Kembali ke UUD 1945 yang Bagaimana? Kolom Prima Mari Kristanto menanggapi artikel Daniel Mohammad Rosyid.
PWMU.CO – Demokrasi era reformasi dengan amandemen UUD 1945 tahun 2002 menghasilkan Presiden dan Wakil serta anggota DPR, DPRD, DPD melalui proses pemilu langsung proporsional terbuka sejak 2004 sampai 2024.
Netralitas Presiden Megawati pada pemilu 2004 menghadirkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) bertahan dua periode sampai 2014. Netralitas Presiden SBY pada pemilu 2014 kembali menghadirkan Presiden baru, Joko Widodo. Juga bertahan dua periode sampai 2024. Pemilu 2024 pun akan segera menghasilkan presiden baru menunggu perhitungan akhir atau dua putaran pemilihan Presiden jika dibutuhkan.
UUD 1945 hasil amandemen tahun 2002 telah digunakan untuk penyelenggaraan lima kali pemilu, termasuk mengatur susunan dan kedudukan lembaga-lembaga negara. Amandemen UUD 1945 yang tujuannya baik, salah satunya untuk membatasi masa jabatan Presiden dua periode saja bisa disebut berhasil. Jika dalam pelaksanaan pemilu legislatif, pemilihan Presiden sampai pemilihan kepala daerah timbul masalah, haruskah kembali ke UUD 1945 sebelum amandemen.?
Tulisan Prof Daniel Mohammad Rosyid di PWMU.CO berjudul Pilpres 2024: Katalis Kembali ke UUD 1945 menarik dicermati. Ide kembali ke UUD 1945 bukan narasi dan wacana baru, bahkan narasi yang sudah sangat lama sejak Dekrit Presiden 5 Juli 1959.
Selanjutnya sejarah mencatat dimulainya Demokrasi Terpimpin dengan Presiden menjadi figur sentral bagaikan raja, termasuk kewenangan memilih dan mengangkat anggota DPR Gotong Royong setelah DPR hasil pemilu 1955 dibubarkan. Semangat kembali ke UUD 1945 juga memakan “korban” pembubaran Dewan Konstituante hasil pemilu 1955 yang akan merumuskan UUD baru.
Semangat kembali pada UUD 1945, pembubaran DPR dan Dewan Konstituante kemudian justeru menyebabkan banyak kekacauan. Lingkaran dalam Presiden diperebutkan oleh golongan komunis dan militer, dua kubu yang terus berseteru hingga memuncak pada 30 September 1965. Memasuki 1966 militer pegang kendali dengan Surat Perintah 11 Maret 1966 untuk memulihkan keadaan, termasuk membentuk MPR Sementara yang diketuai Jenderal Abdul Haris Nasution.
Pintu Demokrasi
Tahun 1967 MPR Sementara memberhentikan Presiden Soekarno dan mengangkat Jenderal Soeharto sebagai Pejabat Presiden. Dengan pemilu 1971 dimula Orde Baru bersama semangat kembali pada Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen. Perjalanan Orde Baru tampak sukses di awal dengan keberhasilan program-program ekonominya.
Trilogi Pembangunan menjadi program andalan meliputi stabilitas politik, keamanan, pertumbuhan ekonomi dan pemerataan hasil pembangunan. Dengan hanya tigapeserta pemilu sejak 1977 sampai 1997 stabilitas ekonomi dan politik terasa baik-baik saja. Figur Presiden Soeharto tidak tergantikan dalam enam kali pemilu (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997).
Krisis moneter 1997 berlanjut krisis ekonomi politik 1998 membuka kesadaran untuk melakukan reformasi. Presiden BJ Habibie yang memimpin periode transisi 1998-1999 membuka pintu demokrasi dengan lebar. Netralitas Presiden, pemerintah, aparatur negara, TNI, Polri menghasilkan perubahan dengan pemilu multi partai politik tahun 1999. DPR, MPR hasil pemilu 1999 masih ada fraksi TNI, Polri, Utusan Daerah dan Utusan Golongan yang diangkat, bukan dipilih langsung.
DPR dan MPR periode 1999-2004 bagaikan parlemen hybrid, perpaduan anggota dewan hasil pemilihan dan pengangkatan (Fraksi TNI, Polri, Utusan Daerah, Utusan Golongan). DPR, MPR periode 1999-2004 selain melakukan amandemen UUD 1945 juga banyak menghasilkan ketetapan dan undang-undang untuk mengawal agenda reformasi.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Yudisial (KY), Mahkamah Konstitusi (MK), dan Ketetapan MPR tentang Etika Kehidupan Berbangsa hadir untuk mengawal agenda reformasi. Semangat kembali ke UUD 1945 artinya juga amandemen atas hasil amandemen tahun 2002. Berapa banyak lagi atau berapa kali lagi UUD 1945 perlu amandemen?
Problem terbesar bukan seberapa lengkap dan jelas peraturan atau undang-undang yang digunakan untuk mengatur hak, kewajiban berbangsa, bernegara. Setia pada konsensus yang telah disepakati bersama dalam berbangsa, bernegara menjadi agenda besar yang perlu dipelihara.
Muhammadiyah telah merumuskan kesetiaan pada konsensus berbangsa, bernegara dengan Darul Ahdi wa Syahadah, ajakan untuk patuh pada rambu-rambu demokrasi yang telah disepakati, bukan sekedar men-setting siapa yang harus menang, siapa yang harus kalah atau diminta mengalah.
Etika dan penegakan hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang benar-benar murni dan konsekuen sebagaimana semangat Orde Baru bisa dipakai tanpa mengulang gaya politiknya yang mengerahkan unsur-unsur birokrasi, ASN, TNI, Polri untuk memenangkan peserta pemilu tertentu. Wallahualambishawab. (*)
Editor Mohammad Nurfatoni