PWMU.CO – Peserta Uji Kompetensi Wartawan (UKW) dari 9 media Muhammadiyah di Jawa Timur memperhatikan rambu-rambu Penguji dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) Aat Surya Safaat.
Pria yang telah menjadi wartawan sejak 1988 ini menyatakan, kompetensi itu menjadi kunci utama kesuksesan wartawan. Ia menegaskan, yang paling penting dalam UKW adalah mendisiplinkan diri sendiri.
“Besok ujian tidak boleh ada yang terlambat, 15 menit aja itu didiskualifikasi, tidak lolos,” kata mantan Direktur Pemberitaan Antara itu pada kegiatan pra-UKW, Jum’at (1/03/2024) di Aula Mas Mansyur Kantor Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Timur.
Selain itu, menurutnya, seorang wartawan harus memperhatikan penampilan, termasuk dalam berpakaian. “Pakai baju minimal yang berkerah, harus bersepatu. Karena ketika kita melakukan tugas di lapangan, kita tunjukkan bahwa kita orang berkelas, berpendidikan. Kalau kita ingin dihargai orang lain, hargailah diri sendiri dulu,” imbuhnya.
Aat menyatakan ada tiga tingkatan uji kompetensi wartawan yaitu muda, madya dan utama. “Muda ada 11 mata uji, Utama ada 10. Nilai tidak boleh kurang dari 70. Kalau ada yang 65, atau misal 69, misal yang lain ada yang 80 maka tetap tidak lulus,” terangnya.
Selain itu, dalam uji kompetensi 2 Maret esok, peserta harus adu kecepatan dan tidak boleh berleha-leha. “Agar berita tidak basi. Harus secepatnya,” ucapnya.
Beda Pers dan Medsos
Lebih lanjut, Aat menjelaskan berita adalah fakta opini yang dikonstruksi oleh wartawan. Ia lantas menjelaskan beberapa hal yang menjadi kisi-kisi UKW. “Poin pertama, intinya tentang Undang-Undang Pers, ada 11 padal ya,” ucapnya.
Ia juga menjelaskan perbedaan antara pers dengan media sosial. “Karena sekarang eranya medsos. Pertama, pers itu harus berbentuk lembaga. Kalau medsos itu pribadi,” terangnya.
Kedua, menurut Aat, pers harus berbadan hukum. “Ketiga, pers punya struktur yang jelas. Ada penanggung jawab pemberitaan dan penanggung jawab bidang usaha,” terangnya.
Keempat, kalau ada sengketa pemberitaan, pers bisa dimediasi oleh Dewan Pers, kalau medsos bisa ke ranah hukum dan masuk UU ITE. “Dimediasi itu, ada sidang dewan pers. Ada orang yang merasa dirugikan oleh pers, maka dia akan dimediasi oleh dewan pers. Ada juga bersih keras kedua belah pihak, bisa masuk ranah hukum,” terangnya.
Selanjutnya, pers punya struktur yang jelas, termasuk di antaranya ada wartawan dan marketing, sedangkan medsos itu pribadi. “Terakhir, pers harus punya alamat yang lengkap. Kalau tidak ada plang nama tidak akan lolos,” imbuhnya.
Oleh karena itu, Aan menuturkan setelah lolos, ada verifikasi faktual di mana lembaga pers akan dikunjungi oleh dewan pers. Selain memahami UU Pers, peserta UKW juga harus memiliki jejaring. “Artinya sejauh mana kita punya networking. Di era sekarang modal itu tidak hanya uang, tapi networking. Kedua, gagasan,” jelasnya.
Aat juga mengimbau agar peserta mulai saat ini menyiapkan isu yang akan diangkat. “Nanti akan mengajukan usulan liputannya apa. Minimal dua, apa alasannya, mau ambil politik atau apa, direncanakan seperti itu, dan kenapa mengajukan ini,” terangnya.
Ada juga satu mata uji, namanya konferensi pers. Aat mengimbau agar dalam jumpa pers peserta harus aktif serta berbicara tegas tapi santun dan menyebutkan medianya. “Asesor kita akan menilai, siapa yang aktif, catat apa isu utama yang penting,” ucapnya.
Aat menekankan agar peserta fokus di poin pentingnya dan tidak membiasakan rekaman. Setelah jumpa pers, ada door stop. Di sini ada kesempatan bertanya. “Nah itu nanti dibuat berita,” ucapnya.
Aat menuturkan, nanti di setiap mata uji pasti ada reportnya. Ia juga menyarankan agar dalam membuat berita berfokus pada fakta, fakta peristiwa atau fakta opini. Serta agar tidak terfokus pada membuat judul. “Judul itu belakangan aja. Tapi kalau di awal sudah ketemu itu lebih bagus,” terangnya.
Kode Etik Jurnalistik
Selanjutnya, berita yang tertulis harus profesional dan harus berimbang. Aat juga menjelaskan terkait hak jawab dan hak koreksi dalam Kode Etik Jurnalistik (KEJ).
“Hak jawab, langsung pada orang bersangkutan oleh media yang bersangkutan. Hak koreksi, seseorang bisa mengoreksi meskipun bukan orang yang dirugikan oleh pemberitaan,” terangnya.
Adapun hak tolak adalah hak wartawan karena profesinya, untuk menolak mengungkapkan nama dan atau identitas lainnya dari sumber berita yang harus dirahasiakan.
Ia pun setuju ketika salah satu peserta menjawab agar amplop tersebut ditolak dengan santun. “Mohon maaf kami profesional mengacu pada undang-undang pers, gitu ya. Tapi kalau misalnya itu urusan pertemanan, di luar pemberitaan ya bisa-bisa aja,” terangnya.
Selanjutnya Aat menjelaskan perbedaan pedoman pemberitaan ramah anak (PPRA) dengan KEJ. “Kalau menurut Kode Etik Jurnalistik, usia anak adalah sampai 16 tahun, kalau menurut PPRA usia anak sampai 18 tahun. Konsekuensinya, kalau menurut PPRA si anak sebelum usia 18 namanya harus disamarkan, si anak masih bisa dibina,” terangnya.
Berikutnya, Aat menuturkan menurut KEJ yang harus diberi perlindungan dalam pemberitaan adalah korban dan pelaku, namun menurut PPRA yang harus dilindungi adalah korban pelaku dan saksi, orang-orang terdekat.
Kemudian, yang harus diberitakan itu tingkat kecamatan. Misal ada berita di salah satu sekolah jangan disebut nama sekolahnya, tapi salah satu SLTA di kecamatan apa.
“Sembunyikan, kampungnya jangan disebut, nanti orang datang. Jadi intinya si korban dan pelaku harus dilindungi,” imbuhnya.
Terakhir, terkait pedoman yang harus dipahami oleh wartawan yaitu ada pedoman perlindungan difabel. “Misal seorang yang buta tuli, nggak boleh. Buta itu tuna netra, gagu tuna wicara, tuli tuna rungu,” terangnya.
Aat berharap seluruh peserta UKW bisa lulus ujian ini. “Semoga semuanya lulus,” tandasnya. (*)
Penulis Ain Nurwindasari Coeditor Sayyidah Nuriyah Editor Mohammad Nurfatoni
Berita ini mengalami revisi judul pada Jumat (1/3/2023) pukul 19.30 WIB