oleh perempuan. Pertama, ranah domestik. Kekerasan ini dilakukan oleh keluarga sendiri, seperti kekerasan dalam rumah tangga.
Kedua, ranah publik. Kekerasan ini berupa pelecehan seksual, pemerkosaan, diskriminasi, kekerasan dalam pekerjaan, trafficking dan lain-lain.
Ketiga, kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah. Kekerasan ini dilakukan oleh aparatur negara contoh pemalsuan dokumen. Bentuk kekerasan yang lain adalah kebijakan pemerintah atau regulasi yang diskriminatif terhadap perempuan.
Dari CATAHU, kekerasan yang mendominasi dialami oleh perempuan adalah kasus kekerasan dalam rumah tangga. Maka negara dalam hal ini harus hadir untuk menghapuskan kekerasan melalui program pengembangan sumber daya manusia untuk lebih memahami hak asasi yang dimiliki oleh setiap manusia agar dihormati dan dihargai sehingga tidak lagi terjadi kekerasan.
Selain itu, penindakan tegas terhadap pelaku kejahatan yang marak terjadi, menjadi unsur terpenting dalam memberi hukuman yang sangat keras agar tidak lagi pelaku yang berani melakukan kekerasan. Peran stakeholder dan masyarakat harus bersatu untuk mengamankan orang di sekelilingnya agar mereka aman dimanapun mereka berada.
Terhadap kebijakan yang diskriminatif terhadap perempuan, terkait kebebasan berekspresi dan berkumpul maka pemerintah nasional dan daerah berupaya untuk menjalankan amanat Undang-undang nomor 23 tahun 2014 tentang koreksi nasional terhadap kebijakan diskriminatif yang masih berlaku.
Wakil Gubernur Jatim Syaifullah Yusuf menyampaikan sampai pada bulan Desember 2016 ada 231 kasus kekerasan yang dialami oleh anak, berupa pemerkosaan, incest, sodomi, penjualan anak untuk pelacuran, pornografi, pelecehan seksual, dan bentuk kekerasan lainnya.
Pelaporan 231 kasus merupakan kasus yang masuk dalam penanganan, Nasyiatul Aisyiyah yakin bahwa banyak kasus kekerasan anak yang terjadi namun tidak tampak di permukaan, inilah yang menyebabkan bibit-bibit kekerasan tidak akan pernah ada habisnya.
Kekerasan terhadap anak menimbulkan akibat trauma yang mendalam, karena dalam masa pertumbuhannya mereka harusnya merasakan keindahan masa kanak-kanak. Seperti yang pernah terjadi di Gresik seorang anak yang di perkosa oleh 4 orang secara bergilir dan hanya diselesaikan dengan hukum adat. Korban sampai saat ini mengalami gangguan mental atas kekerasan tersebut.
Bagaimana persoalan ini selesai begitu saja jika pelaku masih diberikan kemudahan dalam hukuman, terlebih pelaku terhadap anak. Masa depan anak masih panjang, namun harus terpuruk oleh keadaan yang tidak diinginkan.
Wacana Rancangan Undang-Undang Kekerasan Seksual harus segera dibahas untuk lebih melindungi kelompok rentan perempuan dan anak, agar tidak lagi menjadi korban kekejaman perilaku yang tidak manusiawi.
Di sisi lain bentuk kekerasan seksual yang dialami oleh anak yang masih sering terjadi dan diaminkan oleh undang-undang adalah pernikahan dibawah 18 tahun. Dimana dalam undang-undang perlindungan anak, anak hingga 18 tahun harus mendapatkan haknya untuk dilindungi agar mendapatkan hak-haknya seperti hak untuk mendapatkan pendidikan, bermain, kasih sayang, makanan yang sehat, berorganisasi, dan lain sebagainya.
Maka dalam hal ini harus pemerintah dan keluarga utamanya, melindungi anak dari perampasan hak-haknya untuk menjamin kehidupannya yang lebih baik di masa depan.
Dari gambaran di atas, maka kami selaku organisasi yang genap berumur 88 tahun dalam menjalankan amanah pengabdian terhadap umat (rakyat), serta keberpihakan secara kongkrit terhadap perempuan dan anak. Maka Pimpinan Wilayah Nasyiatul Aisyiyah Jawa Timur menyatakan sikap dengan tegas, sebagai berikut:
1. Mengutuk segala bentuk tindakan kekerasan terhadap perempuan dan anak, terutama pelaku kekerasan.
2. Hentikan kekerasan dan perilaku kejam terhadap perempuan dan anak.
3. Bersatu untuk meminta dan menuntut pihak pemerintah agar segera mengesahkan Undang-Undang kekerasan seksual dan meningkatkan usia perkawinan anak perempuan menjadi 18 tahun.
4. Meminta pemerintah untuk memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan hingga korban mampu hidup mandiri di lingkungannya.
5. Menolak segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan dan anak di seluruh Jawa Timur. Terutama kebijakan daerah (Perda) yang diskriminatif terhadap perempuan.
6. Hentikan kekerasan terhadap perempuan dan anak yang dilakukan oleh aparatur negara.
7. Mendesak pemerintah untuk menciptakan wilayah atau kota yang benar-benar ramah terhadap perempuan dan anak.
8. Berikan ruang kebebasan berorganisasi dan berserikat terhadap perempuan.
9. Bangun kekuatan persatuan dan kesatuan gerakan perempuan Indonesia yang tidak mudah dipecah belah oleh politik rasis.
Demikian pernyataan sikap kami, semata-mata demi mewujudkan kesejahteraan perempuan dan anak, dengan tidak saling menyakiti dan melukai, akan tetapi saling menghormati dan menghargai kepada seluruh manusia terutama perempuan dan anak. (MN)