PWMU.CO – Pemimpin dalam kehidupan nyata tidak akan lepas dari umatnya. Begitu juga sebaliknya, umat tidak akan lepas dari pemimpinnya. Demikian kata Prof Dr Haedar Nashir MSi, Ketua Umum Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah.
Saat itu ia mengisi ceramah kebangsaan Tabligh Akbar Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Malang. Prof Haedar mengupas tema Umat dan Pemimpin yang Bermartabat dan Berkemajuan.
“Tidak ada pemimpin yang tiba-tiba datang dari langit kemudian bisa mengubah segalanya. Pemimpin mesti hidup di tengah dinamika dan sejarah umat dan bangsa. Jadi kalau ada pemimpin yang kurang bermartabat dan kurang maju, mesti itu cerminan dari masyarakatnya,” terangnya.
Menurutnya, pemimpin cerminan masyarakat karena sosoknya itu hasil pilihan mayoritas. “Apalagi dalam kehidupan kebangsaan di era demokrasi yang liberal,” ungkapnya di Masjid Manarul Islam, Sawojajar, Kota Malang, Ahad (31/12/2023).
Prof Haedar juga mengingatkan kepada jamaah, “Jangan merasa kalau sudah bergema di satu masjid itu akan otomatis menang. Lihat yang di pasar, di stadion, di jalan-jalan, di kereta api, di pesawat, di pusat-pusat keramaian, di mal dan seterusnya!”
Prof Haedar lalu mengkritik dinamika kehidupan politik yang sering terjadi pada umat Islam. “Kadang umat Islam itu eksklusif, merasa menang di rumahnya tapi dia lupa tetangganya. Rumahnya kan satu, tetangganya 500. Nah jadi itu perlunya siasat politik, tapi siasat itu bukan soal menyiasati orang, bukan mengakali orang. Tapi mengurusi urusan orang dengan baik,” terangnya.
Kepada para jamaah, Prof Haedar menuturkan, politiknya umat Islam harus berbeda. “Harus lebih bermartabat dan lebih maju ketimbang yang lain!” ujarnya.
Pemimpin Dunia Akhirat
Menurutnya, pemimpin yang bermartabat dan berkemajuan harus dimulai dari dua pihak. “Pertama dari pemimpinnya dulu, pemimpin-pemimpin itu imam,” ungkapnya.
Dia mengutip al-Mawardi dalam Al-Ahkam As-Sultaniah, “Pemimpin itu penglihatannya tidak melihat. Ini bahasa yang halus, kita tidak bisa menggunakan bahasa lain. Jadi matanya tidak berpenglihatan. Yang menjelaskan bahwa pemimpin yang mungkin berbeda dalam melihat urusan umat. Kelihatannya diskriminasi tetapi ini menyangkut sesuatu yang besar.”
Poinnya menurut al-Mawardi, sambung Prof Haedar, kepemimpinan dan pemimpin itu proyeksi dari fungsi kerisalahan nabi untuk fihirasatiddin atau menegakkan nilai-nilai agama. Kedua, menegakkan atau mengurus urusan dunia. Kesimpulannya, dalam kacamata Islam dan kaum Muslim, pemimpin harus bisa mengurus dunia akhirat.
“Dunianya terpenuhi, akhiratnya terpenuhi. Berarti betapa beratnya jadi pemimpin dalam pandangan Islam. Dunia, akhirat, rohani, dan jasmaninya terpenuhi. Dari kata dana, sesuatu yang dekat. Dunia nih dekat materi ini, dekat kursi. Kursi simbol dari kekuasaan, tempat kita duduk. Kalau ini cuma satu ya, tapi kalau kursi politik itu jadi rebutan,” terangnya.
Siapa yang terbaik, kata Prof Haedar, bisa duduk di kursi kepemimpinan. “Untuk yang terbaik itu dua patokannya. Satu, kualitatif. Kedua, kuantitatif,” imbuhnya.
Adapun terkait urusan ukhrawi, menurutnya perlu mempertimbangkan sisi spiritualitas. “Maka Nabi diberi sifat siddiq, amanah, tabligh, fathanah. Empat nilai ini luar biasa!” ungkapnya.
Dalam realitasnya, Prof Haedar menyadari, politik itu ya juga dipengaruhi aspek popularitas. “Popularitas enggak ada salahnya. Yang salah itu popularitas yang tidak halalan thayibah. Maka harus ada nilai ad-dinnya,” tuturnya menekankan perlunya nilai agama.
Umat Bermartabat
Kedua, umat. Umat juga harus bermartabat dan maju. “Umat bermartabat itu tahu pilihan benar salah, pantas tidak pantas, dan mereka tidak akan tiba-tiba jadi seperti itu kalau tidak ada edukasi, kalau tidak ada dakwah,” ungkapnya.
Di sinilah Nabi menjalankan fungsi kerisalahan sehingga dulu lahirlah peradaban almadinah almunawarah. Yakni pusat peradaban yang cerah dan mencerahkan. “Nabi 23 tahun menyebarkan risalah di masyarakat Arab yang jahiliah. Mereka disebut jahiliah karena sedikit sekali yang punya kemampuan membaca. Hanya beberapa saja yang bisa membaca,” jelas Prof Haedar.
Kemudian lebih jahiliah lagi mereka kalau berniaga itu yang penting dapat keuntungan, tidak peduli halal dan baik. “Maka tumbuh riba. Saat itu riba eksploitatif bukan hanya soal dalam sistem perbankan. Apalagi dalam politik itu, yang Quraisy berdasarkan pada kasta, dinasti,” ungkap Prof Haedar.
Dia mengetahui setelah reformasi masih banyak yang menerapkan dinasti. Para tokoh politik termasuk dari Islam juga menggunakan dinasti. Artinya, kalau disuarakan mudah tapi dipraktikkan tidak mudah.
“Apalagi merendahkan kaum perempuan, dihinakan martabat perempuan, padahal Allah mengangkat derajat perempuan sama kualitas dan martabatnya dengan laki-laki baik dalam beramal saleh maupun untuk masuk surga!” tegasnya.
Dia lantas mengutip ayatNya, “Man ‘amila shaalihah min dzakari aw untsaa wahuwa mu’min falanuhyiyannahu hayatan thayyibatan walanajziyannahum ajrahum bi-ahsani maa kau ya’maluun.”
Artinya, “Barang siapa yang beramal saleh laki-laki maupun perempuan dan dia beriman keduanya akan memperoleh kehidupan yang baik di dunia maupun akhirat bahkan memperoleh pahala terbaik dari Allah.”
Jadi, kata Prof Haedar, tidak betul surga itu mayoritas laki-laki. Perempuan juga sama. “Berbeda fungsi dan tugas bisa saja dan kalau menyelesaikan masalah dengan kekerasan pertumpahan darah, maka Islam datang menyempurnakan akhlak. Itulah dasar martabat akhlaknya diperbaiki. Jiwa, pikiran dan orientasi tindakannya tahu tentang benar salah berdasar agama bukan berdasar selera,” imbuhnya.
Maka, sambungnya, Muhammadiyah meyakini dan memandang Islam itu dinul hadarah. “Islam itu adalah agama yang membawa kemajuan peradaban hidup umat manusia. Maka selain innama buistuliutamimarimal akhlaq, Risalah Nabi juga punya misi wama arsalnaka illa rahmatan lil alamin. Rahmat itu adalah kebaikan untuk orang banyak. Alamin di situ alam seluruh semesta,” lanjutnya.
Terakhir, Prof Haedar mengingatkan, di saat Nabi meninggal dan belum dimakamkan pun sudah ada ujian masalah. “Ada tiga kelompok dari kaum Anshar, kaum Muhajirin, dan ahlul bait untuk menentukan pemimpin. Padahal di zaman Nabi belum pernah ada pemilihan pemimpin,” terangnya.
Prof Haedar bersyukur, di antara sahabat dan tokoh Islam ada kearifan sehingga diadakanlah pemilihan pemimpin secara aklamasi dan diangkatlah Abu Bakar ash-Shiddiq sebagai khalifah. “Dengan peristiwa ini kita harus selalu perlu refleksi, muhasabah!” ajaknya menyambut tahun baru 2024. (*)
Penulis Fatimah Az-Zahro Coeditor Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni