Konflik Batin yang Saya Rasakan sebagai Warga Muhammadiyah; Oleh Abdul Ghoni, Guru MTs Muhammadiyah 3 Yanggong Ponorogo, Jawa Timur.
PWMU.CO – Konflik batin yang saya rasakan ini disebabkan oleh perubahan-perubahan budaya organisasii yang terjadi di Muhammadiyah.
Konflik batin itu seperti pindah jenjang sekolah dari SMP ke SMA atau dari SMA ke kuliah. Tentu, selama tiga tahun banyak cerita atau pengalaman berkesan yang mendekatkan hubungan sesame teman. Lalu, tiba-tiba harus berpisah karena berbeda sekolah atau kampus.
Aktivitas di tempat belajar baru yang semula seru, penuh cerita, drama, dan kenangan berkesan lainnya, berganti dengan hal-hal baru: suasana, budaya, dan aktivitas yang berbeda sekali dari kebiasaan sebelumnya. Sedih, nggak? Sedih, ‘kan?
Meskipun kemungkinan suasana baru dengan pergantian kebiasaan itu akan seru juga, tapi, masih perlu adaptasi. Dan belum tentu juga bisa berkesan dari sebelumnya.
Kira-kira itulah situasi yang saat ini saya rasakan. Tapi lebih parahnya, ini bukan hanya soal pergantian jenjang pendidikan. Ini tentang pergantian budaya berorganisasi di Muhammadiyah yang saya rasakan. Sungguh berbeda dari saya kecil hingga dewasa. Berikut beberapa kenyataan yang membuat batin saya bergolak.
HPT Tergeser Ulama Google
Saya dulu melihat Himpunan Putusan Tarjih (HPT) seperti melihat solusi dari berbagai masalah agama. Pandangan bahwa di dalam buku tersebut merupakan hasil pikiran tajam dan mendalam para ulama Muhammadiyah masih sangat kuat. Semua masalah agama, rasanya terselesaikan ketika membaca buku itu.
“Sungguh menyesakkan. Hasil pemikiran ulama-ulama tarjih dikesampingkan, diganti dengan ulama Google yang semakin lama semakin merusak keharmonisan.”
Sekarang ‘kesaktian’ buku tersebut mulai hilang tergerus oleh sumber rujukan lain. Saat ada masalah, sekarang larinya ke Google. Tidak peduli rujukan tersebut menggunakan hadits sahih atau tidak, yang penting sudah dapat jawaban.
Lebih parahnya, dengan merujuk pada dalil-dalil Google, banyak orang yang menggunakannya untuk memukul orang. Seolah-olah sudah benar-benar memahami ilmu agama, kemudian menganggap orang lain salah.
Sungguh menyesakkan. Hasil pemikiran ulama-ulama tarjih dikesampingkan, diganti dengan ulama Google yang semakin lama semakin merusak keharmonisan.
Tak Peduli Dasar Fikih
Islam di Indonesia sejak dulu sering mengalami perbedaan dalam menjalankan ritual keagamaan. Banyak khilafiah yang muncul antarbeberapa organisasi keislaman. Tapi sekarang perbedaan itu semakin berkurang, bahkan nyaris tidak ada.
Apakah kemudian hal itu menjadi ukuran umat bisa bersatu atau justru sebaliknya? Jika dulu persoalan antara orang Muhammadiyah yang melaksanakan tarawih 11 rakaat dan non-Muhammadiyah 23 rakaat selalu hangat dalam setiap diskusi formal maupun warungan sekarang kenapa tidak hangat lagi?
Bukannya tidak senang jika perbedaan itu sudah tidak dibesar-besarkan. Tapi, masalahnya, orang-orang mulai tidak peduli lagi dengan dasar hukum melaksanakan ibadah. Bisa dikatakan untuk berdebat pun tidak mengerti dasarnya.
Parahnya bukan hanya tidak tahu dasarnya, tapi pelaksanaan tarawih sekarang mulai tergantikan dengan bisnis malam hari di bulan Ramadan yang menjanjikan. Banyak yang tidak tarawih karena masih sibuk jualan online kue kering atau menunggu lapak kembang api di pinggir jalan.
Tanpa berniat menyalahkan orang jualan, saya sendiri juga jualan saat Ramadhan. Tapi, saat ini saya merasakan tarawih bulan Ramadhan sudah tidak semeriah dan seramai dulu lagi. Kekhidmatan salat tarawih menjadi berkurang. Dulu, melihat orang antusias tarawih, saya tertular semangatnya. Sekarang, yang menulari semangat tersebut mulai hilang.
Baca sambungan di halaman 2: Kedekatan Tergantikan Gadget