Refleksi Tahun Baru 1445: Saatnya Kader Aisyiyah Berkiprah di Politik; Oleh Evi Sufiani
PWMU.CO – Dari kalender Hijriah kita dapati, usia Aisyiyah telah memasuki usia 110 tahun (27 Rajab 1335 – 1 Muharam 1445), sebuah usia yang amat sangat matang. Dan di dunia ini, tidak banyak organisasi perempuan yang masih tegak berdiri hingga 110 tahun.
Wajar jika di area sosial politik negeri ini, kita akan menemukan Aisyiyah sedikit banyak memberikan warna sosial politik di awal-awal usia kelahirannya.
Agar ide-ide Aisyiyah tentang pembaharuan dan usaha peningkatan derajat kaum perempuan, bisa diketahui secara luas, maka langkah awal yang dilakukan ‘Aisyiyah adalah dengan menerbitkan majalah organisasi bernama Suara ‘Aisyiyah pada tahun 1926.
Dalam catatan sejarah negeri ini, umumnya, dan sejarah pergerakan organisasi perempuan, Aisyiyah yang berdiri di masa awal pergerakan dan telah memiliki visi persatuan pergerakan perempuan, ‘Aisyiyah turut berperan aktif dalam penyelenggaraan Kongres Perempuan Indonesia I dan ikut memprakarsai berdirinya Kongres Wanita Indonesia (Kowani).
Keterwakilan Perempuan dan Strategi Aisyiyah
Islam mengakui posisi perempuan dan mengakui kemanusiaan perempuan. Islam menghapus segala bentuk diskriminasi, menempatkan perempuan pada tempat yang mulia. Kedudukan perempuan dalam pandangan Islam adalah mitra sejajar laki-laki dalam peran-peran sosial, politik, kemasyarakatan dan kemanusiaan. Ajaran Islam pada memberikan perhatian yang besar dan kedudukan terhormat kepada perempuan. Islam telah berhasil mengangkat derajat kemulian perempuan. Perempuan memiliki peran politis dalam rangka menegakkan kalimat Allah (Peran Dakwah).
Dengan demikian, perempuan tidak hanya sebagai isteri pendamping dan pelengkap suami, tetapi setara dalam hak dan kewajiban dengan laki-laki di hadapan Allah swt. Perempuan juga memiliki hak politik, hak sipil dan hak aktualisasi diri yang merupakan substansi Hak Asasi Manusia. Cukup banyak ayat dan hadis sebagai dasar untuk menetapkan adanya hak politik bagi perempuan antara lain dalam at-Taubah 71:
“Dan orang-orang yang beriman, laki-laki dan perempuan, sebagian mereka menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (berbuat) yang makruf, dan mencegah dari yang mungkar, melaksanakan salat, menunaikan zakat, dan taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka akan diberi rahmat oleh Allah. Sungguh, Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana.”
Islam sangat menghargai emansipasi kemanusiaan. Ajaran Islam tersebut menjadi poin yang pertama dalam upaya mengangkat harkat dan martabat perempuan. Selain itu, ajaran Islam tentang persamaan antara laki-laki dan perempuan terlihat secara eksplisit dalam an-Nisa ayat 1:
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isteri; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan yang banyak. Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturahmi. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu.”
Kaum perempuan juga boleh berbai’at kepada Rasulullah SAW sebagaimana halnya laki-laki. Allah SWT memerintahkan untuk menerima bai’at dari padanya seperti dijelaskan dalam al-Mumtahanah: 12
Dasar-dasar teologi di atas menunjukkan bahwa perempuan menempati posisi yang sama dengan laki-laki. Masing-masing boleh berpartisipasi dalam bidang politik, mengatur urusan masyarakat, sebagaimana disebutkan ayat di atas “sebagian menjadi penolong bagi yang lain”.
Mereka mempunyai hak seperti laki-laki dalam menyeru kebaikan dan mencegah kemungkaran. Tidak ada kegiatan yang mengecualikan perempuan dalam rangka melakukan tugas tersebut apalagi dalam upaya menyelesaikan konflik di tengah masyarakat.
Secara umum disimpulkan bahwa keikutsertaan perempuan dalam politik adalah suatu kewajaran, karena prinsip demokrasi memberikan hak kepada setiap orang untuk berpolitik dan menjaga serta membela kepribadiannya. Perempuan merupakan bagian dari umat yang mempunyai hak untuk memikul tugas-tugas politik sama dengan laki-laki dengan syarat berpegang pada syariat Islam.
Representasi perempuan di legislatif akan memberikan keseimbangan dalam mewarnai perumusan kebijakan dan peraturan perundang-undangan, penganggaran, dan pengawasan yang akan lebih berpihak pada kepentingan kesejahteraan perempuan dan anak. Berdasarkan hasil Pemilu 2019, keterwakilan perempuan di lembaga legislatif nasional (DPR-RI) berada pada angka 20,8 persen atau 120 anggota legislatif perempuan dari 575 anggota DPR RI (KPU, 2024)
Merujuk Daftar Pemilih Sementara (DPS) Pemilu 2024 yang dirilis Komisi Pemilihan Umum (KPU), dari total 205.835.518 pemilih, sebanyak 103.006.478 pemilih adalah perempuan. Sisanya sekitar 102.847.040 pemilih adalah laki-laki. Ini menunjukkan pemilih perempuan sangat potensial. Maka, perempuan tidak dijadikan sebagai obyek dalam kontestasi politik lima tahunan, tetapi diberikan tempat untuk mengisi 30 persen keterwakilan di masing-masing tingkatan parlemen (KPU, 2024).
Baca sambungan di halaman 2: Sekadar Formalitas