PWMU.CO – Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jatim Prof Dr Zainuddin Maliki MSi merilis istilah unik tentang produktifitas seorang doktor. Menurutnya, doktor yang selesai menulis disertasi lalu tidak lagi menulis bisa disebut sebagai doktor pohon pisang. Seperti pohon pisang, setelah berbuah, tak lagi produktif.
“Pak Mahsun ini termasuk doktor yang produktif atau doktor bukan pohon pisang: habis disertasi selesai, tidak menulis buku. Tapi tidak bagi Pak Mahsun. Buktinya hari ini sudah melahirkan dua buku,” kata Zainuddin saat menjadi pembicara dalam bedah buku Muhammadiyah sebagai Gerakan Tajrid & Tajdid, dan Fundamentalisme Muhammadiyah. Kedua buku itu adalah karya Dr Mahsun MAg yang kini Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Surabaya.
(Baca: Ini Bukti jika Muhammadiyah Bukan Gerakan Wahabi)
Selain Zainuddin, hadir sebagai pembahas lainnya adalah Rektor ITS Prof Ir Joni Hermana, MSc ES PhD. Bedah buku dilaksanakan bersamaan dengan Pelantikan Lembaga Dakwah Khusus (LDK) dan Badan Pencegahan Penyalahgunaan Narkotika (BP2N) PDM Kota Surabaya, di Gedung Dakwah Muhammadiyah Surabaya, (21/5). LDK dipimpin Moch Yusuf SUd (Ketua) dan Fuad Fahmi Hasan (Sekretaris) sedangkan BP2N diketuai Maharti Rahayu Minggu as SPd MPdI dan Sekretaris Fitriyah SPd.
“Saya mengapresiasi buku ini karena mendorong generasi muda untuk produktif dalam membaca dan menulis,” kata Zainuddin. Mantan Rektor Universitas Muhammadiyah Surabaya ini prihatin karena bangsa ini susah sekali untuk diajak melakuan budaya literasi. “Coba kita berjalan dari Kantor Muhammadiyah ini ke Balai Kota Surabaya, berapa banyak toko buku? Tidak ada. Tapi coba hitung rumah makan, pasti banyak,” ujarnya.
Sementara itu Prof Joni Hermana memberikan pandangan bahwa dalam buku ini kelompok Muhammadiyah memiliki ke-istiqamahan dalam memegang ajaran dan tidak mudah terbawa arus. “Muhammadiyah konsisten mulai dari anggota dan pimpinannya,” ujar Joni. Menurutnya, Muhammadiyah selalu komitmen berjuang sebagai gerakan untuk umat. Tidak tergoda dan larut dalam euforia (politik) yang terjadi akhir-akhir ini.
Mahsun sendiri, dalam diskusi yang dimoderatori peneliti Jawa Pos Institute Pro Otonomi Rosdiansyah ini, menyinggung munculnya berbagai gerkan Islam kontemporer terutama yang berskala transnasional seperti Jamaah Tabligh, Ikhwanul Muslimin, Hizbut Tahrir, dan Salafy. “Mau tidak mau telah mempengaruhi pola pemikiran umat Islam pada gerakan skala lokal terutama di Indonesia ini,” kata Mahsun.
Menurut dia, Muhammadiyah sebagai salah satu ormas Islam Indonesia tak terkecuali terkena imbasnya. “Saya mencoba melakukan penelitian untuk memetakan bagaimana pola pemikiran para elit Muhammadiyah tentang Islam dan isu-isu negara Islam, liberalisme, dan pluralisme,” kata Wakil Rektor Bidang Sumber Daya Insani dan Al-Islam Kemuhammadiyahan UMSurabaya ini. “Selain itu saya melakukan pemetaan bagaimana warga Muhammadiyah merespon dan memaknai pemikiran para elit Muhammadiyah tersebut.”
(Baca juga: Haedar Nashir Apresiasi Gelaran Tadarus Pemikiran Islam)
Menurut hasil penelitian Mahsun, sebagian elit Muhammadiyah memiliki corak pemikiran pluralis. “Sebagian bercorak modernis salafi. Dan sebagian lainnya bercorak fundamentalis modern,” paparnya. Sedangkan soal respon warga Muhammadiyah terhadap pemikiran para elitnya itu ada tiga varian. “Sebagian saya beri kategori tajrid ushuli (fundamentalis-puritan),, sebagian lain bercorak tajrid ‘ashri (fundamentalis-modern), dan sebagian tajrid tahriri (fundamentalis-liberal),” ujarnya.
Meskipun demikian, tambah Mahsun, secara umum semua kategori tersebut terdiri dari pribadi-pribadi Muhammadiyah yang pada memiliki pemahaman keagamaan yang mendalam. “Mereka berpegang teguh pada Alquran dan Assunnah. Dan juga taat pada aturan Persyarikatan.” (Ferry Yudi AS)