PWMU.CO – Kejadian di Gaza hari-hari ini sama dengan peristiwa di Surabaya tahun 1945 dan di Yogyakarta tahun 1946 sampai dengan 1949.
Dikabarkan sejumlah oleh media, sebanyak 5.500 korban meninggal di Gaza dalam konflik terakhir antara Hamas dan Israel. Berita-berita terakhir banyak menyebut konflik Hamas-Israel, bukan Palestina-Israel.
Dengan framing berita demikian maka Hamas menjadi pihak tertuduh sebagai penyebab konflik yang mengakibatkan jatuhnya banyak korban jiwa di Gaza.
Dalam setiap konflik bersenjata Palestina-Israel, Gaza sering dijadikan target operasi oleh Israel karena Gaza menjadi basis kelompok militan Hamas dan Brigade Izzuddin Al-Qassam. Sesungguhnya Hamas adalah akronim dari Harakah Al-Muqawamah Al-Islamiyah merupakan ormas biasa sebagaimana Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama di Indonesia.
Brigade Izzuddin Al-Qassam merupakan sayap militer dari Hamas. Keberadaan sayap militer Hamas sama dengan keberadaan laskar-laskar pejuang kemerdekaan Indonesia yang dibentuk ormas Islam Masyumi, Muhammadiyah, NU antara lain Hizbullah, Askar Perang Sabil, dan lain-lain.
Resolusi Jihad 1945
Di tengah gegap gempita perayaan Hari Santri Nasional pekan-pekan ini mengingatkan pada peristiwa keluarnya Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 oleh KH Hasyim Asy’ari Rais Aam PBNU. Selain Rais Aam, posisi KH Hasyim Asy’ari saat itu juga sebagai pemimpin tertinggi Masyumi, wadah persatuan umat Islam di Indonesia sejak tahun 1944.
Seruan Resolusi Jihad didengar dan ditaati seluruh masyarakat, terutama yang muslim, bukan hanya warga nahdliyin. Seruan yang membuat KH Mas Mansyur pulang kampung ke Surabaya dari kedudukannya sebagai anggota Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) di Jakarta.
Resolusi Jihad mencapai puncaknya pada 10 Nopember 1945 ketika para pejuang menjawab ultimatum tentara sekutu di Surabaya dengan perlawanan bersenjata. Selama 21 hari mulai tanggal 10 sampai 30 Nopember 1945 para pejuang bersama masyarakat Surabaya bekerja sama melawan invasi militer tentara Inggris dibantu Gurkha India dan militer Belanda yang menyusup.
Memasuki tahun 1946 sejumlah kota besar termasuk Surabaya, Jakarta, Bandung, Medan, Semarang, Makasar dan lain-lain dalam penguasaan asing. Satu-satunya wilayah yang berdaulat adalah Kasultanan Yogyakarta dengan Muhammadiyah menjadi bagiannya.
Sejak Januari 1946 pemerintahan Indonesia yang baru terbentuk berpindah ke Yogyakarta. Berikutnya Yogyakarta menjadi pengasuh Indonesia yang baru lahir dan menjadi basis perjuangan kemerdekaan sebagaimana Gaza di Palestina.
Yogyakarta menjadi target serangan Belanda yang secara “resmi” telah mendirikan NICA (Netherland Indie Civil Administrations), pemerintahan sipil untuk mengatur seluruh wilayah Indonesia secara sepihak.
Menghadapi kondisi demikian Pimpinan Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta mengeluarkan Amanat Jihad pada 28 Mei 1946 mendukung perjuangan mempertahankan kemerdekaan Indonesia yang dirampas otoritas NICA.
Amanat Jihad Muhammadiyah menambah motivasi perjuangan diplomasi Perundingan Linggarjati 1947, Renville 1948, Roem-Royen 1949, perjuangan bersenjata agresi militer 1947 dan 1948. Pelanggaran perjanjian sering dilakukan oleh pihak NICA mencapai puncaknya pada agresi militer II 19 Desember 1948.
Dalam agresi militer II seluruh pemimpin nasional ditangkap kecuali Sri Sultan Hamengkubuwono IX yang menjabat Menteri Negara dan Jenderal Sudirman sebagai Panglima Besar Tentara Keamanan Rakyat.
Keputusan Jenderal Sudirman melakukan perlawanan gerilya dan inisiatif Sultan melakukan Serangan Umum 1 Maret 1949 membuahkan hasil. Pihak Perserikatan Bangsa-Bangsa membentuk komisi tiga negara terdiri dari Amerika, Australia, Belgia memperhatikan kemauan keras Indonesia merdeka dari NICA.
Melalui Konferensi Meja Bundar, delegasi Indonesia yang dipimpin Mohammad Hatta berhasil meyakinkan pihak internasional dan kerajaan Belanda mengakui kemerdekaan bangsa Indonesia. Tanpa militansi perjuangan bersenjata yang dipimpin Jenderal Sudirman, cerita kemerdekaan bangsa Indonesia barangkali bisa berbeda.
Resolusi Jihad dan Amanat Jihad menjadi motivasi dalam menuntut hak kemerdekaan bangsa Indonesia setara dengan gerakan intifadah bangsa Palestina sejak 1987 yang demikian militan menuntut kemerdekaan dari penjajahan otoritas israel.
Risiko kelompok penuntut kemerdekaan yang militan dicap pihak penjajah sebagai ekstremis, radikal. bahkan teroris. Hal yang sama pernah dialami para pejuang kemerdekaan Indonesia. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni