Kekerasan Politik oleh Daniel Mohammad Rosyid, Guru Besar ITS dan Ketua Pendidikan Tinggi Dakwah Islam Jawa Timur.
PWMU.CO – Semalam saya menerima pesan WA berjudul Deklarasi Kemerdekaan untuk Klarifikasi Kesejarahan, Kebenaran, dan Keadilan atas Kejahatan Kemanusiaan.
Deklarasi itu didukung oleh 250 nama tokoh nasional yang sebagian saya kenal seperti Marzuki Darusman dan Busyro Muqoddas, serta Butet Kartarajasa, sebagian lagi tidak.
Paragraf pertama mengajukan diksi kekerasan politik yang di paragraf kedua dijelaskan betapa pengungkapan kebenaran dan penegakan keadilan atas sejarah kekerasan politik sejak 1965 itu penting bagi masa depan bangsa yang bermartabat serta penegakan kebenaran dan keadilan yang sejati.
Setelah saya cermati, deklarasi 250 tokoh ini ganjil jika bukan menyesatkan karena menjadikan peristiwa kekerasan 1965 sebagai awal sejarah kekerasan politik di negeri ini.
Kekerasan multi dimensi berlangsung sejak bangsa Eropa hadir di bentang alam nusantara hingga 20 tahun lebih era reformasi. Sejak UUD45 diganti UUD2002 oleh MPR, praktis kedaulatan rakyat digusur partai politik.
Kekerasan politik secara terstruktur, sistemik, dan masif yang sesungguhnya justru terjadi sejak UUD2002 berlaku di mana presiden adalah petugas partai politik. Bisa juga boneka kekuatan nekolimik Barat atau China yang mensponsori kekerasan melalui perang asimetris. Bahkan neo-cortex seperti investasi asing, berbagai standar dan perjanjian internasional, serta utang ribawi yang memiskinkan dan memperbudak manusia.
Pemilu hanya menjadi instrumen legitimasi kekerasan politik oleh partai politik di mana pemilih hanya jongos politik. Kelompok-kelompok yang berbeda pandangan politiknya mengalami kekerasan politik dengan dituduh radikal, intoleran, anti-NKRI, bahkan anti-Pancasila.
Berbagai bentuk kekerasan ini bukan sesempit kekerasan politik, tapi memang kejahatan kemanusiaan yang oleh Bung Karno disebut nekolim. Korbannya bukan hanya jutaan manusia, tapi miliaran manusia.
Bukan hanya di Indonesia, tapi di seluruh muka bumi ini. Mengistimewakan penyelesaian kasus kejahatan kemanusiaan 1965 di Indonesia bukan saja keliru dalam perspektif sejarah yang jujur dan adil, tapi jelas juga tidak efektif dalam menghentikan kejahatan kemanusiaan ini sekaligus memungkinkan bangsa ini hidup bermartabat, merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Di samping itu HAM sebagai konsep sudah terbukti outdated karena sejak konsep ini diglobalisasikan, kejahatan atas kemanusiaan justru makin menjadi-jadi.
Perang tidak sah oleh Barat atas Irak, Afghanistan, dan Libya misalnya, adalah kekerasan telanjang dengan korban jutaan manusia yang dibiarkan begitu saja terjadi di awal abad 21 ini.
Untuk menyelamatkan Indonesia saat ini, kita tidak butuh pernyataan maaf negara, tapi pertobatan nasional untuk bebas dari segala bentuk penjajahan karena tidak sesuai dengan perikemanusiaan dan peri keadilan.
Yang kita butuhkan bukan deklarasi, tapi reproklamasi kemerdekaan seperti yang pernah dirumuskan dalam Pembukaan UUD45 oleh para tokoh pendiri bangsa negarawan, bukan sekadar akademisi, aktivis, dan penulis biasa. Apalagi politikus produk UUD2002.
Gunung Anyar, 5 September 2023
Editor Sugeng Purwanto