Belajar Netralitas Pemilu pada Muhammadiyah, Kolom oleh Prima Mari Kristanto, Akuntan Publik berkantor di Surabaya
PWMU.CO – Muhammadiyah termasuk salah satu komponen bangsa yang menyatakan netral dari aktivitas politik praktis. Netralitas kemudian menjadi hal sakral yang ditekankan untuk para penyelenggara ormas, negara, layanan masyaraka, dan profesional.
Berbeda dengan ormas atau institusinya, sebagian orang-orangnya banyak tertarik atau ditarik dalam kegiatan politik praktis. Menjaga sikap netral ternyata gampang-gampang sulit.
Sikap netral berikutnya bersandar pada kode etik masing-masing institusi dan ormas. Sebagian tegas, sebagian samar-samar dengan beragam dalih atau alasan.
Netralitas Muhammadiyah bisa dijadikan contoh penegakan etik organisasi, berbangsa, dan bernegara. Seluruh unsur Pimpinan Pusat Muhammadiyah nyaris tidak pernah terdengar memberi dukungan pada kontestan pemilu.
Unsur pimpinan Muhammadiyah selain tidak memberi isyarat mendukung juga tidak memberi isyarat menolak calon tertentu. Oleh ormas Muhammadiyah semua pihak dan kelompok bahkan diberi ruang yang sama menyampaikan visi, misi, dan gagasan di forum-forum Muhammadiyah.
Buah netralitas Muhammadiyah terasa dengan tetap berputarnya roda organisasi dan amal-amal usaha secara profesional, sehat alias waras. Terbaru pengumuman akan hadirnya bulan suci Ramadhan tanggal 11 Maret 2024 menjadi oase di tengah hiruk pikuk hangat cenderung panas menyambut pemilu 14 Februari 2024.
Nahdlatul Ulama (NU) tidak ketinggalan dalam menjaga netralitas telah menonaktifkan pimpinan wilayah dan organisasi sayap yang menjadi tim sukses calon presiden dan wakil presiden.
Teladan
Teladan dari dua ormas terbesar di Indonesia ini menjadi sandaran masyarakat dan beragam institusi serta profesi yang ingin netral atau diwajibkan netral berdasarkan peraturan perundang-undangan. Salah satu profesi yang wajib netral adalah akuntan publik, karena diberi tugas oleh negara melalui KPU menguji kepatuhan pelaporan dana kampanye para peserta pemilu.
Sebagaimana rumor yang beredar tentang praktik money politic atau politik uang, bantuan dana asing dan pihak-pihak tertentu yang berpotensi merusak demokrasi perlu dimitigasi. Netralitas penyelenggara, pengawas, dan pengadil menjadi syarat mutlak keberlangsungan kompetisi yang fair. Netral bukan berarti diam, pasif melihat kejadian-kejadian yang ada.
Netralitas bisa juga berupa peran aktif sebagaimana wasit sepakbola yang ikut berlari mengikuti dan mengamati pergerakan pemain, juga arah bola. Dibantu para hakim garis juga penonton yang idealis, kritis, kini juga dibantu teknologi VAR (video assistant referee) bermacam pelanggaran bisa lebih mudah dibuktikan serta diambil keputusan.
Berpihak pada calon tertentu dan memilih sikap netral bagi yang bertugas atau seharusnya netral sama-sama sebagai hak juga kewajiban. Netral berbeda dengan golput, golongan putih yang apatis, tidak peduli dengan kegiatan demokrasi.
Pemain, penonton, dan penjaga netralitas yang bisa saling menghargai, menghormati semoga membawa suasana pemilu benar-benar jurdil, jujur, adil dan luber, langsung, umum, bebas, rahasia, bertanggungjawab.
Siapa saja nanti yang jadi pemenang pemilu, sepanjang melalui proses jurdil dan luber bersama netralitas, profesionalitas ASN, TNI, Polri, KPU, Bawaslu, MK, Muhammadiyah, NU semoga membawa keberkahan serta kewarasan dalam penyelenggaraan negara di masa depan. Wallahualambishawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni