PWMU.CO – Pentingnya Mengenali Diri Sendiri menjadi tema khutbah Jumat SMA Muhammadiyah 4 Sidayu (Smamsi) Gresik Jawa Timur di Masjid Ad- Dakwah, Jumat (27/10/23).
Dalam khutbahnya, Zharif As Syafi’i mengatakan bertakwa kepada Allah adalah dengan menjalankan perintahnya, dan juga menjauhi larangannya. Dengan ketakwaan yang kita laksanakan di dunia, semoga kelak menjadi perisai yang melindungi kita dari api neraka di akhirat.
Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Muhamad al- Ghazali dalam kitabnya Kimiya’us Sa’adah menjelaskan bahwa mengenal diri (ma’rifatun nafs) adalah kunci untuk mengenal Allah.
Logikanya sederhana, diri sendiri adalah hal yang paling dekat dengan kita, bila kita tidak mengenal diri sendiri, lantas bagaimana mungkin kita bisa mengenali Allah? Tentu saja yang dimaksudkan di sini lebih dari sekadar pengenalan diri secara lahiriah, seberapa besar diri kita, bagiamana anatomi tubuh kita, seperti apa wajah kita, atau sejenisnya.
“Bukan pula atribut-atribut yang sedang kita sandang, seperti jabatan, status sosial, tingkat ekonomi, prestasi, dan lain-lain,” katanya.
Lebih dalam dari itu semua, lanjutnya, yang dimaksud dengan mengenal diri adalah berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar. Siapa aku dan dari mana aku datang? Ke mana aku akan pergi, apa tujuan kedatangan dan persinggahanku di dunia ini, dan di manakah kebahagiaan sejati dapat ditemukan?
Di sini kita diantarkan untuk memilah, mana yang bersifat hakiki dalam diri kita dan mana yang tidak. Serentetan pertanyaan sederhana namun sangat kompleks.
Butuh perenungan diri untuk menjawab satu persatu pertanyaan tersebut. Jawabannya mungkin sudah sangat kita hafal, tapi belum tentu mampu kita resapi sehingga menjiwai keseluruhan aktivitas kita.
Mengenali Diri Sendiri
Zharif menjelaskan, untuk mengenali diri sendiri, Muhammad Al- Ghazali mengawali penjelasan dengan menyebut bahwa dalam diri manusia ada tiga jenis sifat, sifat-sifat binatang (shifatulbaha’im), sifat- sifat setan (shifatusysyayathin), sifat-sifat malaikat (shifatulmalaikah).
Apa itu sifat-sifat binatang? Seperti banyak kita jumpai, binatang adalah makhluk hidup dengan rutinitas kebutuhan bilogis yang sama persis dengan manusia. Mereka tidur, makan, minum, kawin, berkelahi, dan sejenisnya.
Manusia pun menyimpan kecenderungan-kecenderugan ini, dan bahkan memiliki ketergantungan yang nyaris tak bisa dipisahkan. Watak-watak tersebut bersifat alamiah dan dalam konteks tertentu dibutuhkan untuk mempertahankan hidup.
Kedua, sifat-sifat setan. Setan adalah representasi keburukan. la digambarkan selalu mengobarkan keja-hatan, tipu daya, dan dusta. Demikian pula orang-orang yang memiliki sifat setan.
Ketiga, sifat-sifat malaikat berarti sifat-sifat yang senantiasa menerungi keindahan Allah, memuji-Nya, dan mentaati-Nya secara total.
Kebahagiaan hewani adalah ketika ia kenyang, mampu memuaskan hasrat dirinya, atau sanggup mengalahkan lawan untuk memenuhi kepentingan dirinya sendiri atau paling banter untuk keluarganya.
“Sedangkan kebahagiaan setan adalah tatkala berhasil mengelabuhi yang lain atau memproduksi keburukan. Sementara kebahagiaan malaikat ialah saat diri kian mendekat kepada Allah dan semua aktivitas merupakan cerminan dari kedekatan itu,” jelasnya.
Imam Al-Ghazali mengatakan diri manusia layaknya sebuah kerajaan yang terbagi dalam empat struktur pokok: jiwa sebagai raja, akal sebagai perdana menteri, syahwat sebagai pengumpul pajak, dan amarah sebagai polisi.
Syahwat dan Amarah
Zharif menjelaskan syahwat memiliki karakter untuk menarik manfaat, kenikmatan, dan keuntungan sebanyak-banyaknya. la befungsi untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan individu.
Sementara amarah berfungsi melindungi dari berbagai ancaman atau mudarat, karenanya ia identik dengan karakter berani, cenderung kasar dan keras. Keduanya penting untuk kehidupan manusia.
Dengan syahwat manusia tahu akan kebutuhan makan, misalnya dengan amarah, ia mengerti akan perlunya membela diri ketika serangan mengancam. Namun syahwat dan amarah harus didudukkan di bawah kendali akal dan tentu saja di bawah raja.
“Apabila syahwat dan amarah menguasai akal atau nalar maka kerajaan terancam runtuh. Sebab susunan “kekuasaan” tak terjalan menurut kontrol seharusnya,” katanya.
Dia menambahkan syahwat yang di luar kendali akal dan jiwa akan memunculkan sifat-sifat buruk seperti rakus atau tamak. Sementara amarah yang tak terkendali akan menimbulkan kebencian dan kecurigaan berlebihan sehingga muncul sikap-sikap membabi buta dan semena-mena.
“Akal pun mesti berada di bawah kendali jiwa atau hati (qalbu). Akal memang memiliki potensi yang istimewa, berpikir, berimajinasi, menghafal, dan lain-lain. Bila ia bertindak liar maka potensi akal untuk menjadikan manusia sebagai tukang tipu daya atau semacamnya sangat mungkin,” katanya.
Kalau kita pernah mendengar kalimat orang pintar yang gemar minterin (memperdaya) orang lain, maka itu tak lain akibat akal bertolak belakang dengan nurani alias tak berada dalam naungan jiwa yang bersih.
Untuk mencapai jiwa yang berkuasa utuh, Imam al-Ghazali menekankan adanya perjuangan keras dalam olah rohani (mujahadah) demi proses pembersihan jiwa atau tazkiyatun nafs. Dalam Surat al – Ankabut yang artinya, “Dan orang- orang yang bersungguh- sungguh (muhajadah) untuk (mencari keridhaan) kami, kami benar- benar akan kami tunjukkan kepada mereka jalan-jalan Kami.”
“Semoga kita termasuk orang-orang yang lebih banyak belajar mengenali diri sendiri, ketimbang menilai orang, untuk menggapai kebahagiaan yang hakiki. Dengan jiwa yang jernih akan memicu munculnya cahaya ilahi yang memberi petunjuk manusia akan jalan terbaik bagi langkah-langkah kita ke jalan yang benar dan diridhai Allah SWT,” jelasnya. (*)
Penulis Chilmiyati. Editor Ichwan Arif.