PWMU.CO – Muhammadiyah ‘yatim piatu’ politik merujuk pada pernyataan almarhum Ahmad Syafii Maarif. Dia pernah menyatakan bahwa dalam politik dan kekuasaan Muhammadiyah layaknya yatim piatu (Republika, 24/9/2019).
Menurut Prof Dr Zainuddin Maliki MSi dampak ‘yatim piatu’ Muhammadiyah di bidang politik terasa pada keberadaan Gerakan Kepanduan HW, salah satu organisasi otonom Muhammadiyah. Dalam memperjuangkan Undang-Undang (UU) Kepanduan Hizbul Wathan (HW), Muhammadiyah kalah kuasa.
Prof ZM, sapaan akrabnya, menjelasnkan Muhammadiyah pernah mencoba mengarahkan judul UU Kepanduan bukan Kepramukaan. “Tetapi apa mau dikata, tidak cukup kader yang bisa dibebani tugas memperjuangkan undang-undang kepanduan Hizbul Wathan. DPR kemudian mengesahkan UU No. 12 tahun 2010 tentang Gerakan Kepramukaan,” ungkapnya, pada PWMU.CO, Senin (29/1/2024). Wawancara dilengkapi dengan tulisan dalam bukunya: Mengawal Misi Muhammadiyah di Parlemen Rekaman Peristiwa dan Rekaman, terbitan Kanzun Books, 2023.
Dia mengatakan keberadaan HW tidak terlalu kokoh dalam UU. “HW hanya tersirat dan bukan tersurat, itu pun hanya di ketentuan peralihan,” ungkapnya.
Dari situ, Anggota Komisi X DPR-RI Fraksi PAN periode 2019–2024 itu menyatakan dia merasakan sendiri akibatnya. “Dampaknya membuat saya dibuat baper. Ketika hendak menyalurkan program fasilitasi kegiatan kepramukaan, tidak bisa diberikan kepada Hizbul Wathan (HW),” kenangnya.
Dia menegaskan, “Yang ada di pikiran saya, HW itu gerakan kepanduan, demikian juga Pramuka. Bahkan di mata saya, HW tidak kalah dari Pramuka. HW sudah ada sebelum ada Ppramuka. Bahkan sudah ada sejak Indonesia belum merdeka. Jenderal Soedirman, Bapak TNI itu saja adalah Bapak Pandu HW.”
Kalau nomenklatur anggarannya langsung menyebut fasilitasi kegiatan HW, menurut Prof ZM, tentu baru mengena. “Nomenklatur anggaran itu akan mudah dilakukan jika HW tersurat dalam undang-undang,” jelas pria kelahiran Tulungagung, 7 Juli 1954 itu.
Kenyataannya, dalam ketentuan peralihan pasal 47 UU No. 12 tahun 2010 hanya disebutkan begini: “Pada saat undang-undang ini mulai berlaku (a) organisasi gerakan Pramuka dan organisasi lain yang menyelenggarakan pendidikan kepramukaan yang ada sebelum undang-undang ini diundangkan tetap diakui keberadaannya.”
Desak Revisi UU No. 12 tahun 2010
Penasihat Dewan Pendidikan Jawa Timur 2016-2019 itu mengatakan, meski keberadaan HW diakui dalam UU Kepramukaan, tetapi hanya secara tersirat. Itu pun diletakkan di pasal peralihan.
“Kalau saja pengakuan dalam UU dibuat secara tersurat dan diletakkan di batang tubuh UU, tentu keberadaan HW cukup di UU sehingga dimungkinkan dana fasilitasi kegiatan kepramukaan bisa disalurkan dengan nomenklatur Pandu HW,” jelas calon Anggota DPR RI 2024-2029 dari Partai Amanat Nasional Daerah Pemilihan Jatim X Lamongan Gresik No. Urut 2 itu.
Atas dasar itulah menurutnya Muhammadiyah perlu mengagendakan jihad konstitusi. Dalam hal ini mendesak DPR untuk merevisi UU No. 12 tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka. “Akan lebih elok jika judul UU itu direvisi menjadi UU tentang Kepanduan,” ujar lulusan S3 Ilmu Sosial Universitas Airlangga (Unair) itu.
Wakil Ketua PWM Jawa Timur 2010-2019 itu menyadari, kehendak untuk memperkokoh keberadaan HW dalam UU bukan tidak diupayakan. Namun status yatim piatu dalam politik menjadikan Muhammadiyah tidak bisa berbuat banyak.
Pada saat pembahasan UU No. 12 tahun 2010 tentang Gerakan Pramuka, Muhammadiyah sudah berusaha mengusulkan judul UU tentang Gerakan Kepanduan. Namun sejarah mencatat, sambung Prof ZM, upaya itu belum membuahkan hasil. Gerakan Pandu HW hanya diakomodasi secara tersirat di pasal ketentuan peralihan.
Melihat berbagai hal yang sudah Prof ZM sebutkan, Prof ZM menilai, itu cukup memberikan argumen mengenai pentingnya Muhammadiyah melakukan langkah terukur agar bisa menambah jumlah petugas misi Muhammadiyah di parlemen. (*)
Penulis Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni