PWMU.CO – Refleksi akhir tahun disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Prof Dr Haedar Nashir MSi saat mengisi sesi ceramah kebangsaan di Tabligh Akbar Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Malang.
Sebelum menyampaikan ceramah, Prof Haedar menandatangani prasasti Masjid al-Hasyr. Masjid yang baru direnovasi itu berada di wilayah Pimpinan Cabang Muhammadiyah (PCM) Kedungkandang Kota Malang.
Adapun momentum penandatanganan itu berlangsung di Masjid Manarul Islam, Sawojajar, Kota Malang, Ahad (31/12/2023). Agenda ini disaksikan langsung oleh Wakil Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur Prof Dr Thohir Luth MA dan Ketua PDM Kota Malang Dr Abdul Haris MA.
Kemudian, pada pigora yang panitia sediakan, Prof Haedar juga menuliskan motivasi untuk jamaah Masjid al-Hasyr. “Semoga juga akan memotivasi kita semua,” ujar sang pembawa acara Prof Agus.
Prof Agus menyebutkan, Masjid al-Hasyr telah direnovasi dengan menghabiskan dana Rp 3 miliar. “Dan itu masih ada kekurangan. Bapak Ibu yang ingin berinfak untuk Masjid al-Hasyr masih kurang sekitar Rp 600 juta. Semoga dapat segera terlunasi dan terselesaikan renovasi Masjid al-Haysr,” terangnya.
Pada awal Ceramah Kebangsaan bertema Pemimpin yang Bermartabat dan Berkemajuan itu, Prof Haedar mengapresiasi hibah dan alih tanggung jawab dari Perguruan dan Masjid Manarul Islam kepada persyarikatan Muhammadiyah.
“Dan Insyaallah ini akan menjadi amal jariyah bagi seluruh pengurus. Tentu juga akan menjadikan masjid dan kompleks perguruan ini menjadi masjid dan kompleks perguruan yang membawa kemajuan umat Islam dan masyarakat luas khususnya di Kota Malang maupun di negeri tercinta,” ujar Prof Haedar.
Refleksi Akhir Tahun
Prof Haedar Nashir mengajak jamaah melakukan refleksi akhir tahun dengan menyampaikan, “Hari ini, di saat mungkin banyak orang mengakhiri tahun dengan berbagai aktivitas yang bersifat rekreasi, Bapak Ibu dan hadirin yang kami muliakan hadir untuk acara pengajian.”
Prof Haedar yakin, pengajian itu bagian dari upaya memperkaya khazanah ruhani, pikiran, sekaligus orientasi tindakan dengan nilai-nilai luhur ajaran Islam. “Yang terus kita ikhtiarkan menjadi Islam yang rahmatan lil alamin bukan hanya untuk diri kita, keluarga kita, tetapi untuk masyarakat luas dan alam semesta,” imbuhnya.
Sebagai refleksi akhir tahun, sambung Prof Haedar, dapat menjadi wahana muhasabah agar bisa mengambil jarak dari sesuatu yang mungkin terlalu euforia. “Terlalu menyenangkan bagi kita, baik dalam hal-hal yang kita sukai, berkaitan dengan hidup di dunia ini,” ungkapnya.
Dia mencontohkan kesenangan itu seperti materi, kekayaan, kekuasaan, dan jabatan. “Bahkan mungkin juga kesenangan politik yang kehilangan makna, substansi, sesuatu yang bersifat mendasar dan mendalam yang disinari oleh jiwa ajaran Islam kita,” terang Prof Haedar.
Sebab, kata Prof Haedar, Allah mengingatkan kehidupan dunia itu sering seperti fatamorgana. “Membuat kita lalai saking senangnya, membuat kita lalai saking semangatnya, membuat kita abai saking bergairahnya,” jelasnya.
Bahkan dalam beragama pun, menurutnya perlu bermuhasabah. “Siapa tahu beragama kita hanya kulit luarnya, hanya (melaksanakan) rukun syariat, tetapi kehilangan makna shalat. Shalat tiap hari kita lakukan selain yang wajib ain dan sudah menjadi keniscayaan kita salat lima waktu, ditambah shalat sunnah dalam berbagai jenis, tetapi shalatnya hanya shalat syariat semata,” paparnya.
Prof Haedar mencontohkan, misal melakukan dari takbiratul ihram sampai salam, tapi hilang nilai khusuknya. Pertanyaan menohok ia lontarkan, “Gimana ketika kita shalat itu khusyuk belum? Misal karena kegiatan lain yang segera ingin kita lakukan, shalat kita hanya aktivitas badan saja. Itupun tidak dengan jenak, tidak dengan tumakninah.”
Tak hanya itu, Prof Haedar mengingatkan, boleh jadi syariat dan khusyuknya terpenuhi tapi tahsinahnya tidak. “Tahsinah itu kebaikan, pantulan dari shalat. Innaka shalati anil fahsya iwal munkar. Shalat itu mencegah diri kita dari perbuatan keji dan mungkar. Dari yang kecil-kecil sampai yang besar-besar,” sambungnya.
Muhasabah Diniyah
Hal kecil menurut Prof Haedar bisa berupa ketika sesuatu yang salah itu menyenangkan sehingga tergoda melakukannya. Alhasil, dia menegaskan, muhasabah itu penting untuk urusan diniyah. “Kita perlu muhasabah agar shalat kita tidak hanya mengejar setoran tapi juga khusyuk dan tahtinah,” tuturnya.
Selain itu pada urusan ekonomi dan politik, yang menyangkut kehidupan dunia, biasanya menimbulkan kesenangan luar biasa. “Kalau ke masjid tidak terburu-buru. Kalau urusan meningkatkan kualitas amaliah yang bersifat muamalah kadang tidak bersemangat,” contohnya.
Dia mengambil contoh dari kotak infak Lazismu yang lewat di mana respon jamaah tampak biasa saja. “Yang biasanya Rp 5 ribu ya nggak naik jadi Rp 50 ribu. Yang biasanya Rp 50 ribu ya nggak naik jadi lembar merah. Tapi kalau menyangkut kegiatan kampanye politik, orang yang biasanya lemah gairah saja semangatnya berlipat ganda,” ungkapnya.
Bahkan, kata Prof Haedar, masjid pun berubah jadi euforia jargon-jargon politik. “Padahal urusan dunia pun perlu ada meaning (pemaknaan) dan value!” tuturnya. (*)
Kontributor Fatimah Az-Zahro Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni