Beri Alternatif Bukan Konfrontatif oleh Ikhwanushoffa, Direktur Lazismu Jawa Tengah.
PWMU.CO – Hiruk-pikuk berbahasa di media digital telah disesaki pro vis a vis kontra, seakan seisi semesta hanya dua kubu. Umat pembaca menjadi penat. Seakan yang tidak dalam dua kubu itu berada dalam dunia lain. Akibat tanpa tatap muka secara lahir, maka emosi mudah tergerak untuk nge-blok dengan miskin unggah-ungguh.
Tantangan bagi para cerdik cendekia untuk selalu menghadirkan oase dalam sahara peperangan dunia maya tersebut. Walau dianggap sepi namun itu maha penting.
Seperti kasus terorisme di Surabaya beberapa tahun yang lalu, saya sungguh bersorak gembira ketika rekan-rekan Lazismu Kota Surabaya bersama Angkatan Muda Muhammadiyah (AMM) di sana bergerak di luar blok pro-kontra itu. Mereka hadir ke para korban untuk memberikan support, menjalin silaturrahim, dan beberapa bantuan.
Tak lupa mereka juga bersilaturrahim ke FKUB untuk membincang kerukunan umat yang lebih berkemajuan. Membela teroris tentu tidak benar, namun sekadar mengutuk juga menguntungkan teroris. Karena terorisme akan terpupuk dan menyubur oleh pro-kontra yang tajam. Maka sekali lagi, mari hadirkan alternasi bukan konfrontasi.
Hoax versus Literasi
Cara yang paling efektif melawan kabar tak jelas adalah kecerdasan literasi. Tak ada yang lain. Kecerdasan untuk membaca. Kecerdasan melihat isi tulisan.
Sebaiknya menulis di medsos bukan konfrontatif tapi beri alternatif.
Layaknya pedagang, para pembuat hoax akan menjajakan tulisannya dengan bumbu-bumbu yang bombastis, kadang hiperbola, mengaduk emosi, bahkan tega mengatasnamakan tokoh tertentu dan seterusnya. Maka pembaca harus cukup tenang supaya tidak terpancing untuk segera menanggapi atau share.
Dipastikan, apakah tulisannya logis? Sanadnya logis? Tulisannya terstruktur dan sistematis? Standar dasar memahami logika seperti silogisme, mana premis mayor, minor dan konklusi apa konsisten.
Tulisan induksi atau deduksi? Dan seterusnya. Pun sebenar apapun info, pembaca cerdas tetap harus memperhatikan dampak hasil share atau tanggapannya.
Pantas disayangkan bila kini mulai jarang ada pelatihan jurnalistik, karena jurnalistik harus tahu cara membaca yang benar terlebih dahulu. Lebih menyedihkan lagi dengan hilangnya pelajaran mengarang di sekolah dasar. Makin masuk dunia digital, makin terasa kenapa ayat pertama adalah Iqra’.
Wallaahu a’lam.
Singosari, 2 Safar 1445 H