Negerinya Pak Amin
Oleh Emha Ainun Nadjib
PWMU.CO – Andaikan saya dipojokkan untuk mendefinisikan Muslim dan Mu`min, kelihatannya saya tidak menjawab Muslim adalah orang Islam, atau orang yang beragama Islam. Atau orang yang identitas Agamanya Islam. Juga bukan Mu`min adalah orang yang beriman.
Baru puas kalau saya menjawab “Muslim adalah manusia yang menyelamatkan”. Atau supaya lebih tegas: “Muslim adalah orang yang tidak mencelakakan”. Dan Mu`min adalah orang yang mengamankan. Kalau dikejar: menyelamatkan apa dan siapa? Saya akan menjawab: menyelamatkan dirinya dan semua manusia, dengan konsep keselamatan menurut Tuhan. Mengamankan apa dan siapa? Mengamankan nyawa sesama manusia, serta martabat dan hartanya.
(Baca: Ketika Cak Nun Bicara tentang Sorga Bernama Mad-Soc dan Permohonan Cak Nun agar Nabi Khidlir Hadir Kembali dan Memutar Arah Istana)
Muslim adalah manusia yang mengerjakan Islam. Manusia subjeknya, Islam alatnya. Sabil arahnya. Syari` jalanannya. Thariq cara menempuh jalan. Shirath presisi ke titik tujuannya. Faktor utama kemusliman saya adalah manusia saya, kemanusiaan saya. Kalau manusia saya sudah manusia, sudah tidak hewan, maka Islam menuntun perjalanan kemanusiaan saya ke yang sejati, yang belum tentu bisa saya ketahui dengan menggunakan ilmu dan daya upaya kemanusiaan saya.
Pagi-pagi ketika mengantarkan anak ke Sekolah, cobalah dibatin pertanyaan ini: “Sekolah untuk anak-anak, ataukah anak-anak untuk Sekolah? Pendidikan untuk manusia ataukah manusia untuk pendidikan? Yang utama urusan pendidikannya atau urusan manusianya?”
Tataplah gedung Sekolah itu, layangkan pandangan ke gedung-gedung Kementerian sampai Dinas-dinas yang mengurusi pendidikan buat putra-putri kita. Coba jawab sendiri pertanyaan itu dengan menemukan faktanya di kerangka berpikir kependidikan yang berlangsung, kurikulumnya, budaya pengajarannya, primer-sekunder nilai yang terkandung dalam kebijakannya, rentang filosofi hulu-hilirnya, motivasi dan tujuan para pelaku pendidikan, yang putra-putri kita sudah kita percayakan kepada mereka.
(Baca juga: Cak Nun soal Budaya Politik Nasional: Pilih Celana atau Makanan; Korupsi atau Rasa Malu?)
Ketika sesekali melintas di jalan depan Istana Negara, Kantor Gubernur, Pendopo Kabupaten, atau bangunan-bangunan lain tempat Pemerintah menjalankan tugas yang diamanatkan oleh kita dan semua rakyat—ucapkan dalam hati pertanyaan: “Negara untuk bangsa, ataukah bangsa untuk Negara? Pemerintah untuk rakyat, ataukah rakyat untuk Pemerintah? Sistem politik untuk publik, ataukah publik untuk sistem politik? Demokrasi untuk manusia, ataukah manusia untuk demokrasi? Yang utama Demokrasinya ataukah manusianya?”
Tatkala engkau melintas dekat Masjid, Gereja, Kuil atau tempat ibadah lainnya, bertanyalah kepada dirimu sendiri, persilakan akal mendayagunakan pikirannya untuk meneliti dan menemukan: “Agama untuk manusia, ataukah manusia untuk Agama? Pelaku kebenaran dan kebenaran itu Agamanya ataukah manusianya? Agama itu subjek ataukah manusianya yang subjek? Agama itu alatnya manusia, ataukah manusia alat Agama? Agama menjadi identitas manusia, ataukah identitas utama adalah manusia itu sendiri? Yang utama dan kelak berurusan dengan Tuhan: Agamanya ataukah manusianya?”
Semua teman saya di bumi menyebut saya seorang Muslim. Saya tidak pernah membantah demi sopan santun dan persaudaraan. Tapi bagi saya Islam bukan identitas. Orang tidak bisa menyimpulkan kemusliman saya melalui peci, qiro’ah Qur`an dan shalawat saya, jumpa di Jum’atan atau Maiyahan di sana sini. Sebab itu semua bisa merupakan penipuan atau penyamaran. Kalau saya berbuat baik, teman-teman Budha atau Kebatinan juga bisa melakukan kebaikan yang sama dengan yang saya lakukan. Maka bisa saja disimpulkan teman itu Muslim dan saya Budhist.
(Baca juga: Cak Nun tentang Lomba Ajal di Gerbang Perubahan, Ada Peristiwa Besar pada 26 Agustus 2017?)
Bahkan kalaupun mereka mendengar saya bersyahadat dengan suara keras, tidak serta merta merupakan tanda pasti bahwa saya Muslim. Bisa saja saya pura-pura di depan mereka. Kalau mau memperdaya, saya bisa pakai gamis dan surban, hadir di pengajian, ikut jamaah shalat di Masjid, mendaftar di organisasi atau parpol yang dikenal sebagai lembaga Islam. Tetapi di balik itu perilaku saya hewan dan nafsu saya bara api neraka.
Islam saya terletak di bilik sunyi lubuk kalbu saya. Hanya Allah yang bisa melihat, mendengar dan memasukinya. Islam adalah perjanjian sangat pribadi antara saya dengan Tuhan, karena hanya Ia yang tahu kesungguhan saya, cinta dan kepatuhan saya. Islam tidak bisa dilihat. Bahkan bunyi musik pun tak bisa dilihat, melainkan didengar. Cantik tak tampak, kecuali hanya wajahnya. Cahaya tak terlihat, kecuali pantulan cahaya dari partikel-partikel ke mata kita.
Ketika Muhammad berusia belasan tahun, ia diuji oleh masyarakatnya, yang kemudian memberinya julukan “Al-Amin”: bisa dipercaya. Semua orang merasa aman kalau ada dia. Aman menitipkan barang, martabat dan nyawa kepadanya. Subjek manusia Muhammad dengan kualitas Al-Amin itulah yang membuat Khadijah menikah dengannya. Tetapi Al-Amin bujangan harus diuji oleh proses Al-Amin suami, Al-Amin kepala keluarga serta Al-Amin warga masyarakat—sampai Tuhan meluluskannya di usia 40.
(Baca juga: Ini Kata Cak Nun: Indonesia Makam Pancasila)
Muhammad yang Al-Amin sebagai individu, sebagai suami, kepala keluarga serta sebagai warga sosial inilah yang membuat ia oleh Allah dinilai cukup integritas dan kredibilitasnya, untuk ‘electable’ memperoleh anugerah wahyu Iqra` sebagai awal Al-Qur`an, panduan keselamatan bagi seluruh ummat manusia. Bahkan rahmatan lil’alamin.
Ketika Allah bersumpah dengan menyebut At-Tin: saya “curigai” itu pertanda tentang era Budha, pembebasan diri manusia dari keduniawian. Kemudian Az-Zaitun: itu ujian dari ancaman pembiasan antara bumi dengan langit, ruh dengan jasad, Tuhan dengan tuhan. Lantas Turi-sinina: ketegasan dan keteguhan orientasi keTuhanan di hadapan penuhanan diri Fir’aun dan ultra-hedonisme Qorun. Dan akhirnya Al-Balad Al-Amin: Negeri Muhammad Al-Amin. Negerinya Pak dan Bu Amin. Negeri manusia yang bisa dipercaya, oleh Tuhan, serta oleh semua makhluk dan segala jurusan.
Jadi, manusia dulu. Pendidikan demi manusia dulu. Negara, ideologi, politik, dan pemerintahan untuk manusia dulu. Di abad 21 ini urusan satu kata Islam saja belum matang, ditambah masalahnya dengan kepingan Sunni, Syi’ah, NU Muhammadiyah, HTI, LDII, Gafatar, MTA. Belum lagi Gatholoco dan Dharmogandhul. Saudara-saudara kita berebut tulang yang padat, keras dan mudah melukai.
(Baca juga: Pilgub, Pilpres, Pilnab, dan Piltu Menurut Cak Nun)
Manusia belajar dulu menjadi manusia. Belajar memanusiakan manusia. Berlatih menerima manusia. Membiasakan diri menyayangi manusia. Mentradisikan silaturahmi antar manusia. Mengendalikan kebenaran di dalam diri, menyebarkan kebaikan dan kebijaksanaan keluar diri. Sebab eksistensi dan identitas primer kita semua adalah manusia.
Islam memandu manusia untuk mengerti arah, jalan, dan titik tujuan. Silakan memilihnya atau menolaknya. Asalkan tetap berlaku dan berinteraksi sebagai manusia bersama sesama manusia. Islam bukan subjeknya. Bukan pelaku peradaban. Pelakunya adalah “ahsanu taqwim”, karya terbaik Allah, berupa manusia, yang Ia tegakkan untuk memandang lurus ke titik cahaya cinta-Nya. (*)