PWMU.CO – Membedakan produk Tarjih dikemukakan Wakil Ketua PWM Jatim Bidang Tarjih dan Tajdid Dr Syamsudin MAg dalam Capacity Buliding Revitalisasi Ideologi, Politik dan Organisasi (Ideopolitor) di Grand Whiz Hotel, Trawas, Mojokerto, Jawa Timur, Sabtu (5/8/2023) pukul 19.00 WIB.
Dia mengajak peserta dari Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) se-Jatim bisa membedakan tiga produk Majelis Tarjih dan Tajdid.
“Semua pimpinan Muhammadiyah yang hadir di acara ini harus paham dan bisa membedakan produk Majelis Tarjih dan Tajdid, yakni: putusan, fatwa, dan wacana,” ucapnya membuka pembicaraan.
Namun sebelum membahas itu, Syamsudin menjelaskan sejarah lahirnya Majelis Tarjih dan Tajdid.
Menurutnya, Muhammadiyah adalah ormas keagamaan yang didirikan oleh tokoh agama, KH Ahmad Dahlan. Sehingga tidak mungkin memisahkan Muhammadiyah dengan urusan-urusan agama.
“Lebih penting lagi misi dari Persyarikatan ini adalah misi kedinamisan, yang di dalamnya ada unsur kebaruan dan purifikasi,” jelas Syamsudin.
Bila diilustrasikan, lanjutnya, umat Islam adalah umat teladan atau panutan. Namun yang dilihat Kiai Dahlan saat itu umat Islam tidak menunjukan idealitas dari amanah Qur’an ayat al-Baqarah 143.
“Di mana umat Islam harusnya memimpin, faktanya saat itu dijajah dan miskin. Harusnya sehat dan hiegenis, nyatanya kemproh dan gudiken. Berarti ada yang salah dalam memahami agama, bukan agamanya yang salah,” tegasnya.
Maka munculnya ide-ide pembaharuan di dalam memahami agama sehingga lahirlah Majelis Tarjih tahun 1927, setelah 15 tahun Muhammadiyah berdiri.
Bukan berarti sebelum itu tidak ada keputusan-keputusan keagamaan. Jelas sudah ada, seperti; shalat Id di lapangan, khotbah Jumat dalam bahasa bumi putra. Itu pioner, karena dulu dianggap bid’ah. Sebab, (saat itu) khotbah harus berbahasa Arab. Jangankan jamaahnya, khatibnya saja belum tentu ngerti.
“Saya diceritai ibu saya, buku-buku ceramah zaman Turki Usmani, masih dibacakan khotib-khotib kita setelah Indonesia merdeka. Padahal Turki Usmaninya sudah runtuh. Sehingga doa-doa Jumatnya mendoakan sultan-sultan Turki, padahal sudah mati semua. Perlu pembaharuan bagaimana memahami agama secara dinamis,” jelasnya.
Kemudian zakatul fitri bukan setoran masyarakat untuk tokoh agama, harus dikembalikan kepada fungsinya untuk fukurah wal masakin. Sampai persoalan ketika amal usaha berkembang dikelola secara modern, di mana setiap persoalan harus ada bagian-bagian yang menanganinya.
“Maka di antaranya lahirlah Majelis Tarjih pada tahun 1927 yang ketua pertamanya sang ‘Sapu Kawat’ dari Jawa Timur KH Mas Mansur.
Baca sambungan di halaman 2: Antara Putusan, Fatwa, dan Wacana