Hubungan Pak AR dan Pak Harto, Budaya Jawa yang Mendekatkannya, menyadur buku Biografi Pak AR karya Sukriyanto AR—anak Pak AR, penerbit Suara Muhammadiyah, Mei 2017, halaman 72-73.
PWMU.CO – Secara kebetulan, periode kepemimpinan Pak AR—nama populer KH Abdur Rozaq Fachruddin—hampir bersamaan dengan kepemimpinan Pak Harto—nama popler Presiden Soeharto. Pak Harto memimpin negara tahun 1966-1998, sedang Pak AR memimpin Muhammadiyah tahun 1968-1990. Karena itu, Pak AR perlu selalu menjalin hubungan baik dengan pemerintah.
Karena Pak Harto adalah seorang Presiden, maka untuk menjalin hubungan dengan pemerintah. Pak AR harus menjalin hubungan baik dengan Pak Harto dan seluruh pembantunya. Karena itu, Pak AR berusaha mengenal apa dan siapa Pak Harto. Mengenal asal-usul keluarganya, tempatnya, kepribadiannya, hobinya, filosofinya, dan berbagai hal yang berkaitan dengan kepribadian serta gaya hidup beliau.
Menurut Pak AR, Pak Harto itu orang Jawa tulen yang kental kejawennya dan sangat memahami budaya Jawa. Selain memahami, Pak Harto juga pengamal budaya Jawa. Pak Harto sangat kuat memegangi falsafah dan budaya Jawa serta kepemimpinan Jawa.
Beliau mengerti paugeran (aturan) Jawa. Karena itu, untuk menjalin hubungan antara Muhammadiyah dengan pemerintah, Pak AR mendekati Pak Harto melalui budaya Jawa. Pak AR selalu berbicara dengan menggunakan bahasa Jawa halus, kromo inggil. Kebetulan, Pak AR juga mengerti dan memahami budaya Jawa, karena Pak AR juga membaca tulisan-tulisan seperti Wulangreh, Wedhatama, Centini, Hidayat Jati, dan lain-lain.
Bahkan, buku seperti Wayang Purwo, Mahabharata, Ramayana, Gatolotjo, Betaljemur dan buku primbon lainnya juga dibaca. Jadi, Pak AR cukup memahami falsafah dan budaya Jawa. Itu menjadi bekal yang sangat bermanfaat saat berkomunikasi dengan Pak Harto.
Muhammadiyah Pernah Meminjam Uang pada Pak Harto
Kedekatan Pak AR dengan Pak Harto sangat luar biasa, sehingga banyak sekali permintaan bantuan Muhammadiyah selalu dikabulkan. Misalnya, Pak Harto memenuhi permintaan bantuan Pak AR untuk membeli Apotek Bakti, di depan RS PKU Muhammadiyah di Jalan KHA Dahlan Yogyakarta untuk perluasan bagiandepan RS PKU yang seluruhnya Rp 350 juta (1980-an).
Selain itu, ketika Pak AR mengajukan permintaan agar Pak Harto berkenan meminjami Muhammadiyah sebesar Rp 750 juta (1980-an) untuk membeli tanah di daerah Tamantirto, Kasihan, Bantul, seluas kira-kira 25 hektar (sekarang menjadi lokasi kampus UMY).
Sepekan kemudian Pak Harto menjawab, minta maaf tidak bisa memberi pinjaman seperti yang diajukan sebesar Rp 750 juta itu, tetapi Pak Harto malah menyumbang sebesar Rp 500 juta. Tentu saja dengan ‘terpaksa’ Pak AR dan Muhammadiyah menerima bantuan itu. Lalu Pak AR menyuruh Ir H Dasron Hamid (Rektor UMY saat itu) agar sujud syukur dan berkirim surat menyampaikan ucapan terima kasih kepada Pak Harto.
Karena bantuan kepada Muhammadiyah sudah dianggap terlalu banyak, Mensesneg Sudarmono pada waktu itu meminta kepada Pak Ali Afandi (Bendahara beberapa yayasan yang didirikan Pak Harto), agar kalau ada permintaan bantuan dari Muhammadiyah supaya dihentikan dulu, karena menurut Sudarmono, bantuan untuk Muhammadiyah sudah banyak sekali.
Kata Pak Ali Afandi, “Saya sebagai bawahan Bapak menurut saja, Pak. Tapi, dulu Pak Harto bilang kepada saya, kalau ada permintaan bantuan dari Muhammadiyah supaya dilangsungkan kepada beliau.”
Mendengar penjelasan Pak Ali Afandi seperti itu, Mensesneg Sudarmono bilang, “Oh ya, kalau begitu terus saja seperti selama ini.”
Masih soal kedekatan Pak AR dengan Pak Harto, sampai-sampai ketika menyusun kabinet dan penentuan pejabat negara, Pak Harto kadang-kadang meminta orang-orang Muhammadiyah yang bisa diikutkan dalam kabinet.
Misalnya, untuk jabatan Menteri Agama, Menteri Sosial dan Menteri Kesehatan. Sebut saja ketika penunjukan Pak Mukti Ali dan Pak Munawir Sjadzali sebagai Menteri Agama, Pak Mintardja SH sebagai Menteri Sosial, Komisaris Utama PN Sandang (Meyjen Maryadi), Dirut PN Sandang H. Sonhaji, dan lain-lain.
Kedekatan Pak AR dengan Pak Harto, juga terlihat ketika Pak AR sakit, Pak Harto yang saat itu di Bosnia, di Sarajevo, kirim karangan bunga dan doa. Pak Harto juga menugasi Prof Dr Mahar Mardjono, dokter kepresidenan yang juga mantan Rektor Universitas Indonesia dan Dr Setyanegara, Direktur Utama RS Pertamina, untuk memeriksa dan menangani penyakit Pak AR.
Ketika Pak AR wafat Pak Harto dan Ibu Tin Suharto melayat di RSIJ dan memberi pinjaman pesawat Herkules untuk membawa jenazah beliau ke Yogyakarta. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni