PWMU.CO – Sarasehan Puisi dalam Perspektif Gerakan Berkemajuan diadakan oleh Lembaga Seni Budaya (LSB) Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Batu Jawa Timur, Senin sore (14/8/2023).
Acara digelar di pelataran Studio Matahati Ceramics Perum Wastu Asri, Junrejo. Di sela acara ada launching buku antologi puisi Menggugah Muhammadiyah karya Muchlis Arif SSn MSn, dosen Universitas Negeri Surabaya dan Wakil Ketua PDM Kota Batu yang membidangi Majelis Dikdasmen dan LSB.
Hadir dalam sarasehan puisi ini budayawan, seniman, mahasiswa, guru, dan pimpinan Muhammadiyah.
Muchlis Arif dalam sambutannya menyampaikan, sarasehan puisi ini rangkaian acara Muhammadiyah Mbatu Heritage oleh Lembaga Seni Budaya PDM Kota Batu.
Muchlis menerangkan, di bulan September akan ada acara serupa untuk antologi puisi bertema kemerdekaan.
Perupa yang merambah dunia sastra puisi ini berharap puisi-puisinya diapresiasi luas oleh berbagai kalangan, khususnya warga Muhammadiyah.
Kemudian sarasehan dibuka dengan pembacaan puisi Bangunan Belanda oleh Yudhi, guru dan seniman Kota Batu.
Dilanjutkan bedah buku antologi puisi Menggugah Muhammadiyah oleh Wakil Ketua Lembaga Seni Budaya PP Muhammadiyah, Kusen PhD, yang populer dengan julukan Kiai Cepu.
Kiai Cepu yang juga dosen Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta ini membaca dua puisi karyanya dan karya Muchlis.
Pembacaan secara teatrikal yang dilakukan oleh Kiai Cepu menghipnotis penonton. Moderator sarasehan Syamsu S. Soeid mengatakan, kata-kata dalam puisi bisa menjadi sarana untuk melahirkan gerakan sekaligus memperhalus budi.
Kiai Cepu menambahkan, puisi, selain bisa menjadi stimulus untuk gerakan, juga sebagai alat untuk melawan penguasa yang zalim, sekaligus alat dakwah.
Karya Muchlis, tuturnya, berisi filsafat kemuhammadiyahan, manusia, dan estetika, sebagai esensi dalam menggugah Muhammadiyah.
“Filsafat Muhammadiyah juga diungkap dalam puisi-puisi Muchlis Arif, yaitu kegelisahan. Kegelisahan tampak dalam puisi Kegelisahan Muhammadiyah, sebagaimana yang dirasakan oleh Ahmad Dahlan sebelum lahirnya Muhammadiyah,” katanya.
Menurut dia, lahirnya Muhammadiyah bukan karena tahayul, bid’ah dan churafat (TBC) dalam kehidupan beragama umat Islam Indonesia sehari-hari, melainkan karena kegelisahan Dahlan melihat umat Islam yang tertindas, miskin, kekayaannya disedot oleh penjajah. ”Itulah filsafat Muhammadiyah,” tandas Kiai Cepu.
Kiai Cepu menyampaikan, puisi-puisi Muchlis adalah puisi “terang”, yaitu bila dibacakan penonton langsung paham isinya. Sementara puisi “gelap”, bila dibacakan, isinya tidak dapat dipahami secara langsung.
”Contoh penyair puisi terang adalah WS Rendra dan Taufik Ismail. Contoh penyair puisi gelap adalah Kuntowijoyo, Amir Hamzah, dan Abdul Hadi W.M.,” tuturnya.
Menurut dia, puisi gelap lebih cocok untuk dikaji, tidak untuk dibacakan. ”Melalui puisi terang ini, saya melihat Muchlis juga ingin Muhammadiyah lebih terbuka untuk seni dan budaya,” tandas Kiai Cepu.
Penulis Khoen Eka Editor Sugeng Purwanto