Analisis Kredibilitas Al-Darawardi tentang Mendahulukan Tangan ketika Sujud; Sambungan dari artikel Telaah Hadits tentang Sujud Riwayat Abu Dawud; Format Baru Fatwa-Fatwa Tarjih oleh Dr Zainuddin MZ Lc MA; Ketua Lajnah Majelis Tarjih dan Tajdid PWM Jatim dan Direktur Turats Nabawi Pusat Studi Hadits.
PWMU.CO – Sebagaimana paparan sebelumnya, akar masalah para pemerhati hadits menilai dhaifperiwayatan Abu Hurairah terkait hadits tata cara sujud lantaran di dalam sanadnya terdapat “Abdul Aziz bin Muhammad al-Darawardi”.
Maka berikut ini dipaparkan bagaimana sebenarnya status perawi al-Darawardi dalam tinjauan jarh dan ta’dil-nya.
Seyogianya untuk mengetahui perawi yang memiliki nilai ganda, yakni jarh dan ta’dil, harus dipaparkan bilai-nilai jarh secara rinci dan nilai-nilai ta’dilnya juga secara rinci, sehingga dapat diketahui “asbab jarh”nya.
Dengan mengetahui “asbab jarh” tersebut dapat dijadikan pisau analisis untuk menentukan status haditsnya, karena tidak semua nilai jarh itu qadih (mempengaruhi periwayatannya). Maka hendaknya pandai-pandai menilai jarh perawi.
Penilaian Jarh dan Ta’dil Al-Darawardi
Nadwah Mudzakkarah menilai kelemahan hadits-hadits yang mendahulukan tangan dari pada lutut sewaktu sujud berfokus kepada perawi “Abdul Aziz bin Muhammad al-Darawardi [2]
Berikut ini penulis nukilkan kembali cara Nadwah Mudzakkarah dalam menilai perawi tersebut:
Pada sanad di atas terdapat perawi “Abdul Aziz bin Muhammad al-Darawardi”, yang nama lengkapnya adalah Abdul Aziz bin Muhammad bin Ubaid bin Abu Ubaid al-Darawardi Abu Muhammad al-Juhani.
Tentang perawi ini dinilai Abu Hatim: Haditsnya tidak dapat dijadikan hujjah. Dinilai Abu Zur’ah: Hafalannya jelek. Dinilai Nasai: Hafalannya tidak kuat. Dan dinilai Ibnu Khuzaimah: Ia sering membuat kesalahan. [periksa: Tahdzib al-Tahdzib: 6/354; Mizan al-I’tidal: 2/634; al-Kasyif: 2/210; al-Tsiqat: 7/116; al-Mughni fi al-Dhu’afa: 2/339; dan al-Jarh wa al-Ta’dil: 5/396].
Dapat dicermati bagaimana “Nadwah Mudzakkarah” hanya memaparkan nilai-nilai negatifnya, sehingga berkesimpulan: Hadits di atas “lemah dan tidak dapat dijadikan hujah”.
Sekali lagi, seharusnya secara akademis dipaparkan baik nilai al-jarh (nilai negatif) maupun al-ta’dil (nilai positif) secara transparan, kemudian dengan berbagai pendekatan, diharapkan mampu ditentukan statusnya dengan seksama.
Berikut ini penulis nukilkan penilian tiga pakar dalam ilmu al-jarh dan al-ta’dil. Pertama, Abdurrahman bin Abu Hatim (- 327 H) dalam bukunya Al-Jarh wa al-Ta’dil (p. 5: 396). Kedua, Muhammad bin Ahmad bin Usman al-Dzahabi (-748 H) dalam bukunya Mizan al-I’tidal (p. 2: 634). Ketiga, Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani (-852 H) dalam bukunya Tahdzib al-Tahdzib (p. 6: 354).
Inilah tiga pakar kritikus perawi hadits pada zamannya, abad ke-4, ke-8, dan ke-9 dalam hal kepiawaian memaparkan nilai-nilai positif maupun negatif para perawi hadits.
Menurut hemat penulis selain itu hanya berputar-putar kepada karya ketiga pakar di atas, kecuali sebagaian yang tidak kita nafikan juga memiliki nilai tambah. Dan buku-buku itu pula yang dijadikan rujukan utama oleh Nadwah Mudzakkarah, walaupun dilengkapi dengan lainnya seperti al-Kasyif, al-Tsiqat dan lainnya.
1. Penilaian Abdurrahman bin Abu Hatim (-327 H)
Abdurrahman bin Abu Hatim dalam bukunya Al-Jarh wa al-Ta’dil,[3] mendeskripsikan sebagai berikut. Mushab bin al-Zubairi: Malik bin Anas menilai al-Darawardi adalah perawi tsiqat; Ahmad bin Hanbal: Semua yang diriwayatkan dari Ubaidillah bin Umar hakekatnya adalah dari Abdullah bin Umar; Abu Thalib: Ahmad bin Hanbal ditanya perihal Abdul Aziz al-Darawardi. Jawabnya: Ia terkenal dengan al-thalab, bilamana meriwayatkan dari bukunya sendiri shahih, tetapi apabila meriwayatkan dari kitab orang lain dia salah, dia sering meriwayatkan dari buku orang lain dan salah, kadang meruba nama Abdullah bin Umar al-Umri dengan nama Ubaidillah bin Umar; Yahya bin Ma’in: Al-Darawardi lebih kuat daripada Fulaih, putra Abu al-Zinad dan Abu Uwais; Yahya bin Ma’in: Abdul Aziz al-Darawardi adalah perawi saleh, laisa bihi ba’sun; Abdurrahman: Bapakku (Abu Hatim) ditanya perihal Abdul Aziz bin Muhammad al-Darawardi dan Yusuf bin al-Majisyun. Jawabnya: Abdul Aziz adalah muhaddits (tokoh hadits) sedangkan Yusuf statusnya adalah syaikh; Abu Zur’ah: Abdul Aziz al-Darawardi lemah hafalan, kadang meriwayatkan hadits dari hafalannya lalu salah.
2. Penilaian Muhammad bin Ahmad al-Dzahabi (-748 H)
Muhammad bin Ahmad bin Usman al-Dzahabi dalam bukunya Mizan al-I’tidal [4] mendeskripsikan sebagai berikut: Ahmad bin Hanbal: Apabila meriwayatkan dari hafalannya ia salah, laisa huwa bisya’in, namun apabila meriwayatkan dari kitabnya sangat akurat. Katanya pula: Apabila meriwayatkan dari hafalannya ia sering mendatangkan riwayat-riwayat yang batil; bin Ma’in: Tsiqatun tsabtun; Abu Hatim: Tidak dapat dijadikan hujah; Yahya bin Ma’in: Dia lebih baik dari pada Fulaih; Abu Zur’ah: Lemah hafalannya; Ma’an bin Isa: Al-Darawardi pantas menyandang predikat amirul mukminin. Dan kesimpulan penilaian al-Dzahabi sendiri adalah shaduq min ulama Madinah, lainnya lebih kuat dari pada dia.
3. Penilaian bin Hajar al-Asqalani (-852 H)
Ahmad bin Ali bin Hajar al-Asqalani dalam bukunya Tahdzib al-Tahdzib [5] mendeskripsikan sebagai berikut: Mushab al-Zubairi: Imam Malik menilai al-Darawardi adalah perawi tsiqat (terpercaya); Ahmad bin Hanbal: Ia terkenal dengan al-thalab, bilamana meriwayatkan dari bukunya sendiri shahih, tetapi apabila meriwayatkan dari kitab orang lain dia salah, dia sering meriwayatkan dari buku orang lain dan salah, kadang merubah nama Abdullah bin Umar al-Umri dengan nama Ubaidillah bin Umar; bin Ma’in: Al-Darawardi lebih kuat dari pada Fulaih, putra Abu al-Zinad, dan Abu Uwais; Katanya pula: Laisa bihi ba’sun; Katanya pula: Tsiqat hujah; Abu Zur’ah: Lemah hafalannya dan kadang meriwayatkan dari hafalannya ia salah; bin Abi Hatim: Bapak saya (Abu Hatim) ditanya perihal Yusuf bin al-Majisyun dan al-Darawardi, jawabnya: Abdul Aziz seorang perawi yang berpredikat muhaddits (ahli hadits), sedangkan Yusuf berpredikat syaikh; Nasai: Laisa biqawi; Katanya pula: Laisa bihi ba’sun dan periwayatannya dari Ubaidillah bin Umar adalah munkar (yang benar adalah Abdullah bin Umar al-Umri, pent.). Dan kesimpulan penilaian bin Hajar sendiri adalah shaduq .[6]
Baca sambungan di halaman 2: Analisis Kredibilitas al-Darawardi