Muhasabah Akhir Tahun: Menggapai Puncak Kebaikan; Oleh Dr M. Saad Ibrahim MA, Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah
PWMU.CO – Ayat 18 surat al-Hasyr memberi tuntunan agar setiap diri bermuhasabah untuk menyongsong hari esok. Dalam tafsir al-Thabari hari esok itu adalah Hari Kiamat. Dengan kata lain muhasabah tersebut dilakukan untuk mempersiapkan diri menuju kehidupan akhirat. Dalam konteks ini agar setiap diri berbekal masa lampaunya berusaha membangun capaian kebaikan yang semakin tinggi.
Ini dikemukakan oleh ayat 19 al-Insyiqaq. Tentu ini bukan persoalan kecil, juga bukan hal yang mudah. Ada proyeksi tentang capaian ini, terutama diajarkan melalui dimensi penting dalam Islam melalui ajaran tauhid.
Kalimat thayyibah la ilaha illallah misalnya mengharuskan manusia untuk hanya menjadikan satu-satunya yang sungguh-sungguh Tuhan itu adalah Allah. Di surat al-Ikhlash ajaran keesaan ini terkandung dalam kata ahad, kemudian diteruskan dengan ungkapan ash-shamad, yang antara lain bermakna puncak kebaikan, kemuliaan, kesempurnaan, keagungan, kasih sayang, dan lain-lain.
Muhasabah dan istibaqul khairat tadi adalah media untuk sampai pada capaian kesempurnaan kebaikan tertinggi dan tidak terlampaui oleh yang lain.
M. Saad Ibrahim
Aktualisasi diri manusia harus mengikuti prinsip-prinsip ini. Yakni pada titik terakhirnya menjadi satu-satunya (al-ahad) yang mencapai puncak seluruh kebaikan (ash-shamad). Dalam proses mencapai hal ini, ada muhasabah, ada istibaqah al-khairat, saling berlomba untuk menjadi yang terdepan dalam berbagai kebaikan, dan satu-satunya, tidak yang lain.
Tentu ini adalah semacam proyeksi bagi setiap diri. Ketika perjalanan hidup manusia pada titik terakhirnya itu husnul khatimah, menjadi satu-satunya yang mencapai puncak kebaikan, maka maknanya prinsip keesaan dan kesempurnaan tadi telah menjadi capaian tertinggi dan terakhirnya.
Muhasabah dan istibaqul khairat tadi adalah media untuk sampai pada capaian kesempurnaan kebaikan tertinggi dan tidak terlampaui oleh yang lain. Dengan demikian setiap sampai pada sebuah etape perjalanan hidup, orang tidak boleh puas dan berhenti pada capaian kebaikan. Ada kebaikan yang lebih tinggi yang menjadi proyeksi capain di etape berikutnya.
Jika uraian ini lalu diterapkan dalam konteks bermuhammadiyah, maka setiap kita punya kewajiban untuk membawa organisasi ini menjadi satu-satunya yang mencapai puncak kebaikan: menjadi satu-satunya yang serba “ter” untuk capaian kebaikan tentunya. Terbaik, terbanyak, terluas, tertinggi, dan seterusnya! (*)
Editor Mohammad Nurfatoni