PWMU.CO – Muhammadiyah yang didirikan oleh KH Ahmad Dahlan pada tahun 1912 M lalu, merupakan gerakan sosial keagamaan dengan spirit keberpihakan terhadap kaum fakir, miskin, anak yatim dan atau piatu, janda-janda, serta kelompok masyarakat lemah lainnya. Menurut Dr Sufiyanto gerakan Muhammadiyah yang pro dengan kaum mustad’afin harus diperjuangkan dengan sungguh-sungguh.
Ketua Bawaslu Jawa Timur ini menambahkan, spirit keberpihakan Muhammadiyah juga harus bisa diterjemahkan dalam konteks kekinian, yakni di ranah apapun, termasuk di bidang politik.
(Baca: Sekolah Kebangsaan untuk Cetak Politisi dan Pejabat yang Muhammadiyah)
”Kader Muhammadiyah harus mampu membaca dan memahami fenomena sosial kemasyarakatan, dan kemudian menganalisanya. Sehingga kader Muhammadiyah bisa berperan aktif untuk memberi solusi bagi perubahan sosial di sekitarnya. Tentunya, solusi perubahan dengan membawa spirit Al Ma’un seperti yang diajarkan KH Ahmad Dahlan,” ujar Sufi dalam Sekolah Kebangsaan Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik (LHKP) Pimpinan Daerah Muhammadiyah(PDM) Kota Malang, Ahad (17/6).
Saat ini, sebut Sufi, orang yang memiliki gelar pendidikan yang tinggi dibagi menjadi 3 kelompok. Pertama adalah kelompok cendikiawan. ”Kelompok ini memahami hanya sekedar bertugas untuk menyampaikan produksi ilmu kebenaran dan hanya berfungsi sebagai penyampai kebenaran saja”,” jelasnya di hadapan peserta yang hadir di Rumah Baca Cerdas (RBC),kawasan Ruko Permata Jingga Malang.
Kedua, kelompok ilmuwan. Kelompok ini mencari dan menemukan ilmu atau teori baru di bidangnya masing-masing. Tapi, penemuannya tersebut belum tentu mampu diaplikasikannya dalam kehidupan masyarakat sesungguhnya.
(Baca juga: Inilah Sejarah Sesungguhnya: Kiai Dahlan Dirikan Sekolah Nasionalis 11 Tahun Sebelum Ki Hajar Dewantara)
Ketiga, kelompok intelektual organik. Yaitu, kelompok yang cinta kebenaran. Baik secara teori ataupun aplikasinya di tengah-tengah masyarakat. “Mereka ini mampu berbuat praksis di level sosial masyarakat,” terangnya.
Berdasar 3 kelompok tersebut, lanjut Sufi sudah sepatutnya kader Muhammadiyah bisa menjadi kelompok yang ketiga. Kelompok yang mencintai ilmu atau teori kebenaran, sekaligus juga mampu mengaplikasikannya langsung di tengah masyarakat. ”Ini sangat bisa diperjuangkan di ranah politik. Karena di sinilah semua kebijakan publik yang berkaitan dengan kesejahteraan dan kemakmuran masyarakat itu diatur,” tegasnya.
Sufi pun mengajak kader-kader Muhammadiyah untuk mengusung politik rahmatan lil alamin. Sehingga politik bisa menjadi alat untuk keberpihakan kepada masyarakat atau kelas sosial yang lemah dan memerlukan pendampingan, seperti anak yatim-piatu, fakir miskin, janda, dan sebagainya.
(Baca ini juga: Ketika Muhammadiyah dan NU Berdialog tentang Kebangsaan)
”Jika dulu KH Ahmad Dahlan memberi makan fakir miskin, menyantuni anak yatim-piatu dan mensejahterakan kelompok lemah, maka saat ini kita harus mampu berbuat yang lebih. Terutama kawan-kawan yang berniat masuk keranah politik,” ajaknya.
Di akhir paparannya, Sufi mengingatkan bahwa tantangan KH Ahmad Dahlan dulu dengan sekarang dan yang akan datang akan terus berubah dan berbeda-beda. Oleh karenanya kader Muhammadiyah harus luas wawasan dan terbuka pikirannya. ”Selain berwasan luas, juga harus tetap memiliki spirit keberpihakan seperti yang ada dalam Qur’an Surat Al-Ma’un,” pungkasnya.(izzudin/aan)