Puasa Asyura dan Tasu’a, Ini Dalilnya oleh Tajun Nasher MS, Sekretaris Majelis Tarjih dan Tajdid PDM Gresik.
PWMU.CO – Salah satu amalan yang memiliki keutamaan cukup besar di bulan Muharram adalah Puasa Asyura yang dilakukan pada tanggal 10 Muharram dan Puasa Tasu’a yang dilaksanakan pada tanggal 9.
Para ulama sepakat mengenai kesunnahan puasa Asyura dan Tasu’a ini [1]. Dalil kesunnahannya cukup banyak dari hadits-hadits shahih, antara lain :
• Hadits dari Abu Qatadah, Rasulullah saw bersabda
…وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ، أَحْتَسِبُ عَلَى اللهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِي قَبْلَهُ
…Dan puasa hari Asyura aku berharap kepada Allah agar Dia menggugurkan dosa (orang yang mengerjakannya) selama satu tahun sebelumnya. [2]
• Hadits dari Mu’awiyah, dia mendengar Rasullah –shallallahu ‘alahi wa sallam- bersabda
هَذَا يَوْمُ عَاشُورَاءَ وَلَمْ يَكْتُبِ اللَّهُ عَلَيْكُمْ صِيَامَهُ، وَأَنَا صَائِمٌ، فَمَنْ شَاءَ، فَلْيَصُمْ وَمَنْ شَاءَ، فَلْيُفْطِرْ
Hari ini adalah hari Asyura, Allah tidak mewajibkan puasa bagi kalian, namun aku berpuasa (secara sunnah), maka siapa yang mau hendaklah dia berpuasa namun bagi yang tidak berkenan silahkan tidak berpuasa. [3]
• Hadits dari Ibnu ‘Abbas Rasulullah –shallallahu ‘alahi wa sallam- bersabda
لَئِنْ بَقِيتُ إِلَى قَابِلٍ لَأَصُومَنَّ التَّاسِعَ
Seandainya tahun depan aku masih hidup maka aku akan berpuasa pada hari ke-9 (dari bulan Muharram). [4]
Dari dalil-dalil di atas bisa disimpulkan puasa Asyura dan Tasu’a ini hukumnya tidak wajib tetapi sunnah, kemudian pahala dari puasa Asyura ini cukup besar yaitu bisa menghapus dosa satu tahun sebelumnya.
Sejarah Puasa Asyura
Banyak para fuqaha’ dan ushuliyyun yang berpendapat, puasa Asyura ini dahulu hukumnya wajib dalam agama Islam, namun kemudian kewajiban puasa ini dihapus setelah turun perintah wajibnya puasa Ramadhan pada tahun kedua hijriyah.[5]
Sejarah itu bisa tergambar dalam hadits yang berasal dari jalur Ibnu Abbas berikut ini :
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، لَمَّا قَدِمَ المَدِينَةَ، وَجَدَهُمْ يَصُومُونَ يَوْمًا، يَعْنِي عَاشُورَاءَ، فَقَالُوا: هَذَا يَوْمٌ عَظِيمٌ، وَهُوَ يَوْمٌ نَجَّى اللَّهُ فِيهِ مُوسَى، وَأَغْرَقَ آلَ فِرْعَوْنَ، فَصَامَ مُوسَى شُكْرًا لِلَّهِ، فَقَالَ «أَنَا أَوْلَى بِمُوسَى مِنْهُمْ» فَصَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
“Ketika Nabi –shallallahu ‘alahi wa sallam- tiba di Madinah beliau melihat orang-orang Yahudi berpuasa pada satu hari (yaitu hari Asyura), mereka berkata, “Ini adalah hari yang agung di mana Allah menyelamatkan Musa dan menenggelamkan Firaun, sehingga Musa pun berpuasa sebagai bentuk rasa terima kasih kepada Allah.” Beliau pun bersabda : “Aku lebih berhak mengikuti Musa daripada mereka.” Beliau pun berpuasa pada hari itu dan memerintahkan kepada para sahabat untuk berpuasa. [6]
Dari hadits di atas bisa kita ketahui pewajiban puasa Asyura ini pada tahun pertama hijriyah tatkala Rasulullah –shallallahu ‘alahi wa sallam- tiba di Madinah sedangkan Puasa Ramadhan baru diwajibkan pada tahun ke-2 hijriyah. Sehingga jika digabungkan dengan hadits riwayat Mu’awiyah di atas bisa disimpulkan terjadi perubahan hukum dari yang awalnya wajib menjadi sunnah.
Pahala dan Keutamaanya
Sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Abu Qatadah di atas bahwa puasa Asyura itu pahalanya bisa menghapus dosa satu tahun sebelumnya. Dalam riwayat lain disebutkan perbandingan pahala puasa Asyura dan Arafah sebagai berikut :
Dari Abu Qatadah bahwasanya Rasulullah –shallallahu ‘alahi wa sallam- bersabda,
صَوْمُ يَوْمِ عَرَفَةَ كَفَّارَةُ سَنَتَيْنِ سَنَةٍ مَاضِيَةٍ وَسَنَةٍ مُسْتَقْبَلَةٍ وَصَوْمُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ كَفَّارَةُ سَنَةٍ
“Puasa Arafah itu bisa menjadi kafarat bagi dosa dua tahun, yaitu satu tahun yang lalu dan satu tahun sebelumnya, sedangkan puasa Asyura itu bisa menjadi kafarat bagi dosa satu tahun.”[7]
Dr. Wahbah Az-Zuhaili menjelaskan, hikmah mengapa ada perbedaan antara pahala puasa Asyura dan Arafah. Dia menjelaskan, karena puasa Arafah ini adalah puasa yang khusus disyariatkan untuk umat Nabi Muhammad saja sedangkan puasa Asyura ini disyariatkan untuk umat Nabi Musa maka pahala puasa Arafah lebih besar dan lebih utama, sebab Rasulullah –shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah nabi yang paling utama dibandingkan nabi dan rasul yang lain.[8]
Mungkin ada pertanyaan apakah yang dimaksud dengan dosa satu tahun yang berlalu itu adalah semua jenis dosa baik dosa besar ataupun kecil ataukah hanya dosa kecil saja?
Para ulama di antaranya Imam Ad-Dusuqi dan An-Nawawi menjelaskan, yang dimaksud dengan dosa yang digugurkan itu adalah dosa-dosa kecil, jika dia tidak punya dosa-dosa kecil maka kemungkinan besar dosa-dosa besarnya yang akan dihapuskan, namun pengguguran dosa besar ini sangat tergantung dari kehendak Allah.
Para ulama di atas juga menjelaskan jika orang yang berpuasa itu tidak memiliki dosa besar dan dosa kecil maka pahala yang dia dapatkan adalah berupa pengangkatan derajat orang yang berpuasa itu menuju derajat yang lebih tinggi.[9]
Teknis Pelaksanaan
Puasa Asyura ini memiliki kaitan dengan tanggal sebelum dan sesudahnya, yaitu tanggal 9 dan 11. Hal ini berdasarkan hadits-hadits berikut ini :
Dari Ibnu ‘Abbas dia berkata Rasulullah –shallallahu ‘alahi wa sallam- bersabda,
صُومُوا يَوْمَ عَاشُورَاءَ , وَخَالِفُوا الْيَهُودَ , صُومُوا قَبْلَهُ يَوْمًا , ، أَوْ بَعْدَهُ يَوْمًا.
“Berpuasalah di hari ‘Asyura’, namun selisihilah orang-orang Yahudi dengan cara (menambahkan) puasa satu hari sebelumnya dan satu hari sesudahnya.”[10]
Hadits Mauquf dari Ibnu Abbas dia berkata,
«خَالِفُوا الْيَهُودَ وَصُومُوا التَّاسِعَ وَالْعَاشِرَ»
“Selisihilah orang-orang Yahudi, berpuasalah di hari ke-9 dan 10 (Muharram).”[11]
Hadits Marfu’ dari Ibnu ‘Abbas juga dia berkata
حِينَ صَامَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ عَاشُورَاءَ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ قَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّهُ يَوْمٌ تُعَظِّمُهُ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى فَقَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «فَإِذَا كَانَ الْعَامُ الْمُقْبِلُ إِنْ شَاءَ اللهُ صُمْنَا الْيَوْمَ التَّاسِعَ» قَالَ: فَلَمْ يَأْتِ الْعَامُ الْمُقْبِلُ، حَتَّى تُوُفِّيَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Ketika Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- berpuasa pada hari Asyura`dan juga memerintahkan para sahabatnya untuk berpuasa; Para sahabat berkata, “Wahai Rasulullah, itu adalah hari yang sangat diagungkan oleh kaum Yahudi dan Nashrani.” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pada tahun depan insyaallah, kita akan berpuasa pada hari ke sembilan (Muharram).” Tahun depan itu pun tak kunjung tiba, hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam wafat.”[12]
Hadits pertama menjelaskan mengenai anjuran berpuasa satu hari sebelum dan sesudah Asyura sedangkan hadits kedua dan ketiga anjuran berpuasa satu hari sebelumnya. Maka bisa disumpulkan ada 4 teknis yang dalam pelaksanaan berdasarkan pendapat para ulama sebagai berikut :
1. Hanya Asyura saja : cara ini menurut para ulama Madzhab Hanbali dan Maliki diperbolehkan dan tidak makruh jika dikerjakan, sedangkan para ulama Madzhab Hanafi memandang makruh jika hanya berpuasa Asyura saja tanpa diikuti tanggal 9 atau 11.
2. Asyura ditambah Tasu’a : Cara ini merupakan cara yang dianjurkan menurut para ulama, salah satu alasannya adalah dalam rangka menyelisihi orang-orang Yahudi yang hanya berpuasa di tanggal 10 saja sebagaimana disebutkan dalam hadits riwayat Ibnu Abbas di atas. Selain itu cara ini sebagai bentuk antisipasi (bagi para ulama yang menggunakan patokan rukyatul hilal dalam penetapan awal puasa) jika seandainya ada kemungkinan kesalahan penghitungan hilal (terlalu lambat sebab hilal belum terlihat sehingga menggunakan istikmal (penggenapan bulan menjadi 30 hari)) sehingga ada kemungkinan tanggal 9 itu sebenarnya sudah masuk tanggal 10.
3. Asyura ditambah tanggal 11 : Menurut para ulama Syafi’iyah dan Hanafiyah cara ini bisa dilakukan seandainya seseorang tidak berpuasa Tasu’a, maka sebagai gantinya bisa diganti dengan puasa tanggal 11.
4. Asyura ditambah Tasu’a dan tanggal 11 : Cara ini merupakan cara yang dianjurkan oleh Imam Asy-Syafi’i sebagaimana beliau tegaskan dalam kitab Al-Umm.[13]
Berdasarkan penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwasanya 4 cara teknis di atas bisa kita laksanakan berdasarkan penjelasan para ulama yang berlandaskan dalil-dalil yang mereka pahami. Tentu saja semakin banyak hari puasa yang kita lakukan maka akan semakin afdhal selama kita menjalankannya ikhlas mengharapkan ridha Allah semata.
Wallahu A’lam Bisshawab
Referensi
[1] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyyah Al-Kuwaitiyyah, jilid 28 hal. 89
[2] HR. Muslim, Kitab Shiyam Bab Disunnahkan puasa 3 hari setiap bulan, puasa Arafah, Asyura dan puasa Senin Kamis, jiid 2 hal. 818 hadits no. 197
[3] HR. Al-Bukhari, Kitab Shiyam – Bab Puasa Hari Asyura’- jilid 3 hal. 44 hadits no. 2003.
[4] HR. Muslim, Kitab Shiyam bab hari keberapa harus berpuasa di hari ‘Asyura’, jilid 2 hal. 798 – no. 134
[5] Kassyaf Al-Qina’ jilid 2 hal. 339 dan Al-Inshaf jilid 3 hal. 346
[6] HR. Al-Bukhari, Kitab Ahadits Al-Anbiya’ Bab Firman Allah di surat Thaha ayat 9 dan An-Nisa’ ayat 164, jilid 4 hal. 153, no. 3397
[7] HR. Ahmad, Musnad Al-Anshar – hadits Abu Qatadah Al-Anshari, jilid 37 hal. 278, no. 22588
[8] Al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu, jilid 3 hal. 1642, Nailul Authar, jilid 4 hal. 238
[9] Al-Mausu’ah Al-Fiqhiyah Al-Kuwaitiyah, jilid 28 hal. 90.
[10] HR. Ahmad, Musnad Abdullah bin ‘Abbas jilid 4 hal. 52, no. 2154.
Ibnu Khuzaimah, Kitab Ash-Shiyam – Bab Perintah berpuasa 1 hari sebelum dan sesudah ‘Asyura untuk menyelisihi orang-orang Yahudi.
Terdapat perbedaan penilaian para ulama terhadap hadits ini, Imam Ibnu Khuzaima menilai hadits ini shahih karena beliau sebutkan di kitabnya Shahih Ibnu Khuzaimah, dari kalangan ulama kontemporer Syaikh Ahmad Muhammad Syakir menilai hadits ini hasan dan Syaikh Al-Albani serta Syaikh Syu’aib Al-Ana’ut menilai hadits ini dhaif, sebab perbedaannya adalah karena ada perawi bernama Muhammad bin Abdurrahman bin Abi Laila di mana ada yang menilainya bisa dijadikan hujjah dan ada yang tidak.
[11] HR. Abdurrazzaq, Kitab Ash-Shiyam – Bab Shiyam ‘Asyura, jilid 4 hal. 287, no. 7829, sanadnya Shahih menurut Syu’aib Al-Arnauth.
[12] HR. Muslim – Kitab Ash-Shiyam – Bab Tanggal berapa puasa ‘Asyura itu, jiild 2 hal. 797, no. 133.
[13] Hasyiyah Ad-Dusuqi, jilid 1 hal. 516, Mawahib Al-Jalil, jilid 2 hal. 403, Al-Majmu’ Syarh Al-Muhaddzab, jilid 6 hal. 283. Kassyaf Al-Qina’, jilid 2 hal. 339
Editor Sugeng Purwanto