Proklamasi Kemerdekaan, Kenapa Pilih Tanggal 17? Ini Jawaban Bung Karno oleh Dadan Wildan.
PWMU.CO – Pukul 04.00 dinihari, tanggal 16 Agustus 1945, Soekarno dan Mohammad Hatta oleh sekelompok pemuda dibawa ke Rengasdengklok.
Aksi penculikan itu sangat mengecewakan Bung Karno. Dia marah dan kecewa, terutama karena para pemuda tidak mau mendengarkan pertimbangannya yang sehat. Mereka menganggap perbuatannya itu sebagai tindakan patriotik.
Namun melihat keadaan dan situasi yang panas, Bung Karno tidak mempunyai pilihan lain, kecuali mengikuti kehendak para pemuda untuk dibawa ke tempat yang mereka tentukan.
Fatmawati istrinya, dan Guntur yang pada waktu itu belum berumur satu tahun, ia ikut sertakan.
Rengasdengklok kota kecil dekat Karawang dipilih oleh para pemuda untuk mengamankan Soekarno-Hatta dengan perhitungan militer. Antara anggota PETA (Pembela Tanah Air) Daidan Purwakarta dengan Daidan Jakarta telah terjalin hubungan erat sejak mereka mengadakan latihan bersama-sama.
Kota ini letaknya terpencil sekitar 15 Km dari Kedunggede Karawang. Dengan demikian, deteksi dengan mudah dilakukan terhadap setiap gerakan tentara Jepang yang mendekati Rengasdengklok, baik yang datang dari arah Jakarta maupun dari arah Bandung atau Jawa Tengah.
Sehari penuh, Soekarno dan Hatta berada di Rengasdengklok. Maksud para pemuda untuk menekan mereka, supaya segera melaksanakan Proklamasi Kemerdekaan terlepas dari segala kaitan dengan Jepang, rupa-rupanya tidak membuahkan hasil.
Agaknya keduanya memiliki wibawa yang cukup besar. Para pemuda yang membawanya ke Rengasdengklok, segan untuk melakukan penekanan terhadap keduanya.
Sukarni dan kawan-kawannya, hanya dapat mendesak Soekarno-Hatta untuk menyatakan proklamasi secepatnya seperti yang telah direncanakan oleh para pemuda di Jakarta .
Soekarno-Hatta tidak mau didesak begitu saja. Keduanya, tetap berpegang teguh pada perhitungan dan rencana mereka sendiri.
Di rumah di Rengasdengklok, siang itu terjadi perdebatan panas. ”Revolusi berada di tangan kami sekarang dan kami memerintahkan Bung, kalau Bung tidak memulai revolusi malam ini, lalu….,” kata Sukarni.
”Lalu apa?” sergah Bung Karno sambil beranjak dari kursinya dengan kemarahan yang menyala-nyala. Semua terkejut, tidak seorang pun yang bergerak atau berbicara.
Waktu suasana tenang kembali. Setelah Bung Karno duduk. Dengan suara rendah ia mulai berbicara. ”Yang paling penting di dalam peperangan dan revolusi adalah saatnya yang tepat. Di Saigon, saya sudah merencanakan seluruh pekerjaan ini untuk dijalankan tanggal17.
”Mengapa diambil tanggal 17, mengapa tidak sekarang saja, atau tanggal 16?” tanya Sukarni.
”Saya seorang yang percaya pada mistik. Saya tidak dapat menerangkan dengan pertimbangan akal. Mengapa tanggal 17 lebih memberi harapan kepadaku. Akan tetapi saya merasakan di dalam kalbuku, bahwa itu adalah saat yang baik,” jawab Bung Karno
”Angka 17 adalah angka suci. Pertama kita sedang berada dalam bulan suci Ramadhan, waktu kita semua berpuasa, ini berarti saat yang paling suci bagi kita. Tanggal 17 besok hari Jumat, hari Jumat itu Jumat Legi, Jumat yang berbahagia, Jumat suci. Al-Quran diturunkan tanggal 17, orang Islam sembahyang 17 rakaat, oleh karena itu kesucian angka 17 bukanlah buatan manusia,” terang Bung Karno lagi.
Demikianlah antara lain dialog antara Bung Karno dengan para pemuda di Rengasdengklok seperti ditulis Lasmidjah Hardi dalam buku Sumbangsihku bagi Ibu Pertiwi.
Sementara itu, di Jakarta, antara Mr. Ahmad Soebardjo dari golongan tua dengan Wikana dari golongan muda membicarakan kemerdekaan yang harus dilaksanakan di Jakarta .
Laksamana Tadashi Maeda, bersedia untuk menjamin keselamatan mereka selama berada di rumahnya. Berdasarkan kesepakatan itu, Jusuf Kunto dari pihak pemuda, hari itu juga mengantar Ahmad Soebardjo bersama sekretaris pribadinya, Sudiro, ke Rengasdengklok untuk menjemput Soekarno dan Hatta untuk persiapan Proklamasi Kemerdekaan besok tanggal 17 Agustus 1945.
Editor Sugeng Purwanto